MaPPI FHUI bersama Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) mengadakan diskusi publik mengenai seleksi Komisioner Komisi Yudisial (KY) pada tanggal 26 November 2015. Kegiatan ini diselenggarakan di Kedai Tjikini, dengan narasumber Bivitri Susanti (Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera) dan Refly Harun (Pakar Hukum Tata Negara). Latar belakang ini didasari adanya ketidakjelasan hukum paska adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjelaskan bahwa DPR hanya bisa mensetujui/menolak calon Komisioner KY dari pansel. Ketidakjelasan ini terjadi timbulnya perdebatan bagaimana mekanisme DPR dalam menyetujui para calon komisioner. Ada anggapan bahwa seharusnya DPR tidak perlu melakukan FPT dan hanya menyetujui, lalu ada anggapan lain bahwa FPT merupakan hak dari DPR.
Selanjutnya juga menjadi pertanyaan bagaimana jika sampai jabatan komisioner yang lama habis, namun DPR belum menyetujui calon yang diberikan oleh pansel. Pada kasus terakhir, DPR menolak 2 (dua) nama yang diberikan oleh pansel. Lalu hingga sekarang, DPR belum menyetujui 2 (dua) nama terbaru yang diberikan pansel.
Dari pemaparan para materi, terdapat beberapa masukan seperti:
- Proses seleksi saat ini perlu ada perbaikan, baik dari segi proses maupun pengaturannya. Namun yang perlu disadari pemilihan melalui DPR merupakan proses politik, tetapi yang perlu diatur ke depan bagaimana proses politik ini bisa dibatasi agar lebih beradab.
- Mengenai proses seleksi di DPR, perlu dibuat aturan lebih jelas. Idealnya diatur melalui UU, tetapi melihat rendahnya produktivitas DPR dalam membentuk UU baru secara cepat, sehingga rekomendasi yang lebih tepat adalah mengatur melalui peraturan DPR.
- Adanya kekhawatiran kekosongan jabatan KY itu memungkinkan terjadi. Jika melihat kondisi sekarang, sebenarnya adanya 5 (lima) orang yang dipilih sudah cukup untuk membuat keputusan di KY. Namun, memungkinkan juga jika keputusan tersebut bisa dinilai tidak kuat karena tidak diputuskan oleh komisioner KY secara lengkap. Sehingga mekanisme perpu memungkinkan selama adanya kekosongan jabatan. Tetapi yang perlu diperhatikan adalah meminta kepada DPR secara jelas alasan penolakannya. Karena penolakan yang dilakukan DPR tidak salah secara konstitusional, namun secara pertanggung jawaban ke publik, alasan-alasan tersebut harus dijelaskan secara jelas, agar bisa menjadi suatu pembelajaran.