Pemantauan Kejaksaan dilakukan dengan memantau persidangan di PN Jaktim, Jakpus, dan Jaksel selama bulan Oktober hingga Desember 2014. Laporan pemantauan terfokus pada: (i) pendampingan penasihat hukum; dan (ii) waktu bersih serta jumlah sidang dalam menyelesaikan perkara. MaPPI FHUI menemukan mayoritas perkara terdakwanya tidak didampingi oleh penasehat hukum dan terjadi simplifikasi/penyederhanaan proses peradilan pidana. Penyederhanaan yang bertentangan dengan KUHAP dilakukan untuk mempercepat waktu dan mempersingkat jumlah sidang karena adanya keterbatasan sumber daya (Uang dan SDM).
Kegiatan pemantauan jaksa di persidangan ini merupakan kegiatan kedua MaPPI FHUI yang didukung oleh Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ). Pada kegiatan pertama, MaPPI FHUI menemukan beberapa temuan terkait ketidaksesuaian jaksa dengan kode etik/perilaku dan KUHAP. Namun, analisis dan rekomendasi yang diberikan belum dikaitkan dengan reformasi hukum acara pidana (criminal justice reform). Oleh karenanya, kegiatan pemantauan saat ini selain akan memantau kesesuaian pelaksanaan persidangaan oleh jaksa berdasarkan KUHAP dan kode etik/perilaku tetapi juga memantau waktu pelaksanaan persidangan.
Pemantauan waktu pelaksanaan persidangan akan menghasilkan data empiris mengenai mengenai ketidakefisianan waktu persidangan, atau bahkan efisiensi waktu persidangan yang berpotensi melanggar ketentuan.1 MaPPI FHUI berargumen bahwa “jalur khusus”, yang mempersingkat acara persidangan dalam Rancangan Kitab Hukum Acara Pidana (R KUHAP), dapat menjadi solusi atas ketidakefisienan pelaksanaan persidangan. Semakin efisien pelaksanaan persidangan, maka kejaksaan (dan juga pengadilan) dapat memanfaatkan sumber dayanya yang terbatas untuk menyelesaikan perkara-perkara yang ditanganinya.
Silahkan unduh laporan selengkapnya dibawah ini :