Kisruh penetapan tersangka Novel Baswedan mulai mendapat titik terang sejak Kejaksaan Agung memutuskan untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) atas kasus tersebut. Adapun yang menjadi alasan Kejaksaan adalah kurangnya alat bukti serta kasus yang sudah mencapai batas waktu daluwarsa. Meski sempat menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak, terbitnya SKP2 menunjukkan sikap tegas Kejaksaan Agung terhadap kasus ini.
Penggunaan SKP2 sebagai dasar penghentian proses perkara sebenarnya merupakan hal yang langka di Kejaksaan RI. Apalagi jika dilihat dari salah satu alas an diterbitkannya SKP2 dalam kasus Novel Baswedan, dalam praktiknya perihal kurangnya alat bukti untuk menuntut tersangka, Kejaksaan cenderung untuk mengembalikan berkas ke Penyidik melalui P-18/P-19, yang kemudian berkas tersebut dikembalikan lagi setelah dilengkapi oleh Penyidik. Proses ini biasa disebut sebagai Prapenuntutan. Praktik ini yang kemudian oleh beberapa akademisi memandang Penuntut Umum sebagai “kurir pos” para Penyidik Kepolisian.
Adanya praktik tersebut sebenarnya merupakan konsekuensi prinsip diferensiasi fungsional yang dianut oleh KUHAP.Prinsip diferensiasi fungsional ini menimbulkan adanya sekat antara Penuntut Umum dengan Penyidik, sehingga penilaian kualitas suatu perkara hanya dapat dilihat dari berkas penyidikan. Tentunya hal ini akan berpengaruh pada kualitas dakwaan dan tuntutan yang disusun oleh Kejaksaan. Contohnya dapat dilihat pada kasus Novel Baswedan, yang ternyata dalam berkasnya masih terdapat kekurangan alat bukti dan kasus yang hampir menyentuh masa daluwarsa saat diproses.
Karenanya langkah Kejaksaan Agung menerbitkan SKP2 dalam kasus Novel Baswedan perlu diapresiasi. Selain menunjukkan sikap tegas, Kejaksaan juga berani meninjau ulang hasil penyidikan, meski sebelumnya telah menyatakan P-21. Kejaksaan sebagai pemegang tongkat kendali perkara sudah seharusnya berperan aktif dalam setiap tindakan penyidikan, sehingga hal ini akan berpengaruh positif akan efektivitas dan efisiensi penanganan perkara. Kesalahan konsepsi rancang bangun system peradilan Indonesia yang mengutamakan semangat terkotak-kotak harus sudah ditinggalkan.
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FHUI (MaPPI-FHUI)
CP: ADERY ARDHAN 085781224694