Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, Kejaksaan memiliki posisi yang sangat strategis. Keterlibatan Jaksa bahkan telah dimulai sejak tahap penyidikan, penuntutan, hingga eksekusi putusan Pengadilan. Meski mengemban tanggung jawab yang begitu besar, namun tampaknya tidak diikuti dengan ketersedian anggaran yang memadai bagi korps adhyaksa tersebut.
Pada tahun 2011, Kejaksaan dapat melakukan penuntutan sebanyak 96.488 kasus, akan tetapi jumlah perkara yang dituntut tidak sesuai dengan penganggaran yang dilakukan oleh Kejaksaan. Dalam laporan tahunan Kejaksaan RI 2011, Kejaksaan menganggarkan 10.100 kasus tidak pidana umum (pidum) yang akan dituntut. Dari data tersebut, Kejaksaan mampu melakukan penuntutan sebanyak 955.32% dari anggaran yang tersedia.
Akibatnya, sejumlah jaksa mengeluhkan besaran anggaran yang tidak mencukupi untuk menyelesaikan suatu perkara, terutama di wilayah-wilayah terpencil yang membutuhkan biaya transportasi yang besar. Kejaksaan sendiri mengakui bahwa minimnya anggaran penanganan perkara menjadi salah satu penyebab praktik korupsi. Perbedaan antara alokasi anggaran dari Pemerintah dengan kebutuhan operasional, berakibat Kejaksaan perlu mencari cara dalam pengelolaan keuangan. Tujuannya agar fungsi utama Kejaksaan dalam penegakan hukum tidak terhambat.
Silahkan unduh laporan penelitian selengkapnya dibawah ini: