Ruang Rapat Komisi IV (KK IV) Gedung Nusantara DPR RI, 27 Maret 2018
Dialog ini diterima oleh Hj. Meilani Suharli (KPP RI dan Anggota Komisi VI DPR RI), Marwan Dasopang (Pimpinan Panja RUU Penghapusan KS/Fraksi PKB), Diah Pitaloka (Anggota Komisi VIII DPR RI/Fraksi PDI-P), Rahayu Saraswati (Kapoksi Komisi VIII/Fraksi Gerindra), H. Abdul Halim (Anggota Komisi VIII/Fraksi PPP) dengan dihadiri oleh perwakilan Forum Pengada Layanan (FPL), IFLC, MaPPI FHUI, Koalisi Perempuan Indonesia, Migrant Care, HWDI, dan para penggiat isu Perempuan, Anak dan Kelompok Rentan.
Presidium Pusat Kaukus Perempuan Parlemen RI (KPPRI), Hj. Melani Leimena Suharli mengungkapkan bahwa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) menjadi RUU prioritas yang sangat dibutuhkan. Ia mengatakan, KPPRI mempunyai 25 KPPRI di daerah-daerah dan diharapkan ikut berjuang. RUU ini telah bergulir panjang – tahun 2015 masuk prolegnas, kemudian 2016 masuk Baleg dan tahun 2017 masuk tahapan pembahasan. Sedangkan dari pihak Pemerintah RUU Penghapusan KS ini KPPPA menjadi leading sectornya. Kekerasan Seksual menjadi permasalahan yang memprihatinkan di Indonesia ini karena kekerasan seksual juga terjadi pada anak laki-laki, sehingga RUU Penghapusan KS merupakan upaya mewujudkan Indonesia tanpa kekerasan seksual.
Pimpinan Panja RUU Penghapusan KS, Marwan Dasopang menyampaikan bahwa Komisi VIII dibagi dalam 2 tim melakukan studi banding ke Perancis dan Kanada untuk berdiskusi tentang proses pembentukan undang-undang dan penerapan UU Penghapusan KS di kedua Negara tersebut yang secara spesifik melihat tentang proses pencegahan dan menghukum. Marwan Dasopang menceritakan pada 13 Maret 2018 di daerahnya, Sumatera Utara terjadi sodomi pada anak dengan 12 orang pelaku yang bisa disebabkan karena homon, penggunaan narkoba, atau sebab lainnya. Hal ini disebabkan undang-undang yang ada tidak dapat menjerat pelaku yang dalam tindakannya disertai kekerasan seksual pada korban. Perjalanan Panja dari 774 DIM, yang disepakati ada 48 DIM, 550 DIM dihapus, maka diserahkan di Panja dengan perubahan redaksional sebanyak 100 DIM. Dalam pembahasan, panja berharap dalam pengaturannya jangan sampai terdapat peluang korban menjadi korban kembali di penyidik. Hal tersebut perlu dicarikan solusinya. Disamping itu perdebatan tentang istilah “kekerasan” dan “kejahatan” perlu di pikirkan solusinya karena berimplikasi di masa depan dan kaitan dalam proses hukumnya. Definisi kekerasan seksual akankah merusak tatanan masyarakat, adat, agama dan perkawinan karena adanya kekhawatiran ikatan perkawinan dapat rusak dengan perceraian melalui kekerasan seksual, seperti di Bali, seorang kakek pelaku KS pada anak tetapi anak yang di usir dari desa karena dianggap aib, anak menjadi korban berkali-kali dan adit masih dijunjung oleh masyarakat.
Data KPAI menunjukkan kasus kekerasan seksual anak terus meningkat. Angka kekerasan seksual menunjukkan betapa rentannya anak pada kekerasan seksual. Untuk itu perlu segera upaya untuk menghentikan, salah satunya melalui RUU Penghapusan KS yang saat ini sudah dibahas di Komisi VIII. KPPRI optimis RUU Penghapusan KS akan segera disahkan dan akan terus mengawal RUU ini agar segera disahkan. Dalam dialog dengan Panja RUU PKS, Susi Handayani, Dewan Pengarah Nasional FPL, memaparkan hasil pengalaman lembaga pengada layanan dalam mendampingi korban kekerasan dan berharap bisa berkontribusi dalam pembahasan dan pengesahan RUU PKS. FPL berdiri di Batu, Malang tahun 2000 dengan anggota saat ini 112 lembaga di 32 Propinsi yang berfokus kerja pada pelayanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan.
Data dari pendokumentasian penanganan kasus yang ditangani oleh 20 lembaga di 15 provinsi tahun 2017 ada 1.340 kasus, dengan perincian barat 385, tengah 637, timur 318. KdRT adalah kasus tertinggi, 702 kasus, disusul kasus kekerasan seksual. Umumnya kekerasan yang dialami perempuan berlapis, misal kekerasan fisik, seksual juga psikis. Susi mengungkapkan, perkosaan geng rape banyak terjadi juga perkosaan terhadap disabilitas. Ranah kekerasan yang paling banyak di ranah domestik yaitu 64%. Korban yang mendapatkan 1 jenis layanan hanya 27%, lebih dari 2 jenis layanan 31%. Untuk penagangan kasus kasus adalah penanganan konseling 44%, penanganan hukum 30%, yang lainnya medis dan rujukan dan lebih banyak dilakukan oleh LSM bukan Negara.
Pada dialog tersebut perwakilan MaPPI FHUI menyampaikan bahwa RUU Penghapusan KS ini menjadi sangat penting sebagai lex specialis yang mendukung dan menjadi acuan Aparat Penegak Hukum dalam penyidikan, penututan, dan putusan. Di samping itu RUU Penghapusan KS ini juga menjadi gambaran upaya Negara hadir dengan memutus rantai kekerasan seksual yang memberi dampak pada pembangunan manusia Indonesia di masa depan. Pada kesempatan tersebut, disampaikan pula hasil-hasil publikasi MaPPI FHUI tentang kekerasan seksual di Indonesia: data, fakta dan realita.
Silahkan unduh lampiran power point nya.