Hakim merupakan profesi yang luhur. Guna menjaga keluhuran tersebut seorang hakim terikat dengan aturan yang disebut dengan kode etik prilaku seorang hakim. Profesor Bernardus Maria Taverne pernah menyatakan “Berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang sekalipun”. Pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa dalam penegakan hukum bukan ditentukan oleh undang-undangnya melainkan ditentukan oleh manusianya.

Ironisnya, pendapat Bernardus Taverne tidak sejalan dengan realita hukum di Indonesia. Yang paling menyedihkan tentu kondisi Mahkamah Konstitusi saat ini. Lembaga Survey Indonesia (LSI) mencatat hanya 28% publik menaruh kepercayaan kepada Mahkamah Konstitusi. Kondisi ini dilatarbelakangi oleh realita Hakim Mahkamah Konstitusi yang terjerat kasus korupsi (Akil Mochtar dan Patrialis Akbar) dan yang belum lama terjadi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Ketua MK Arief Hidayat, sebanyak 2 kali. Pertama, skandal katebelece Arief Hidayat kepada Mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Korupsi Widyo Pramono. Arief dalam katebelece tersebut menitipkan saudaranya yang merupakan jaksa untuk “dititipkan dan dibina” oleh Widyo Pramono. Kedua, pada Januari 2018 misalnya, Dewan Etik MK menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan kepada Arief. Ia terbukti menemui politikus dan anggota DPR RI pada November 2017. Pertemuan tersebut diduga berkaitan dengan pemilihan hakim konstitusi perwakilan DPR RI dan pemilihan Ketua MK. Padahal diketahui saat itu DPR merupakan salah satu pihak dalam Judicial Review Hak Angket DPR terhadap KPK. Sehingga seharusnya yang bersangkutan menghindari konflik kepentingan yang muncul.

Selain itu Arief juga pernah dilaporkan atas dugaan pelanggaran etik karena tidak melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara miliknya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Meski memiliki catatan integritas yang buruk namun DPR tetap menetapkan Arief Hidayat kembali sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi. Kini nama Arief Hidayat ada ditangan Presiden Joko Widodo untuk segera dilantik. Oleh karenanya hal tersebut harus menjadi perhatian yang lebih Presiden. Melantik kembali Arief Hidayat sebagai hakim MK bukan hanya berpotensi merusak dan menciderai marwah Mahkamah Konstitusi tetapi juga hilangnya kepercayaan publik terhadap lembaga penjaga konstitusi ini. Hakim MK yang seharusnya negarawan harusnya tidak memiliki catatan cela sedikit pun demi menjaga kualitas putusan MK yang bersifat final dan mengikat.

Oleh sebab itu kami Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI) menuntut agar:

  1. Presiden Joko Widodo tidak melantik kembali hakim Mahkamah Konstitusi usulan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Arief Hidayat.
  2. Mendorong Hakim-Hakim MK untuk menolak pelantikan Arief Hidayat sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi menjaga marwah lembaganya dengan tidak melantik kembali Arief Hidayat selaku Ketua mahkamah Konstitusi jika ternayata ia terpilih kembali menjadi Hakim MK.

Depok, 27 Maret 2018
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FH UI

Contact Person:
Aradila Caesar (No Hp: 081318648406)