5-6 April 2018 di Hotel Salak Bogor
Secara umum saat ini kalangan masyarakat sipil menunjukkan kekhawatiran terhadap RUU Hukum Pidana (RUU HP) yang dinilai over-kriminalisasi dan mengabaikan perlindungan bagi perempuan, anak, dan kelompok rentan. Sejumlah hal yang masih menjadi sorotan antara lain pemidanaan atas penghinaan presiden, rumusan tindak pidana khusus seperti korupsi dan narkotika, pemidanaan orientasi seksual tertentu, dan perluasan pasal perzinahan.
Dengan tetap memperhatikan hal-hal tersebut, Komnas Perempuan mencatat bahwa terdapat sejumlah kemajuan dalam draf RUU Hukum Pidana (RUU HP) terkini, yaitu antara lain: pasal perluasan perzinahan dalamrumusan hasil Panja 8 Maret setidaknya telah melindungi perempuan dalam perkawinan tidak tercatat dan ditemukan juga rumusan pasal lain yang melindungi perempuan korban janji kawin. Namun demikian, rumusan pasal tersebut masih membuka peluang kriminalisasi korban kekerasan seksual yang sulit mengajukanpembuktian terjadinya kekerasan seksual, terutama korban eksploitasi seksual.
Selain itu terdapat bab baru yang memindahkan perkosaan dari kesusilaan ke bab baru dengan judul BabTindak Pidana terhadap Tubuh. Dalam Bab ini diatur 4 bagian yaitu penganiayaan, perkelahian secara berkelompok, kekerasan dalam rumah tangga, dan perkosaan. Komnas Perempuan juga mengidentifikasi bahwaterdapat rumusan yang sudah lebih maju dalam pasal perkosaan dengan mengakui terjadinya perkosaan yang dilakukan menggunakan benda selain anggota tubuh.
Pemindahan perkosaan dari semula Bab Tindak Pidana terhadap Kesusilaan ke dalam Bab Tindak Pidana terhadap Tubuh adalah langkah maju untuk mendukung perubahan kultur hukum dalam memandang tindak pidana perkosaan bukan sebagai persoalan moralitas dan pelanggaran terhadap rasa susila masyarakat, melainkan sebagai bentuk kejahatan yang menyasar integritas tubuh dan martabat kemanusiaan korban. Lebih lanjut pemindahan tersebut diharapkan akan membuka ruang dukungan bagi korban untuk mengakses haknya atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan.
Selain itu, pengaturan terkait KDRT khususnya paragraf Kekerasan Seksual dalam RUU HP perlu ditinjau kembali agar tidak menyempitkan makna kekerasan seksual hanya dalam lingkup rumah tangga. Penggunaan frasa “kekerasan seksual” tersebut perlu dicermati kembali sejauh mana akan berpengaruh terhadap regulasi lain yang sedang disusun yaitu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang mengatur jenis-jenis kekerasan seksual yang lebih luas dibandingkan apa yang dimaksud dalam RUU HP.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, Komnas Perempuan menyelenggarakan diskusi terbatas bertajuk “Identifikasi Perkembangan draf RUU HP dan Dampaknya terhadap Perlindungan Perempuan” dimana MaPPI FHUI bertugas untuk mengkritisi tentang hukum yang hidup di masyarakat dan implikasinya di Aparat Penegak Hukum dalam implementasi.