Oleh: Siska Trisia

Pro bono dari segi bahasa dalam black law dictionary diartikan sebagai layanan yang diberikan secara cuma cuma guna melindungi kepentingan umum. Munculnya gerakan pro bono tidak bisa dilepaskan dari sejarah profesi legal representativeatau advokat di Yunani. Di mana pihak yang diberikan kuasa atau legal representative dari seseorang yang berperkara di pengadilan. Dalam perannya tersebut ia tidak dibenarkan menerima upah dalam bentuk apapun. Gerakan tersebut muncul sebagai bagian dari kerja advokat dan ketiadaan upah yang mereka terima pada masa tersebut merupakan bentuk prematur dari kelahiran gerakan pro bono.

Tidak hanya di Eropa, di Asia pun pro bono sudah gencar digalakkan hingga hari ini. Salah satunya adalah perhelatan Asia Pro Bono Conference. Konferensi bergengsi tingkat Asia ini berfokus pada penguatan dan mempromosikan kegiatan pro bono secara global sejak delapan tahun terakhir. Dengan kegiatan tersebut masyarakat global diharapkan dapat berpartisipasi dalam rangka peningkatan akses terhadap keadilan (access to justice) bagi masyarakat.

Tidak hanya itu konferensi ini juga berguna sebagai sarana edukasi bagi para akademisi di universitas, mahasiswa fakultas hukum, anggota badan peradilan, para ahli di bidang pro bono, para pembuat kebijakan, masyarakat sipil, dan perwakilan organisasi-organisasi non-profit tentang interpretasi dan konsep dari pro bono itu sendiri. Dari sisi negara-negara peserta, konferensi ini dimanfaatkan pula sebagai ajang “unjuk gigi” akan inisiatif-inisiatif pro bonoyang sudah, sedang ataupun akan mereka dijalankan.

Di Indonesia terkait pro bono terdapat keunikan tersendiri, pro bono merupakan hal yang berbeda dengan bantuan hukum pada umumnya. Kedua memiliki pengertian yang berbeda meskipun sama sama bermuara pada tujuan yang sama yakni memenuhi kebutuhan akan bantuan hukum bagi masyarakat yang sedang memiliki masalah hukum. Jika bantuan hukum merupakan bagian dari kewajiban negara yang lahir karena amanah Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, maka pro bono adalah bantuan hukum yang lahir sebagai amanah kepada advokat berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat.

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada 2006 telah menerbitkan panduan khusus terkait peran pemerintah dan masyarakat sipil dalam penyelenggaraan pro bono sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) melalui berbagai kerjasama berbasis komunitas. Tidak hanya itu, jauh sebelum panduan tersebut lahir, pada 1963 PBB juga telah menerbitkan Resolusi dan Konferensi PBB tentang HAM di Taheran sebagai upaya mendorong terlaksananya pemberian bantuan hukum oleh pemerintah. Meskipun masih sangat bertumpu pada negara, inisiasi tersebut dinilai sudah cukup baik. Mulai dari konsep bantuan hukum yang berstandarkan HAM, tersedianya sistem penganggaran yang mapan, sumber daya manusia yang kompeten dan dimungkinkannya berbagai kerja sama yang bisa dijajaki oleh pemerintah masing-masing negara anggota.

Berbagai Inisiatif Pro Bono di Asia

Masifnya gerakan pro bono di tataran Asia dimulai juga dari isu-isu apa yang bisa dimanfaatkan sebagai wadah untuk menghidupkan pro bono seperti isu permasalahan identitas, perempuan dan anak, narkotika hingga inisiatif teknologi apa saja yang dapat digunakan untuk pelaksanaan pro bono. Tidak hanya oleh para advokat, para penggiat yang tergabung dalam komunitas masyarakat sipil dan mahasiswa di fakultas hukum pun dilibatkan dalam kerja-kerja tersebut.

Hong Kong sebagai tuan rumah penyelenggara Konfrensi Pro Bono pada 2018 misalnya, memaparkan bahwa para lawyer di negara tersebutdiwajibkan untuk menyelenggarakan pro bono sebanyak 20 jam per tahun. Dengan kebijakan tersebut, bagi para lawyer muda yang baru berpraktik akan mencari firma-firma hukum untuk mereka bisa memenuhi kewajiban pro bononya. Jika dirata-ratakan, menurut Hong Kong Bar Association dengan angka 20 jam tersebut para lawyer akan menangani enam sampai tujuh kasus per minggunya.

Berbeda dengan Hong Kong, Pakistan menjalankan agenda pro bonodihidupkan melalui berbagai kampanye pada media-media yang disesuaikan dengan target penerima pro bono. Misalnya, untuk mengenalkan pro bonokepada anak anak dan ibu rumah tangga, dibuatlah seni drama boneka yang di pertontonkan di balai-balai kota atau desa. Kemudian untuk masyarakat luas lainnya pro bono diperkenalkan dengan membuat pesan bergambar denganseni mural di badan-badan truk. Dengan cara tersebut pesan-pesan pro bono bisa disebarkan secara luas.

Jika dua negara di atas memberdayakan advokat dan masyarakat umum dalam mempromosikan pro bono, Mongolia lebih mendekatkan diri kepada kelompok-kelompok masyarakat yang dianggap potensial sebagai penerima pro bono, yakni kelompok masyarakat miskin dan kelompok masyarakat berbasis perempuan. Bukan tanpa alasan, kedua kelompok tersebut dijadikan sasaran karena dinilai paling rentan untuk mendapatkan perlakuan tidak adil saat memiliki masalah hukum. Mereka diberikan pembekalan berupa pengetahuan dasar terkait bagaimana mereka harus bertindak, minimal untuk mempertahankan hak-haknya saat berhadapan dengan hukum. Selain itu, Mongolia Bar Association juga menyediakan sebuah laman khusus berbasis website yang salah satu fungsinya adalah memberikan advice hukum gratis yang dapat diakses oleh siapapun dan di manapun mereka berada.

Indonesia sebagai salah satu peserta konferensi, melalui Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) juga menyampaikan gagasan pro bono apa saja yang ada di Indonesia. Menurut Peradi sistem pro bono yang mereka jalankan termasuk dalam kategori clearing house yakni pemberian konsultasi, pelatihan atau pengembangan pengetahuan hukum dengan cara mendatangi langsung para pencari keadilan. Langkah ini menurut Peradi dinilai lebih efektif karena jika hanya “menunggu” mereka yang membutuhkan bantuan hukum datang ke kantor Peradi adalah sebuah kesia-siaan.

Tantangan Pelaksanaan Pro Bono

Meskipun gerakan gerakan probono sudah gencar digalakkan hingga saat ini. Tidak dipungkiri, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai macam tantangan. Mulai dari permasalahan teknis terkait pemberian pro bono oleh advokat, hingga aspek-aspek yang berkaitan dengan masyarakat penerima pro bono. Permasalahan hukum yang sensitif gender di lingkungan masyarakat yang cukup konservatif misalnya, ternyata berkontribusi pula faktor penghambat pelaksanaan pro bono bagi para transgender.

Tidak hanya itu, dari sisi advokat, mereka kadangkala dihadapkan pada permasalahan hukum yang oleh mereka sendiri tidak familiar dengan isu tersebut. Dalam kondisi demikian kesadaran akan keterbatasan diri sangat penting sehingga upaya merujuk advokat lain yang lebih berpengalaman menjadi solusi agar pro bono yang dibutuhkan masyarakat tetap bisa berjalan.  

Di Indonesia sendiri, pro bono hingga hari ini masih menjadi angan-angan lantaran dalam praktiknya pro bono tak seideal yang diharapkan. Ketidakidealan tersebut lagi-lagi disebabkan oleh kedua belah pihak yakni advokat dan masyarakat selaku aktor di dalamnya. Keterbatasan kemampuan advokat untuk menjangkau sektor atau area pro bono dan ketidaktahuan masyarakat bahwa setiap advokat bisa dimintakan pro bono menjadi kendala utama mengapa pro bono tidak begitu “subur” di Indonesia. 

Hal tersebut sejalan dengan apa yang Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI) temukan dalam penelitiannya pada 2018. Dari survei yang yang disebar kepada advokat di 6 (enam) kota besar di Indonesia, diketahui bahwa pentingnya media yang bisa mempertemukan advokat dan masyarakat penerima pro bono merupakan salah satu isu yang perlu untuk ditindaklanjuti.

“Arena pertemuan” pro bono tersebut akan sangat memudahkan para advokat yang sulit untuk melakukan “jemput bola” calon klien pro bono sebagaimana yang Peradi telah lakukan. Dalam penelitian yang sama, MaPPI juga menemukan bahwa keterbatasan akses baik berupa relasi ataupun pengetahuan masyarakat bahwa setiap advokat dapat dimintakan pro bonomenjadi dua hal yang berkorelasi menyebabkan lingkar masalah pro bono sulit untuk diputus.

Meskipun dalam forum-forum internasional seperti Asia Pro Bono Conferencedi atas, Peradi mendeklarasikan bahwa sudah ada upaya yang dijalankan untuk memaksimalkan pro bono, namun hal tersebut ternyata masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan bantuan hukum di masyarakat.

Selain permasalahan adanya gap antara advokat dan masyarakat penerima pro bono, seperti yang kita ketahui organisasi profesi advokat di Indonesia ternyata tidak hanya Peradi. Yang mana organisasi tersebut dari sisi keorganisasian tidak memiliki instrumen pendukung untuk pelaksanaan pro bono. Jangankan untuk memunculkan berbagai inisiasi pro bono, peraturan internal organisasi yang seharusnya menjadi panduan bagaimana pro bono dijalankan, sebagian besar dari mereka belum memilikinya.

Upaya Indonesia Mengejar Ketertinggalan Pro Bono

Dengan kendala pro bono yang terjadi di Indonesia dan berkaca pada negara-negara sudah jauh lebih maju dalam isu pro bono, maka dibutuhkan sebuah solusi baik melalui negara, organisasi advokat atau bahkan masyarakat sipil selaku aktor kunci yang dimandatkan oleh PBB dalam pelaksanaan pro bonosejak 2006 silam.

Mengacu pada itu, maka membangun jejaring kerja sama antar para pihak yang memiliki concern pada pro bono adalah salah satu jalan yang bisa dicoba, khususnya penyediaan “arena pertemuan” pro bono. Arena tersebut nantinya akan memudahkan advokat selaku penyupply probono untuk bertemu dengan masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum selaku demand probono.

Tidak hanya berguna bagi advokat dan masyarakat, ketika pro bono sudah masif dijalankan, maka negara sebagai pihak yang juga memiliki kewajiban dalam hal penyediaan bantuan hukum juga akan diuntungkan. Bagaimana tidak, seperti masalah keterbatasan anggaran bantuan hukum yang tak kunjung usai tentu berangsur-ansur akan teratasi.

Kemudian, jika dilihat dari segi jangkauan penerima layanan, pro bono tentu memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan apa yang bisa dijangkau negara melalui Organisasi Bantuan Hukum (OBH)-nya. Hal tersebut juga mengingat kemampuan OBH yang hanya bisa menjangkau pemberian bantuan hukum untuk isu struktural seperti ketenagakerjaan dan tanah.

Terakhir, dari sisi penerima manfaat, lain dari bantuan hukum OBH yang mensyaratkan penerimanya sebagai masayrakat miskin, pro bono bahkan bisa menjangkau masyarakat yang tergolong ke dalam “sandwich people”, yang mana dari sisi pendapatan tidak tergolong miskin, namun dari segi kemampuan mereka tetap tidak mampu menyewa jasa pengacara saat mereka membutuhkannya.

Catatan : Tulisan ini dimuat di dalam media HukumOnline.com