Oleh Dio Ashar Wicaksana

Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, kejaksaan memiliki posisi yang sangat strategis. Keterlibatan jaksa bahkan telah dimulai sejak tahap penyidikan, penuntutan, hingga eksekusi putusan pengadilan.

Dengan tanggung jawab yang begitu besar, tak pelak kinerja kejaksaan yang akan memperingati Hari Adhyaksa besok (22/7) terus menjadi perhatian. Apalagi, pada tahun ini terdapat jaksa yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Itu tentu saja menjadi suatu catatan karena Korps Adhyaksa tersebut sudah berkomitmen melakukan reformasi kejaksaan sejak 2005.

Reformasi Kejaksaan

Kejaksaan menandakan adanya reformasi di empat bidang kejaksaan pada 22 Juli 2005. Bidang tersebut mencakup reformasi di rekrutmen, standar profesi jaksa, pembinaan karir, dan pengawasan. Bahkan, reformasi tersebut dilanjutkan ke tahap reformasi birokrasi tiga tahun setelahnya.

Sayangnya, hingga saat ini kejaksaan belum memberikan catatan keberhasilan. Persoalan lembaga kejaksaan saat ini tidak terlepas dari permasalahan sistemik di institusi itu.

Pertama, belum terbentuk sistem promosi dan mutasi yang berbasis kinerja. Salah satu agenda reformasi birokrasi kejaksaan adalah memasukkan indikator penilaian kinerja ke dalam sistem promosi dan mutasi jaksa. Namun sayangnya, hingga saat ini belum dibentuk aturan lebih lanjut sehingga sistem promosi dan mutasi di kejaksaan masih berbasis kesubjektifan atasan.

Ketiadaan sistem berbasis kinerja berdampak terhadap performa jaksa ketika bersidang. Koalisi Pemantau Jaksa (KPJ) mencatat setidaknya terdapat 199 di antara 392 sidang yang terdapat pelanggaran etik maupun hukum acara (KPJ, 2015). Jika sistem tersebut dibiarkan, tentu saja jaksa akan merasa tidak ada insentif lebih untuk bekerja secara maksimal.

Kedua, akses informasi kepada publik masih minim. Kejaksaan RI sebagai salah satu lembaga publik diwajibkan membuka akses informasi publik kepada seluruh masyarakat umum. KPJ pada 2014 pernah melakukan uji coba akses informasi terhadap kejaksaan di empat wilayah. Sayangnya, hasil uji coba tersebut tidak terlalu bagus. Masih banyak kejaksaan yang belum memberikan akses informasi publik secara mudah.

Keterbukaan informasi merupakan salah satu indikator penting bagi kejaksaan jika ingin dinilai baik oleh publik. Selain itu, tujuan-tujuan dari keterbukaan informasi dapat tercapai. Antara lain terpenuhinya hak asasi manusia yang mendasar (hak atas informasi), terlaksananya fungsi kontrol dari masyarakat, hingga terciptanya suatu lembaga yang transparan serta keterlibatan masyarakat dalam kebijakan publik.

Ketiga, sistem anggaran kejaksaan belum berbasis kinerja. Perubahan kebijakan penyusunan anggaran kejaksaan sangat diperlukan. Apalagi, anggaran penanganan perkara sudah tidak ideal dengan kondisi praktiknya.

Dari sisi satuan besaran anggaran untuk tiap perkara, jumlahnya juga sangatlah minim. Anggaran kejaksaan saat ini dialokasikan hanya Rp 3 juta dan Rp 6 juta untuk kejaksaan negeri (kejari) yang tidak satu wilayah dengan pengadilan negeri (PN).

Anggaran berkisar Rp 3 dan 6 juta disamaratakan untuk seluruh wilayah kejari tanpa ada pembedaan jenis perkara. Sehingga patut dipertanyakan apakah jumlah anggaran tersebut sudah sesuai untuk menangani perkara yang sulit pembuktiannya.

Tapi sayangnya, kejaksaan hingga saat ini belum membedakan tingkat kesulitan perkara. Kejaksaan tidak bisa menyamaratakan penanganan perkara terhadap semua jenis kasus. Sebab, pembuktian untuk kasus pencopetan biasa akan sangat berbeda dengan pembuktian terhadap perkara-perkara seperti illegal logging, illegal fishing, dan terorisme.

Perubahan Kebijakan

Belum maksimalnya reformasi kejaksaan perlu diikuti komitmen pimpinan kejaksaan. Jaksa agung perlu segera mengubah kebijakan internal yang dinilai belum sesuai dengan amanat reformasi birokrasi kejaksaan.

Namun, perlu disadari, dalam melakukan perubahan kebijakan, perlu ada data yang kuat sebagai dasar argumentasi. Sebagai contoh, kejaksaan tidak melakukan rekap data terkait kebutuhan penanganan perkara di tiap wilayah. Baik dari sisi SDM ataupun anggaran. Implikasinya, kebijakan yang akan diusulkan akan lebih cenderung bersifat spekulatif.

Jaksa agung perlu merespons permasalahan kelembagaan dengan segera. Pembentukan sistem data yang kuat perlu segera diberlakukan. Tujuannya, kebijakan perubahan yang dilakukan berdasar data kebutuhan yang valid. Sehingga cita-cita reformasi kejaksaan benar-benar memberikan perubahan bagi cara kerja jaksa dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. (*)

*Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI-FHUI)

Versi asli sudah pernah di muat di situs: www.jawapos.com.