Oleh : Josua Satria Collins (Volunteer MaPPI FHUI Batch 1)

Hukuman pidana bagi pelaku kekerasan seksual sama dengan menyiram air saat kebakaran. Api padam, tetapi sumbernya bisa timbul lagi sewaktu-waktu

– Helga Worotitjan

Beberapa waktu yang lalu, masyarakat Indonesia digegerkan oleh dua kasus kekerasan seksual terhadap anak yang tidak masuk akal dan tidak manusiawi. Kasus pertama adalah kasus Yuyun, seorang siswi SMP Negeri 5 Padang Ulak Tanding yang diperkosa oleh 14 pria mabuk hingga tewas.[1] Lalu, kasus kedua adalah kasus Enno Parinah, perempuan yang diperkosa oleh tiga orang pelaku dan dibunuh dengan ditancapkannya cangkul ke bagian tubuhnya.[2] Pemerintah pun tanggap terhadap kedua permasalahan kekerasan seksual ini. Pada rabu, 25 Mei 2016, Presiden Joko Widodo secara resmi menandatangani Perpu No. 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam pidatonya, setidaknya ada 3 alasan utama yang diungkapkan Presiden Joko Widodo sebagai dasar dibentuknya Perpu ini. Pertama, pemerintah memandang genting kekerasan seksual terhadap anak yang semakin meningkat secara signifikan. Kedua, pemerintah menganggap kejahatan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa. Dan ketiga, kekerasan seksual terhadap anak berbahaya bagi jiwa anak. Selanjutnya Presiden menjelaskan bahwa tujuan dari diberlakukannya Perpu ini adalah memberikan ruang bagi hakim dalam memutuskan hukuman dan memberikan efek jera terhadap pelaku.[3]

Bagian yang paling diperbincangkan dari Perpu ini tentunya adalah pengaturan hukuman kebiri. Peraturan ini menerapkan hukuman kebiri kimia sebagai pemberatan atau penambahan hukuman.[4] Kebiri kimiawi sendiri adalah kebiri yang dilakukan dengan cara memasukkan zat kimia anti-androgen ke tubuh seseorang supaya produksi hormon testosteron di tubuh mereka berkurang. Menurut Ketua Bagian Andrologi dan Seksologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Wimpie Pangkahila, pada era modern, kebiri memang tak lagi dilakukan dengan membuang testis, namun dilakukan secara kimia. Prosesnya bisa melalui pemberian pil ataupun suntikan hormon anti-androgen.[5]

Pemberlakuan kebiri ini melahirkan pro dan kontra di masyarakat. Ada yang mendukung diberlakukannya hukuman kebiri ini dikarenakan Perpu ini dipercaya dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan akan mengurangi kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Namun, di sisi lain banyak juga yang tidak mendukung adanya hukuman kebiri ini karena dianggap melanggar hak asasi manusia. Penulis pun memiliki standing sendiri terhadap hukuman kebiri ini. Namun, agar membuka pemikiran dan wawasan, maka penulis mencoba untuk menjabarkan pandangan terhadap keberlakuan hukuman kebiri dari sisi pendukung maupun penentang hukuman kebiri.

Untuk alasan pendukung diberlakukannya hukum kebiri, ada beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama, adanya hukuman kebiri tentuan akan membuat seseorang berpikir dua kali untuk melakukan perilaku kekerasan seksual terhadap anak. Hal ini sudah terlihat sejak bergulirnya wacana pemberlakuan hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat telah terjadi penurunan jumlah korban kekerasan seksual terhadap anak pada tahun 2015. Di Semester I (Januari-Juni) tahun 2015, kekerasan terhadap anak mencapai 105 kasus, namun dii semester II (Juli-Desember) kekerasan seksual terhadap anak menurun menjadi 88 kasus. Ketua KPAI HM Asrorun Niam menjelaskan, turunnya angka kekerasan seksual terhadap anak dikarenakan wacana hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual pada waktu itu yang menyebabkan para pelaku menjadi takut untuk melancarkan aksinya.[6]

Kedua, hukuman kebiri tidak melanggar hak asasi manusia seseorang untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Dalam UUD NRI 1945, hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan dapat dibatasi oleh pemerintah dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.[7] Hal ini dikarenakan hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan bukanlah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights).[8]

Ketiga, penjatuhan hukuman kebiri adalah pilihan bagi hakim dan bukan kewajiban bagi hakim. Dalam Perpu tersebut diatur bahwa hakim dapat menjatuhkan hukuman kebiri.[9] Artinya, hakim bisa untuk tidak menjatuhkan hukuman kebiri kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Hakim diberikan wewenang untuk memberikan hukuman kepada pelaku sesuai dengan kebijaksanaannya.

Keempat, hakim tidak bisa menjatuhkan hukuman kebiri bagi setiap pelaku kekerasan seksual. Dalam Perpu No. 1 Tahun 2016, diatur bahwa hukuman kebiri hanya dapat dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual yang menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.[10] Artinya, bila pelaku tersebut tidak termasuk dalam kategori ini, maka dia tidak bisa dikenakan hukuman kebiri. Sehingga, dapat dikatakan hukuman kebiri sudah diatur sedemikian rupa agar hukuman kebiri tidak bisa asal dijatuhkan kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak, namun harus dibuktikan terlebih dahulu apakah pelaku tersebut termasuk dalam kategori pelaku yang dapat dikenakan hukuman kebiri.

Alasan yang terakhir, hukuman kebiri sudah dilaksanakan di berbagai negara. Pada zaman sekarang, hukuman kebiri diberlakukan di Ceko, Jerman, Moldova, Estonia, Argentina, Australia, Israel, Selandia Baru, Korea Selatan, Rusia, serta beberapa negara bagian di Amerika Serikat.[11] Sehingga, hukuman kebiri bukanlah hukuman yang baru dalam hukum acara pidana.

Namun, terdapat berbagai alasan pula untuk menolak hukuman kebiri tersebut. Pertama, hukuman kebiri melanggar hak asasi manusia seseorang untuk tidak disiksa. Walaupun di Indonesia hak asasi manusia untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan tidak terlanggar dengan adanya hukuman kebiri, namun hak untuk tidak disiksa akan terlanggar karena hak ini adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable right).[12] Hal ini pun sejalan dengan Kovenan Internasional tentang Hak-hak sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights – ICCPR) bahwa tidak seorang pun dapat dikenakan penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang keji, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat, di mana kovenan ini telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005.[13] Hal ini berarti pemerintah Indonesia harus serius dan fokus dalam mencegah terjadinya penyiksaan terhadap warganya. Namun, dengan diberlakukannya hukuman kebiri tentunya patut dipertanyakan konsistensi pemerintah Indonesia di dalam pencegahan penyiksaan. Hal ini dikarenakan hukuman kebiri yang dilaksanakan dengan paksaan (tindakan yang dijatuhkan sebagai pilihan oleh hakim) tentunya mengakibatkan penyiksaan bagi yang dikebiri.[14]

Kedua, hukuman kebiri tidak sesuai dengan tujuan pidana. Dalam ilmu hukum pidana, ada 3 teori yang menjelaskan tujuan dari hukum pidana, yakni pembalasan, memberikan efek jera, dan mengembalikan keadaan seperti semula.[15] Bila kita melihat tujuan hukum pidana untuk pembalasan, mungkin bisa dibilang tujuan ini bisa tercapai melalui hukuman kebiri ini. Namun, bila kita melihat tujuan pidana untuk memberikan efek jera dan mengembalikan keadaan seperti semula, maka tentunya tujuan ini tidak tercapai karena hukuman kebiri tidak memiliki dampak bagi korban kekerasan seksual terhadap anak. Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi, Prof. DR. dr. Wimpie Pangkahila, MSc, Sp.And mengatakan bahwa pemberian obat kebiri kimia tidak menjamin seorang pelaku kekerasan seksual akan jera.[16] Hal ini diperkuat dengan data World Rape Statistic yang menunjukkan bahwa negara yang menerapkan hukuman mati dan kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual menempati urutan 10 besar negara yang kasus perkosaannya tertinggi di dunia. Pada tahun 2012, 10 negara dengan kasus perkosaan tertinggi dipimpin oleh Amerika Serikat pada urutan pertama, lalu disusul Afrika, Swedia, India, Inggris, Jerman, Perancis, Kanada, Sri Lanka dan Ethiopia. Lalu, pada tahun 2014, yang masuk 10 besar adalah India, Spanyol, Israel, AS, Swedia, Belgia, Argentina, Jerman dan Selandia Baru.[17]

Ketiga, adanya upaya penghapusan hukuman kebiri di negara lain. Contohnya adalah Dewan Komite Eropa untuk Pencegahan Penyiksaan dan Hukuman yang Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Council of Europe’s Committee for the Prevention of Torture and Inhuman or Degrading Treatment or Punishment or CPT), sebuah komite pakar regional di Eropa yang bertugas melakukan pemantauan atas pelaksanaan konvensi, menentang penyiksaan serta memberikan berbagai rekomendasi atas berlakunya hukuman kebiri di negara yang tunduk pada pelaksanaan konvensi tersebut. Pada tahun 2008, CPT meminta pemerintah Denmark untuk tidak membolehkan hukuman yang menekan tahanan untuk menerima perawatan medis libido penekan. Selain itu, pada tahun 2014, CPT juga merekomendasikan kepada pemerintah Jerman untuk menghapuskan hukuman kebiri.[18]

Keempat, ada efek samping dari hukuman kebiri. Kebiri kimiawi menimbulkan efek negatif berupa penuaan dini pada tubuh. Cairan anti-androgen diketahui akan mengurangi kepadatan tulang sehingga risiko tulang keropos atau osteoporosis meningkat. Anti-androgen juga mengurangi massa otot, yang memperbesar kesempatan tubuh menumpuk lemak dan kemudian meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah.[19] Hal ini tentunya tidak dapat dibenarkan karena seseorang akan dihukum melebihi atau tidak sebanding dengan apa yang ia perbuat.

Kelima, efek dari hukuman kebiri kimia bersifat sementara atau tidak bersifat permanen. Artinya, jika pemberian zat anti-androgen dihentikan, maka libido dan ereksinya dapat kembali lagi.[20] Sehingga, tidak ada jaminan bahwa pelaku kekerasan seksual yang telah dikebiri tidak akan mengulangi perbuatannya setelah masa hukumannya selesai.

Keenam, biaya untuk melaksanakan hukuman kebiri tidak murah. Spesialis urologi dari Asri Urology Center, dr. Arry Rodjani, SpU, mengatakan, kebiri kimia membutuhkan biaya mulai dari Rp 700 ribu untuk sekali penggunaan ke satu orang. Arry mengatakan bahwa sekali suntik obat hanya mampu bekerja untuk menurunkan gairah seksual selama satu hingga tiga bulan saja.[21] Oleh karenanya, pemberian suntik obatnya harus dilakukan berulang kali sesuai dengan jangka waktu hukumannya. Oleh karenanya maka hukuman kebiri dapat dikatakan mahal dan tidak efektif.

Dan alasan terakhir, hukuma kebiri tidak didukung oleh dokter di Indonesia. Hal ini terlihat dari pernyataan Ketua Umum IDI, Ilham Oetama Marsis, bahwa ia meminta pemerintah tidak melibatkan dokter sebagai eksekutor dalam pelaksanaan hukuman kebiri. Ilham berargumen bahwa pengebirian itu akan bertentangan dengan fatwa Majelis Kehormatan dan Etik Kedokteran (MKEK) nomor 1 Tahun 2016 tentang Kebiri Kimia, Sumpah Dokter, serta Kode Etik Kedokteran Indonesia. Selain itu, Ketua MKEK, Prijo Sidipratomo, mengatakan bahwa dokter yang mengeksekusi kebiri kimia akan dikeluarkan dari profesi dokter.[22] Hal ini tentu sangat berbahaya mengingat hukuman kebiri berkaitan langsung dengan kesehatan seseorang. Bila suntikan obat kebiri kimia tidak diberikan oleh ahlinya, maka tentunya bisa berbahaya bagi kesehatan bahkan nyawa dari pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Dari argumentasi-argumentasi di atas penulis berpendirian untuk menolak kehadiran hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Penulis berpegang pada kenyataan bahwa tidak ada bukti yang menyatakan bahwa hukuman kebiri pasti memberikan efek jera dan adanya efek samping dari hukuman kebiri yang membuat hukuman menjadi tidak sebanding dengan perbuatan pelaku. Ditambah lagi, keengganan IDI untuk menjadi eksekutor aturan ini menambah keyakinan penulis untuk tegas menolak hukuman kebiri ini.

Terkait kekerasan seksual sendiri, ada beberapa solusi lain yang bisa dipakai untuk menjadi alternatif dari hukuman kebiri. Pertama, dilakukannya rehabilitasi. Ketua Komite Nasional Perempuan Mahardhika, Dian Novita, menyatakan perlu ada rehabilitasi dan pendampingan baik bagi pelaku maupun korban kekerasan seksual terhadap anak. Menurutnya, aturan hukuman kebiri hanya berorientasi pada pelaku, tetapi tidak memberikan pembelaan bagi korban.[23] Kedua, pemberian pendidikan seks sejak dini. Dokter spesialis obstetri dan ginekologi Boyke Dian Nugraha mengungkapkan pemberian pendidikan seks sejak dini bisa melindungi anak dari pelecehan seksual. Hal ini dikarenakan si anak akan tahu bagian organ intim mana yang tidak boleh disentuh oleh orang lain, siapa yag boleh membuka bajunya, hingga apa yang harus dilakukannya ketika ada orang yang ingin menciumnya. Dengan memberi pendidikan seks, anak dapat melindungi organ intimnya dan tahu bagaimana cara bergaul yang sehat.[24] Dan terakhir, penguatan pendidikan agama. Hal ini dapat dilihat dalam program GN-AKSA (Gerakan Nasional Anti Kekerasan Seksual terhadap Anak) sebagai pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 tentang GN AKSA, di mana salah satu bentuk dari programnya adalah meningkatkan kualitas materi pendidikan agama dan budi pekerti di sekolah.[25] Dari solusi-solusi yang telah dipaparkan di atas, kiranya pemerintah berpikir ulang untuk menerapkan hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Akhirnya, kita semua tentu tidak ingin terjadi kejahatan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia, khususnya terhadap keluarga kita. Kita semua tentu berharap adanya upaya pencegahan agar tidak terjadi kekerasan seksual terhadap anak. Kita semua juga tentu sepakat bahwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak pantas untuk dihukum yang setimpal dengan perbuatannya serta menimbulkan efek jera bagi setiap pelakunya. Dari pemaparan di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa jawabannya bukan hukuman kebiri. Hukuman kebiri tidak pasti menimbulkan efek jera bagi pelakunya dan malah melanggar hak asasi manusia seseorang. Indonesia sebagai negara hukum[26] tentunya harus menjaga hak asasi manusia dan menegakkan hukum dengan seadil-adilnya. Bila hukuman tidak memerhatikan hak asasi manusia serta dirasa tidak adil, maka status Indonesia sebagai negara hukum patut untuk dipertanyakan.

[1] “Inilah 20 Fakta Terbaru dan SADIS Kasus Yuyun, Diperkosa 14 Orang HinggaTewas”,

https://sulsel.pojoksatu.id/read/2016/05/05/inilah-20-fakta-terbaru-dan-sadis-kasus-yuyun-diperkosa-14-orang-hinggatewas/ diakses pada 27 Mei 2016

[2] “Sadis, pelaku perkosa & tusukan gagang cangkul saat Enno masih hidup”,

http://www.merdeka.com/peristiwa/sadis-pelaku-perkosa-tusukan-gagang-cangkul-saat-enno-masih-hidup.html diakses pada 27 Mei 2016

[3] “Hukuman KEBIRI Sudah Berlaku,Jokowi Sudah TTD Perpu”, https://www.youtube.com/watch?v=_fSEAzpn-pQ diakses pada 27 Mei 2016

[4] “Kebiri Kimia: Jalan Pintas ala Pemerintah“, http://www.dw.com/id/kebiri-kimia-jalan-pintas-ala-pemerintah/a-19297093 diakses pada 27 Mei 2016

[5] “Ini Efek Hukuman Kebiri Kimiawi pada Tubuh”, http://health.kompas.com/read/2016/05/25/200500123/ini.efek.hukuman.kebiri.kimiawi.pada.tubuh diakses pada 27 Mei 2016

[6] “Wacana Perppu kebiri turunkan angka kekerasan seksual pada anak”. http://www.merdeka.com/peristiwa/wacana-perppu-kebiri-turunkan-angka-kekerasan-seksual-pada-anak.html diakses pada 1 Juli 2016

[7] Ps. 28J ayat (2) UUD NRI 1945

[8] Ps. 28I ayat (1) UUD NRI 1945

[9] Ps. 81 ayat (7) Perpu No. 1 Tahun 2016

[10] Ps. 81 ayat (5) Perpu No. 1 Tahun 2016

[11] “Ini Efek Hukuman Kebiri Kimiawi pada Tubuh”, http://health.kompas.com/read/2016/05/25/200500123/ini.efek.hukuman.kebiri.kimiawi.pada.tubuh diakses pada 27 Juni 2016

[12] Ps. 28I ayat (1) UUD NRI 1945

[13] “8 Tahun Implementasi Konvensi Hak Sipil dan Politik”. http://www.kalyanamitra.or.id/2013/06/8-tahun-impmentasi-konvensi-hak-sipil-dan-politik/ diakses pada 1 Juli 2016

[14] “Hukum Kebiri Dianggap Bentuk Penyiksaan”http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/05/30/o7yqg0335-hukum-kebiri-dianggap-bentuk-penyiksaan diakses pada 1 Juli 2016

[15] Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana,(Jakarta: Grasindo, 2008), hlm. 36

[16] “Jaksa Agung tegaskan hukuman kebiri diatur UU”, http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/06/160613_indonesia_kebiri_idi_dokter diakses pada 27 Mei 2016

[17] “3 Jenis Pelaksanaan Hukuman Kebiri”. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57440eef12c00/3-jenis-pelaksanaan-hukuman-kebiri diakses pada 1 Juli 2016

[18] “Kebiri Kimia: Jalan Pintas ala Pemerintah“, http://www.dw.com/id/kebiri-kimia-jalan-pintas-ala-pemerintah/a-19297093 diakses pada 27 Mei 2016

[19] “Ini Efek Hukuman Kebiri Kimiawi pada Tubuh”, http://health.kompas.com/read/2016/05/25/200500123/ini.efek.hukuman.kebiri.kimiawi.pada.tubuh diakses pada 27 Mei 2016

[20] “Jaksa Agung tegaskan hukuman kebiri diatur UU”, http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/06/160613_indonesia_kebiri_idi_dokter diakses pada 27 Mei 2016

[21] “Suntik Kebiri Keluarkan Biaya tak Murah”,http://gayahidup.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/15/10/23/nwo7hd359-suntik-kebiri-keluarkan-biaya-tak-murah diakses pada 27 Mei 2016

[22] “IDI menolak dokter jadi eksekutor hukum kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual”, http://indonesia.coconuts.co/2016/06/09/idi-menolak-dokter-jadi-eksekutor-hukum-kebiri-kimia-bagi-pelaku-kekerasan-sekual diakses pada 27 Mei 2016

[23] “Koalisi Perempuan dan Buruh Tolak Perpu Kebiri”, https://m.tempo.co/read/news/2016/05/11/078770021/koalisi-perempuan-dan-buruh-tolak-perpu-kebiri diakses pada 27 Mei 2016

[24] “Pentingnya Pendidikan Seks Sejak Dini”. http://health.kompas.com/read/2016/04/20/094500123/Pentingnya.Pendidikan.Seks.Sejak.Dini diakses pada 1 Juli 2016

[25] “Bila Temukan Kasus Kekerasan Seksual”, http://www.parenting.co.id/usia-sekolah/bila+temukan+kasus+kekerasan+seksual diakses pada 27 Mei 2016

[26] Ps. 1 ayat (3) UUD NRI 1945