Donor: AIPJ. Mitra: Multi Talent Indonesia (MTI). Durasi: Februari-November 2015
Sudah lebih dari 10 tahun ke belakang Mahkamah Agung melembagakan mediasi dalam proses penyelesaian perkara perdata di pengadilan melalui Perma No. 2 Tahun 2003 yang diganti dengan Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Peraturan tersebut pada dasarnya merupakan upaya optimalisasi peran pengadilan dalam mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian sebagaiamana diatur dalam Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg. Dengan dilembagakannya mediasi ke dalam proses penyelesaian sengketa di pengadilan, diharapkan hal tersebut dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak dalam menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Selain itu, mediasi juga diharapkan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif).
Salah satu faktor penghambat praktek mediasi di pengadilan adalah minimnya dukungan dari aspek SDM dan organisasi untuk mendorong keberhasilan mediasi. Hal ini membuat sebagian hakim masih memandang mediasi sebagai penambahan beban pekerjaan mereka dalam memutus perkara. Aspek SDM yang dimaksud adalah sistem pengelolaan kinerja untuk mediasi yang jelas dan terintegrasi dengan uraian pekerjaan bagi pihak-pihak yang dapat berperan untuk mendukung keberhasilan mediasi di pengadilan. Beberapa pihak tersebut misalnya namun tidak terbatas pada: mediator, ketua pengadilan yang berperan aktif mendorong pelaksanaan mediasi, serta pejabat pengadilan lain yang bertanggung jawab untuk mencatat dan mengintegrasikan administrasi perkara mediasi kedalam administrasi perkara yang umum. Dari aspek organisasi, penyelenggaraan mediasi masih belum didukung dengan bentuk baku atau standar mekanisme operasional yang berlaku di setiap pengadilan. Contoh sederhana adalah apakah ada masalah sarana prasarana yang turut berkontribusi pada kurang suksesnya pelaksanaan mediasi di pengadilan? Jika ditarik lebih jauh, apakah masalah tersebut turut berkontribusi pada kemampuan hakim dalam melaksanakan mediasi di pengadilan? Persoalan-persoalan tersebut pada akhirnya akan membuat solusi pada sistem punishment & reward semata akan menjadi tidak cukup fair bagi hakim mediator.
Berdasarkan hal tersebut, MTI dan MaPPI melalui dukungan AIPJ melakukan kajian untuk menyusun rekomendasi mengenai rancangan sistem manajemen kinerja untuk meningkatkan tingkat keberhasilan mediasi di pengadilan, yang terintegrasi dengan uraian pekerjaan, termasuk kriteria, parameter keberhasilan dan bagaimana mengukurnya bagi pihak-pihak yang dapat berperan untuk mendukung keberhasilan mediasi di pengadilan. Termasuk didalam rancangan system manajemen kinerja tersebut adalah mekanisme dan tata kelola organisasional untuk membuat mediasi di pengadilan berjalan dengan optimal, serta unit ataupun petugas pelaksana mekanisme dan taka Kelola organisasional tersebut.