Oleh Meyriza Violyta

Bagaimana PERMA Nomor 3 Tahun 2017 memberikan kepastian hukum terhadap peran pendamping pada saat proses persidangan?

“Kita cuma bisa nonton aja, Mbak.”

Ansy, pegiat LBH Apik Kupang mengawali ceritanya dengan keluhan pada 10 April 2018 lalu. Wajahnya memerah karena udara hari itu amat menyengat. Di kantornya, tersaji aneka penganan ringan.

Ansy merupakan pendamping di LBH Apik, Kupang. Banyaknya pengalaman dalam mendampingi kasus-kasus perempuan berhadapan dengan hukum membuatnya menjadi salah satu pendamping senior yang cukup disegani di kantornya. Berbagai jenis kasus pun pernah didampinginya, antara lain kasus KDRT, perceraian, kekerasan seksual, anak, hingga sengketa tanah. Ya, LBH Apik merupakan lembaga bantuan hukum yang fokus utamanya adalah melakukan pendampingan dan bantuan hukum bagi perempuan yang mengalami ketidakadilan, kekerasan dan berbagai bentuk diskriminasi.

Ada beragam kesulitan yang ditemui saat menceritakan pengalamannya sebagai pendamping. Tetapi, kata dia, kesulitan utama yang kerap dia hadapi adalah bagaimana membangun kesadaran perempuan di depan hukum. Menurut Ansy, perempuan kerap dibayangi rasa takut dan trauma. Akibatnya, dia kerap kesulitan mendapatkan informasi utuh mengenai kasus yang perempuan itu hadapi.

Kendala lain yang acap dia temui adalah lokasi kasus. Seringkali dia harus datang ke lokasi-lokasi terpencil di Nusa Tenggara Timur. Ini belum lagi jika ditambah masalah birokrasi yang berlarut-larut. Persoalan makin runyam tatkala perlakuan dari aparat penegak hukum yang tidak berperspektif gender.

Ansy menuturkan, perempuan berhadapan dengan hukum seringkali disudutkan dengan pertanyaan-pertanyaan penyidik dan hakim di pengadilan. Belum lagi stigma-stigma negatif yang dilekatkan kepada mereka. Hal tersebut mengakibatkan perempuan semakin terpojok dan merasa takut. Keadaan psikis mereka pun akan memburuk.

Karena itulah, kata Ansy, peran pendamping sangat dibutuhkan. Kehadiran pendamping dapat membawa pengaruh yang baik bagi perempuan berhadapan dengan hukum. Pendamping dalam hal ini dapat menjadi seseorang yang dapat membantu memberikan penguatan kepada perempuan, terutama dari segi psikologis.

Hanya saja, Ansy menjelaskan, akses pendamping dalam memberikan pendampingan terhadap perempuan pun sangat terbatas. Selama ini pendamping hanya bisa bisa mengantarkan perempuan berhadapan dengan hukum hingga batas “pintu” persidangan saja. Sisanya, mereka kerap berjuang sendirian. “Kami kasihan dengan mereka, sangat mau sebenarnya mendampingi mereka sampai akhir. Seringkali kami tak memperoleh izin (dari keluarga?),” keluh Ansy.

Pendampingan merupakan salah satu hak yang dapat diakses oleh perempuan berhadapan dengan hukum. Faktanya, masih banyak dari mereka yang tidak didampingi oleh pendamping selama proses peradilan berlangsung, bahkan saat penyidikan di kepolisian. Ansy mengatakan, kebutuhan terhadap pendamping kadang tidak dianggap sebagai hal yang penting oleh aparat penegak hukum.

Memang benar bahwa hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, namun dalam prosesnya seringkali hak-hak perempuan berhadapan dengan hukum terabaikan. Hak untuk mendapatkan pendamping adalah salah satunya. Menurut Ansy, kehadiran pendamping juga sebenarnya bisa membantu aparat penegak hukum melancarkan pemeriksaan. Hanya saja, kata Ansy, peran ini kerap kurang disadari oleh aparat penegak hukum.

Pengalaman serupa juga dirasakan sebelumnya oleh Sri Nurherwati, Koordinator Layanan Hukum LBH Apik, sebagaimana dilansir dalam hukumonline (12/03/2009). Sri mengeluh, pendamping kerap diposisikan hanya sebagai pemantau, terutama dalam sidang tertutup. Menurut Sri, pendamping kerap tak mendapatkan akses untuk menemani perempuan berhadapan dengan hukum.

Dia menuturkan, pendamping bisa memberikan layanan psikologis agar perempuan menjadi lebih tenang saat menjalani pemeriksaan. Dalam kasus-kasus kekerasan, banyak perempuan korban mengalami trauma psikis yang cukup signifikan. Dampaknya, mereka kerap tak bisa leluasa menyampaikan informasi karena dihinggapi rasa cemas dan dibayangi ketakutan.

Persoalannya, pendamping juga tak bisa bergerak leluasa karena kewenangan yang terbatas. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak mengatur kewenangan pendamping secara detail. Aturan ini juga belum menjelaskan mengenai posisi pendamping di persidangan. Menurut Sri, belum adanya regulasi yang tegas membuat pendampingan perempuan menjadi tak maksimal.

Menyadari hal tersebut, Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan PERMA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan berhadapan dengan hukum. Peraturan ini didorong juga oleh Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2) dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI).

Peraturan ini lahir karena banyaknya perlakuan diskriminatif yang dialami perempuan. Misalnya, kekerasan berbasis gender, tidak dilibatkannya perempuan dalam proses pengambilan keputusan, berbagai stereotip negatif hingga terbatasnya akses perempuan dalam mencari keadilan tidak lain merupakan dampak dari perilaku diskriminatif terhadap perempuan itu sendiri.

Lahirnya regulasi ini menjadi harapan baru bagi perubahan sistem hukum Indonesia, khususnya mengenai perlindungan hukum dan jaminan hak bagi perempuan berhadapan dengan hukum. Peraturan yang diterbitkan pada tanggal 11 Juli 2017 tersebut mengatur mengenai pedoman bagi hakim dalam mengadili perkara Perempuan berhadapan dengan hukum. Misalnya, apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh hakim pada saat proses persidangan berlangsung.

PERMA ini juga mengatur mengenai hak-hak apa saja yang dapat diperoleh bagi perempuan berhadapan dengan hukum di persidangan. Manfaat dari PERMA ini tidak hanya dirasakan oleh perempuan, tetapi juga bagi pendamping. Dalam aturan ini, pengertian pendamping menjadi lebih tegas dasar hukumnya.

Pendamping, menurut Pasal 1 angka 10, adalah seseorang atau kelompok atau organisasi yang dipercaya dan/atau memiliki keterampilan dan pengetahuan untuk mendampingi Perempuan berhadapan dengan hukum dengan tujuan membuat perempuan merasa aman dan nyaman dalam memberikan keterangan selama proses peradilan berlangsung. Selanjutnya Pasal 9 menyebutkan, hakim dapat menyarankan perempuan berhadapan dengan hukum untuk menghadirkan pendamping dan hakim dapat mengabulkan permintaan perempuan berhadapan dengan hukum untuk menghadirkan pendamping.

Pendamping yang dimaksud dalam aturan tersebut tidak hanya terbatas pada pendamping dari lembaga tertentu saja, tapi juga dapat berasal dari orang-orang yang dekat dan dipercaya. Tujuannya tidak lain adalah untuk menciptakan rasa aman dan percaya diri bagi perempuan berhadapan dengan hukum selama mengikuti proses persidangan. Pendamping, atas persetujuan majelis hakim, bahkan dapat duduk di samping perempuan berhadapan dengan hukum untuk memberi penguatan secara psikis. “Sekarang kami udah enak, sudah bisa masuk ke ruang sidang,” ujar Ansy.

Dengan diaturnya pendamping dalam PERMA tersebut, maka kepastian hukum bagi para pendamping dalam proses pendampingan perempuan berhadapan dengan hukum di persidangan pun menjadi jelas. Peran pendamping dalam proses persidangan pun menjadi lebih signifikan. Pendamping kini tidak lagi dianggap sebagai “pemantau” yang hanya menyaksikan proses persidangan dari kursi pengunjung saja. Kemudahan akses bagi para pendamping tersebut tentunya juga berkorelasi terhadap terjaminnya hak-hak perempuan berhadapan dengan hukum.