Undang undang narkotika menjadi salah satu dari program legislasi nasional (PROLEGNAS) DPR RI tahun 2018 yang diajukan oleh Pemerintah RI.[1] Saat ini Undang Undang terkait dengan Narkotika yang berlaku adalah Undang Undang nomor 35 tahun 2009, menjadi menarik jika dalam perumusan Rancangan Undang Undang (RUU) jika memperhatikan linimasa kelahiran undang undang sebelumnya. Penelusuran sejarah idealnya menjadi langkah paling pertama yang dilakukan dalam pembuatan undang undang, sedangkan penelusuran sejarah yang baik adalah penelusuran yang mempu memberi gambaran keseluruhan. Pada narasi ini akan dipaparkan sebuah linimasa dari kebijakan narkotika di Inonesia sebagai pengantar dalam memahami konteks Narkotika yang ada di Indonesia.

Tahun 1926-1927 adalah tahap pertama bagi Indonesia bersinggungan dengan isu narkotika. Belanda mencatat maraknya warung-warung candu yang dikelola oleh orang-orang Cina di tanah air. Dengan mempertimbangkan nilai ekonomis, maka candu menjadi komoditi yang dikenakan pajak oleh negara. Pemerintah kolonial Belanda yang saat itu menjadi penguasa mengeluarkan pengaturan atas keberadaan warung-warung candu dan penggunaan narkotika yang terbatas pada candu mentah, candu masak, candu obat, candu resi, dan jitjing (ampas candu), morfin, ganja, kokain melalui Staatblast tahun 1927 no.278 dan diperbarui dengan Staatblat no.635 tahun 1927.[2]

Lebih lanjut lagi dalam Opium To Java menceritakan bahwa candu di Indonesia masa itu dikenakan pajak, sehingga merupakan salah satu penghasilan negara yang memiliki potensi, konsumennya sendiri adalah saudagar-saudagar Cina yang datang berdagang di Indonesia. Sedangkan konsumen kelas bawah adalah para petani yang menghisap candu disaat-saat istirahat panen, dengan jenis candu jitjing yang dikonsumsi.[3]

Berdasarkan pada situasi tahap pertama tersebut maka kebijakan narkotika di Indonesia mengalami perkembangan dalam sejarahnya. Pengaturan di Indonesia mengenai narkotika dimulai dengan dasar pendekatan kesehatan[4]. Pengaturan tersebut lahir untuk mengatur terkait produksi, penggunaan, dan distribusi obat-obatan berbahaya, dengan Menteri Kesehatan sebagai aktor utama.

Tahap kedua dimulai dengan asumsi adanya pengaruh perang Vietnam dan revolusi budaya di Amerika Serikat sehingga pada tahun 1971 presiden Indonesia melalui instruksinya tersebut Presiden membentuk badan kordinasi antar departemen dengan dasar Instruksi Presiden No. 6 tahun 1971, untuk semua kegiatan penanggulangan berbagai bentuk ancaman keamanan negara yaitu pemalsuan uang, penyelundupan, bahaya narkotika, kenakalan remaja, kegiatan subversif, dan pengawasan terhadap orang- orang asing yang dikenal dengan nama BAKOLAK INPRES[5].

Masih pada tahun yang sama yaitu 1971, dunia internasional melalui World Health Organization (WHO) dibawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) juga memiliki agenda besar yaitu peresmian Konvensi Tunggal Psikotropika (Convention on Psychotropic Substance). Sedangkan terkait dengan narkotika sudah diresmikan satu dekade sebelumnya yang dikenal dengan Konvensi Tunggal Narkotika tahun 1961 (Single Convention on Narcotic Drugs).

Kembali pada konteks Indonesia terkait dengan kebijakan narkotika, sebagai bentuk komitmen negara terhadap Single Convention in Narcotic Drugs maka pemerintah Indonesia melakukan pengesahannya melalui UU no.8 tahun 1976. Pemerintah Indonesia responsif dengan keadaan yang terjadi, sehingga pada tahun yang sama Indonesia mengeluarkan UU no.9 tahun 1976 tentang Narkotika. UU ini bertujuan mengatur penyediaan dan penggunaan narkotika untuk keperluan pengobatan dan/atau ilmu pengetahuan serta untuk mencegah dan menanggulangi bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan dan penyalahgunaan narkotika, serta rehabilitasi terhadap pecandu. Indonesia turut menandatangani Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika tahun 1988 di Wina Austria, yang dilanjutkan dengan aksi nasional melalui pengesahan UU no.7 tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika (Illicit Traffic in Narcotics Drugs and Psychotropic Substance).

Tahap terakhir, UU disahkan tepat setelah pengesahan Konvensi tahun 1988 yang kemudian disahkan Indonesia hampir satu dasawarsa berikutnya. Bergerak dengan semangat yang sama dengan dunia internasiona; Indonesia juga melahirkan Undang-Undang terpisah antara Narkotika dan Psikotropika. Psikotropika dimaktubkan dengan UU no. 5 tahun 1997 sedangkan Narkotika pada UU no.22 tahun 1997.

Produk yang dihasilkan dari lahirnya UU Narkotika tahun 1997 adalah terbentuknya badan koordinasi yang disebut dengan Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN). Merujuk pada Keputusan Presiden tahun 1999 yang beranggotakan 25 instansi pemerintah terkait.[6] Saat itu BKNN diketuai langsung oleh Ketua POLRI (Kapolri). Sampai dengan akhir tahun 2002 BKNN masih menempel anggaran dengan Mabes POLRI. Menimbang ancaman bahaya Narkotika di Indonesia, maka BKNN diubah menjadi Badan Narkotika Nasional (BNN) melalui Keputusan Presiden RI no.17 tahun 2002. BNN sebagai lembaga forum memiliki tugas untuk mengoordinasi 25 (dua puluh lima) instansi pemerintah; kewenangan operasional dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkotika; dan mengoordinasi pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkotika. UU Narkotika ini tidak lepas dari sorotan dan kritikan. Aturan internasional selalu diadakan pemisahan aturan antara Narkotika dan Psikotropika maka dengan adanya UU Narkotika di Indonesia terlihat bahwa Undang Undang psikotropika tidak turut serta diperbarui. Hal menarik terjadi ketika psikotropika menjadi bagian dari UU Narkotika yaitu lampiran daftar obat-obatan yang potensial menimbulkan adiksi atau kecanduan.

Pada narasi diatas dapat ditemukan bahwa pendekatan kesehatan merupakan awal mula dari semangat kebijakan nerkotika di Indonesia, ironisnya lagi Indonesia memiliki sejarah dalam melakukan regulasi pajak terhadap narkotika yang dikonsumsi oleh masyarakat luas sehinggga menjadi pendapatan negara. Konteks ini diharapkan menjadi kacamata bersama kita untuk dapat menyikapi proses perubahan undang undang Narkotika yang sedang berlangsung.

[1] http://www.dpr.go.id/uu/prolegnas

[2] Triawan, Widodo Eddyono, Roy Hizal, dan Yuliyanto. Membongkar Kebijakan Narkotika: Catatan Kritis Terhadap Beberapa Ketentuan dalam UU no. 35 tahun 2009 tentang Narkotika Beserta Tinjauan Konstitusionalitasnya. (2010). PBHI: Jakarta. Hal.3.

[3] Rush, James R. Opiun to Java: Jawa dalam Cengkraman Bandar-Bandar Opium Cina, Indonesia Kolonial 1860-1910.(2000). Mata Bangsa: Yogyakarta. Hal.3-4.

[4] State Gazette no.419, 1949

[5] Triawan, dkk., Op. Cit.,. Hlm .4.

[6] http://bnn.go.id/read/page/8005/sejarah-bnn