Begitu banyaknya jumlah tahanan dan narapidana yang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) perlu mendapatkan perhatian khusus. Kerusuhan yang terjadi di LAPAS Malabero di Bengkulu dan LAPAS Banceuy di Bandung diyakini terjadi akibat ketidakmampuan LAPAS untuk menampung penghuninya. Dari data yang dihimpun oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (DItjen PAS) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) per 26 April 2016, terhitung hanya 7 dari 33 kantor wilayah di seluruh Indonesia yang terlepas dari masalah ini. Kondisi ini pun berimbas pada rendahnya pengawasan yang dilakukan oleh LAPAS mengingat jumlah penghuni LAPAS jauh lebih banyak daripada petugas LAPAS tersebut.

Persoalan ini merupakan hasil dari akumulasi kebijakan punitif yang dipilih oleh Indonesia pasca Reformasi. Pertama, Indonesia memiliki terlalu banyak tindak pidana dalam peraturan perundang-undangannya. Alih-alih memahami bahwa hukum pidana harus selalu diposisikan sebagai jalan terakhir untuk menyelesaikan permasalahan hukum, Indonesia justru begitu termotivasi untuk mencantumkan ketentuan pidana di 154 dari 563 undang-undang yang disahkan pada periode 1998-2014. Tidak kurang dari 1.601 perbuatan telah dikategorikan sebagai tindak pidana dan 716 perbuatan di antaranya merupakan tindak pidana yang baru diperkenalkan dalam hukum pidana Indonesia.

Kedua, pidana penjara dirumuskan sedemikian represifnya untuk tindak pidana tersebut. Dari 1.601 tindak pidana di atas, 1.424 (88.9%) di antaranya memiliki pidana penjara sebagai sanksinya. Tidak berhenti sampai di sana, pidana penjara dengan rentang waktu 5 tahun ke atas, yang menjadi syarat dapat ditahannya seorang tersangka dalam Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP, diancamkan pada 738 (46%) dari keseluruhan tindak pidana tersebut. Artinya, keinginan Indonesia untuk menempatkan tersangka di tahanan selama menjalani proses pidana sedemikian tingginya sehingga perlu mengancamkan pidana penjara di atas 5 tahun pada hampir setengah dari total tindak pidana yang dimilikinya pada periode ini.

Ketiga, Indonesia lebih menyukai sanksi kumulatif sebagai bentuk perumusan sanksi pidananya. Sanksi kumulatif ini biasanya memadupadankan pidana penjara dan pidana denda dalam satu rumusan. Konsekuensinya adalah terpidana harus menjalani pidana penjara dan membayar denda sebagai hukuman atas tindak pidana yang dilakukannya. Kasus yang demikian ditemukan pada 779 (49%) dari 1.601 tindak pidana yang ada sejak 1998-2014.

Problem muncul ketika besaran denda yang dirumuskan di berbagai peraturan perundang-undangan tersebut sangat tidak rasional untuk dibayar oleh terpidana. Di dalam UU Narkotika, misalnya, memiliki denda paling sedikit Rp 400 juta dengan konsekuensi apabila denda tidak dibayar, terpidana harus menjalani (tambahan) pidana penjara paling lama 2 tahun. Dengan kondisi yang demikian, menjadi logis apabila terpidana justru mengambil konsekuensi tersebut dibandingkan membayar denda yang begitu tinggi, dan akibatnya, LAPAS akan tetap penuh sesak dengan narapidana, terlepas dari sebanyak apapun jumlah LAPAS yang akan dibangun nantinya.

Berkaca pada hal-hal di atas, Indonesia perlu memikirkan ulang kebijakan punitif yang dijalankannya selama ini. Seperti yang telah diprediksikan Husak (2008), banyaknya aturan pidana yang diciptakan Negara akan berakibat pada tingginya angka penghukuman dan memperbesar kemungkinan untuk menciptakan ketidakadilan bagi pelaku tindak pidana. Dalam konteks Indonesia, pernyataan ini diterjemahkan menjadi ‘LAPAS akan semakin penuh sesak jika legislasi dan kebijakan pidana yang punitif tidak segera dibenahi’.

Contact Person: Anugerah Rizki Akbari (081219020301)