Oleh Koalisi Pemantau Peradilan
Secara tiba-tiba Presiden Joko Widodo mengumumkan nama Jaksa Agung yang baru: H.M. Prasetyo. Tak banyak yang diketahui dari prestasi Jaksa Agung yang baru tersebut. Selain dikenal sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Nasional Demokrat, Prasetyo juga dikenal sebagai Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) pada tahun 2006. Di tengah harapan masyarakat yang tinggi untuk melakukan reformasi hukum, terpilihnya Prasetyo tentu saja terasa ganjil dan mengejutkan. Jokowi seakan lupa pada visi dan misinya selama kampanye.
Padahal, dalam Nawacitanya, Jokowi-JK berjanji memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.[1] Saat mendaftar sebagai calon Presiden (Capres) ke KPU pun, Jokowi juga berkomiten untuk memilih Jaksa Agung yang “bersih, kompeten, antikorupsi, dan mempunyai komitmen dalam penegakan hukum”.[2] Meski demikian, melihat jejak rekam dan potensi konflik kepentingan yang mengidap Prasetyo, Nawacita dan komitmen Jokowi patut dipertanyakan. Ada tiga alasan yang mendasari hal tersebut:
Pertama, terkait dengan jejak rekam. Selama menjadi Jaksa Prasetyo tidak mempunyai prestasi yang menonjol[3]. Bahkan beliau pernah terseret kasus korupsi penjualan kayu cendana ketika menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi NTT pada tahun 1999-2000.[4] Kedua, sebagai anggota DPR dan politisi dari Partai Nasdem sulit dinafikan bahwa kepentingan politik lebih dijadikan ukuran utama. Apalagi jika dihubungkan dengan kepentingan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh yang masih berurusan dengan Kejaksaan Agung terkait kasus kredit Bank Mandiri senilai Rp. 160 miliar. [5] Ketiga, proses penunjukan yang tidak transparan. Dalam proses penunjukan Prasetyo, tidak ada kordinasi dengan KPK dan PPATK. Hal yang berbeda jika dibandingkan proses seleksi menteri-menteri yang lain.
Padahal banyak sekali banyak sekali pekerjaan rumah Jaksa Agung yang mesti diselesaikan, seperti: merevisi Peraturan Jaksa Agung (Perja) tentang Pembinaan Karier Kejaksaan guna memperkecil subjektifitas dalam mutasi-promosi; Upaya pendisiplinan pegawai terkait dengan banyaknya Jaksa yang melanggar etik -bahkan terlibat kasus korupsi; menindaklanjuti perkara-perkara yang mandek, terutama di kasus-kasus korupsi dan penuntasan kasus HAM masa lalu; dan menjamin keterbukaan informasi di Kejaksaan. Selain beberapa hal tersebut, tentu saja masih banyak lagi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Berangkat dari beberapa catatan di atas, kami menolak pengangkatan H.M Prasetyo sebagai Jaksa Agung yang baru. Penunjukan Prasetyo yang merupakan seorang politisi berpotensi menumpukan integritas dan independesi Kejaksaan sebagai salah satu institusi penegakan hukum. Padahal seorang Jaksa Agung harus mandiri dalam menegakan hukum dan tidak boleh diintervensi oleh kepentingan bisnis ataupun politik. Terpilihnya Prasetyo lebih condong untuk memenuhi hasrat kepentingan politik pihak tertentu daripada untuk mereformasi Kejaksaan sebagai yang dijanjikan Jokowi dalam Nawacitanya.
Koalisi Pemantau Peradilan
(Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FHUI, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Indonesia Corruption Watch, Indonesian Legal Roundtable dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia)
Contact person:
- Dio Ashar Wicaksana (Peneliti MaPPI FHUI/081317167820)
- Erwin Natosmal Oemar (Peneliti ILR/081392147200)
[1] Nawacita Jokowi-JK, http://jkw4p.com/download/nawa_cita.pdf, diunduh pada tanggl 20 November 2014.
[2] Huruf 11 Poin jj, Visi, Misi, dan Program Aksi Jokowi-JK 2014-2019, http://kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_Jokowi-JK.pdf, diunduh pada tanggal 20 November 2014.
[3] Koran Tempo Edisi 3 November 2014, Hlm. 4
[4] http://www.gresnews.com/berita/hukum/1102610-muncul-calon-jaksa-agung-dari-parpol-integritasnya-diragukan/ diunduh pada tanggal 20 November 2014
[5] http://www.gresnews.com/berita/hukum/1102610-muncul-calon-jaksa-agung-dari-parpol-integritasnya-diragukan/ diunduh pada tanggal 20 November 2014