JAKARTA, KOMPAS — Kemunculan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang diajukan institusi penegak hukum menjadi ujian bagi Panitia Seleksi Pimpinan KPK. Sembilan anggota Panitia Seleksi harus membuktikan independensi mereka dalam menyeleksi calon pimpinan KPK.
“Kalau ada suara-suara kekhawatiran terkait calon pimpinan yang diajukan instansi tertentu, itu tugas Panitia Seleksi untuk menggali sejauh mana si calon melepaskan diri dari lembaganya dan tidak terikat kepentingan,” kata pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Achyar Salmi, di Jakarta, Sabtu (13/6).
Achyar yang pernah menjadi anggota Panitia Seleksi KPK jilid III ini mengungkapkan, yang terpenting adalah integritas individu tersebut. “Tidak masalah siapa yang mendaftarkan selama individu tersebut berkomitmen tidak ada balas budi atau ewuh pakewuh pada instansi yang mendaftarkannya. Ini harus diuji Panitia Seleksi,” ujar Achyar.
Ia pun mencontohkan beberapa nama yang masuk KPK dengan status aktif pada institusi tersebut, tetapi integritasnya terjaga. Dari kalangan pimpinan, Antasari Azhar membuktikan keberaniannya dalam memberantas korupsi, bahkan dari kalangan jaksa, lingkungan kerjanya sebelum bergabung di KPK. Begitu pula dengan penyidik KPK, Novel Baswedan, yang menyidik kasus-kasus petinggi Polri.
“Untuk itu, Panitia Seleksi harus bekerja keras. Sebab, jika pimpinan ke depan bermasalah, integritas panitia ini akan dipertanyakan. Jadi, harus benar-benar bebas dari tekanan. Jika ada tekanan atau ancaman, panitia sebaiknya menyuarakannya kepada publik,” kata Achyar.
Hal senada diungkapkan Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko. Pengajuan calon pimpinan KPK oleh institusi diizinkan. Namun, sesuai aturan, yang diseleksi individunya, bukan lembaganya. Kriteria pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK juga mengacu ke individu.
“Jadi, serahkan saja kepada Panitia Seleksi yang bekerja. KPK bukan lembaga perwakilan yang harus mengakomodasi perwakilan dari lembaga atau organisasi tertentu. Yang terpilih adalah individu yang berintegritas dan kompeten apa pun latar belakangnya,” ujar Dadang.
Hingga Sabtu, Panitia Seleksi telah menerima 70 berkas pendaftar yang mayoritas advokat. Sementara itu, Kepolisian RI mengajukan tiga calon. Kejaksaan Agung masih mempertimbangkan kemungkinan memasukkan nama anggotanya untuk didaftarkan.
Hak semua anak bangsa
Di Purbalingga, Jawa Tengah, Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja meminta masyarakat untuk tidak alergi dengan calon pimpinan KPK dari unsur kepolisian. Semua anak bangsa berhak dicalonkan sebagai pimpinan lembaga anti rasuah itu, asal memiliki rekam jejak baik dan tidak terbebani persoalan masa lalu.
“Semua orang terbuka peluangnya untuk menjadi pimpinan KPK. Semuanya bisa ikut. Tidak masalah jika (calon) itu dari Polri. Bahkan, TNI (Tentara Nasional Indonesia) sekalipun, kami harapkan bisa masuk,” ujar Adnan Pandu di sela-sela pergelaran Anti Corruption Film Festival (ACFFest) 2015 di Kabupaten Purbalingga, Sabtu.
Pimpinan sementara KPK, menurut Pandu, telah bertemu dengan Pansel Pimpinan KPK. Dalam kesempatan tersebut, dia meminta Pansel mampu menghasilkan figur-figur yang bisa membawa kinerja lembaga itu lebih baik dari sebelumnya.
Salah satunya dengan pelibatan publik sejak awal proses pencalonan. Masyarakat diminta aktif melaporkan jika ada nama-nama yang diduga atau sudah terbukti terkait kasus. Pasalnya, kata Pandu, sebisa mungkin pimpinan KPK tidak punya “dosa” masa lalu yang bisa memunculkan potensi kriminalisasi.
Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FHUI, Dio Ashar Wicaksana, mengatakan, pencalonan pimpinan KPK secara institusional oleh Polri dan Kejaksaan Agung berpotensi menimbulkan konflik kepentingan di tubuh KPK. “Lebih baik jika anggota dari kejaksaan atau kepolisian mendaftar sebagai pimpinan KPK secara personal,” kata Dio.
Menurut Dio, jika dicalonkan secara institusional, calon bersangkutan bisa dianggap titipan kepentingan dari Polri atau Kejaksaan Agung. (ian/faj/gre)
Sumber: Kompas.