0931446011-fot0122780x390JAKARTA, KOMPAS – Kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi versus Polri yang berujung pada penetapan tersangka terhadap pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, seolah menjadi titik balik perjuangan antikorupsi. Kisruh itu ibaratnya telah mendorong Pandora, dewi dalam mitologi Yunani, membuka kotak terlarang sehingga mendatangkan berbagai bencana dalam upaya pemberantasan korupsi.

Gelombang tsunami yang mengalahkan semangat anti korupsi, misalnya, terjadi pada kasus-kasus praperadilan. Dengan alasan penemuan hukum (rechtsvinding), lembaga praperadilan membatalkan status tersangka pada beberapa pejabat yang diduga melakukan korupsi.

Di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dari tujuh permohonan praperadilan, tiga di antaranya dikabulkan. Mereka adalah tersangka kasus gratifikasi, yaitu Komisaris Jenderal Budi Gunawan, kemudian tersangka kasus keberatan pajak PT Bank Central Asia, yaitu mantan Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo, dan tersangka kasus PDAM Makassar, yaitu mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin.

Dalam putusannya, tiga hakim yang mengalahkan KPK, yaitu Sarpin Rizaldi, Haswandi, dan Yuningtyas Upik Kartikawati, memberikan pertimbangan yang menimbulkan kontroversi. Sebelumnya, KPK selalu menang dalam sidang praperadilan.

Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi yang dibesut sejumlah LSM semacam LBH Jakarta, YLBHI, ILR, ICW, dan MaPPI FHUI menilai Haswandi telah memutus di luar kewenangannya dalam pemeriksaan prosedur penetapan tersangka.

Pasalnya, Haswandi menilai penyidikan KPK tidak sah karena penyelidik dan penyidik yang menangani perkara korupsi bersangkutan dianggap tidak berwenang. Padahal, seperti diatur jelas dalam Pasal 43 dan Pasal 45 UU KPK, lembaga anti rasuah itu berwenang mengangkat serta memberhentikan penyelidik dan penyidik secara mandiri.

Putusan Haswandi dinilai bisa menjadi bom waktu pemberantasan korupsi dan menimbulkan kekacauan hukum. Para terpidana perkara korupsi akan menjadikan putusan praperadilan Haswandi sebagai bukti baru (novum) dalam mengajukan upaya hukum peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

Sementara itu, para tersangka KPK yang perkaranya saat ini belum dilimpahkan ke pengadilan juga akan melakukan upaya permohonan praperadilan agar status tersangkanya hilang dan dibebaskan.

Karena itu, menurut Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi, putusan praperadilan berpotensi menjadi ancaman serius bagi KPK dan pemberantasan ko- rupsi. Hal ini akan menghabiskan waktu dan tenaga KPK dalam menangani perkara korupsi karena fokus kerja KPK diganggu oleh banyaknya permohonan peninjauan kembali atau permohonan praperadilan yang diajukan para tersangka korupsi.

Perlawanan terhadap upaya pemberantasan korupsi juga makin dipicu oleh langkah lembaga yudikatif lainnya, yakni Mahkamah Konstitusi, yang memutuskan perluasan obyek praperadilan.

Berdasarkan Pasal 77 Huruf a KUHAP, lembaga praperadilan hanya berwenang memutuskan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Namun, dalam putusan Nomor 21/PUU-XII/2014, MK memperluas kewenangan lembaga praperadilan untuk juga memutuskan sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

“Penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang,” demikian kutipan putusan MK tersebut.

Vonis bebas

Tak hanya di lembaga praperadilan, upaya pemberantasan korupsi juga terhadang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Kejaksaan Agung selaku penuntut umum mendapat pukulan dari kasus mantan Bupati Indramayu Irianto MS Syafiuddin yang divonis bebas oleh Pengadilan Tipikor Bandung pada 1 Juni 2015. Putusan majelis hakim yang dipimpin hakim Marudut Bakara tersebut dipertanyakan banyak pihak.

Putusan hakim yang membebaskan tersangka atau terdakwa kasus korupsi tentu akan membuat koruptor tak pernah jera merampas uang rakyat. Apalagi selama ini vonis terhadap koruptor juga tergolong ringan.

Berdasarkan pantauan terhadap perkara korupsi yang divonis Pengadilan Tipikor selama 2014, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan, 79,78 persen putusan hakim tergolong rendah, yakni di bawah empat tahun penjara. Sebanyak 12,9 persen koruptor dihukum sedang (4-10 tahun penjara) dan hanya 1,08 persen koruptor dihukum berat, yakni di atas 10 tahun penjara. Jika dirata-rata, vonis koruptor selama tahun 2014 hanya 2 tahun 8 bulan penjara.

Di sisi lain, jumlah hakim yang melakukan perbuatan tercela cenderung meningkat. Berdasarkan Laporan Tahunan MA 2014, jumlah hakim yang mendapat hukuman disiplin selama 2014 mencapai 117 orang. Jumlah itu meningkat 15 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebanyak 102 hakim.

Terkait putusan yang membebaskan tersangka korupsi, komisioner Komisi Yudisial, Taufiqurahman Syahuri, mengatakan, pihaknya tidak dapat mempermasalahkan putusan hakim. Pihaknya hanya berwenang memeriksa apakah ada pelanggaran kode etik dalam pengambilan putusan tersebut, misalnya menerima suap atau mendapat pengaruh lain.

Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji, dalam tulisannya di Kompas (5/6), mengatakan, kebebasan hakim selayaknya tidak dimaknai dengan tanpa batas. Kebebasan hakim adalah kebebasan yang tidak sewenang-wenang.

“Putusan praperadilan saat ini kerap menjadi perdebatan. Mahkamah Agung harus memberikan panduan jelas bagi para hakim dalam memutus perkara praperadilan,” kata Hakim Agung Gayus Lumbuun.

Pelemahan semangat anti korupsi tak hanya terjadi pada lembaga yudikatif, tetapi juga legislatif dan eksekutif. Kini, semakin kencang upaya sejumlah anggota DPR untuk melemahkan dan mengurangi kewenangan KPK melalui amandemen UU KPK.

Pemerintahan Joko WidodoJusuf Kalla juga belum terlihat gebrakannya dalam mendukung pemberantasan korupsi secara signifikan. Bahkan, Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tanggal 6 Mei 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi tahun 2015 hanya mengulang inpres perihal yang sama tahun sebelumnya.

Kini, pemberantasan korupsi tengah melewati jalan suram. Terjal dan gelap! Hukum memang terkadang tidur, tetapi sesungguhnya tidak pernah mati (dormiunt aliquando leges, nunquam moriuntur). Seperti Pandora yang menyesal, menyadari masih ada satu hal tersisa: harapan. Maka, jangan pernah lelah memberantas korupsi!

Sumber: Kompas.