Benahi Sistem Penganggaran untuk Penegakan Hukum Bermartabat
Press Release Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Fakultas Hukum Univ. Indonesia (MaPPI-FHUI)
Anggaran Kejaksaan mengalami pemangkasan dari Rp. 4,73 triliun menjadi Rp. 4.52 triliun pada tahun 2016. Implikasi dari pemotongan tersebut akan berdampak kepada anggaran penanganan perkara di Kejaksaan. Komisi Kejaksaan pernah mencatat bahwa alokasi penganggaran di Kejaksaan perlu menjadi perhatian serius, karena anggaran penanganan perkara pidum tidak berbasiskan kepada kebutuhan kerja (Komisi Kejaksaan, 2013) dan ini dapat berdampak pada tindakan profesional Jaksa (Kompas, 5/3). Di satu sisi, Pemerintahan Jokowi memiliki Nawacita ke-4 untuk melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya agar Negara tidak lemah. Tetapi di sisi lain Pemerintah dan DPR tidak menjadikan masalah anggaran ini sebagai suatu perhatian khusus. Sehingga, penegakan hukum yang minim anggaran rawan diintervensi akibat korupsi yang dapat membuat menurunnya martabat dan kepercayaan terhadap penegakan hukum.
Anggaran Kejaksaan untuk menangani satu perkara pada Kejaksaan Negeri (Kejari) berkurang dalam beberapa tahun terakhir. Jika pada tahun 2011, diberikan Rp. 29,5 juta per perkara, maka pada tahun 2012 berkurang menjadi Rp. 5.8 juta per perkara, dan kembali mengalami pengurangan menjadi Rp. 3.3 juta pada tahun 2013 hingga tahun 2015 lalu.
Anggaran berkisar 3 juta rupiah tidak sesuai dengan kebutuhan biaya yang harus dikeluarkan. Dalam praktiknya, MaPPI-FHUI mencatat jaksa membutuhkan biaya tidak kurang dari Rp. 8 juta untuk perkara di Kejaksaan Negeri (Kejari) yang tidak satu wilayah dengan Pengadilan Negeri (PN). Kebutuhan yang tinggi itu terjadi pada Kejari seperti di Papua, NTT dan Maluku, dimana banyak Kejari yang wilayahnya tidak terdapat PN. Akibatnya, jaksa membutuhkan transportasi laut ataupun udara untuk sekedar pergi bersidang. Apalagi jika mereka harus membawa Terdakwa, saksi, ataupun pengamanan dari Kepolisian. Dari temuan tersebut, MaPPI melihat kebutuhan penanganan perkara di antar wilayah Kejari berbeda. Selain karena kondisi geografis, tetapi juga standar harga yang berbeda. Contohnya biaya makanan/minuman di wilayah Jakarta akan berbeda dengan wilayah di Indonesia Timur. Bahkan biaya di kota Ambon saja dengan wilayah kepulauan Maluku lainnya juga berbeda. Sehingga perlu adanya assesment kebutuhan anggaran berdasarkan per wilayah Kejari.
Selain itu, assessment juga perlu untuk menghitung besaran yang dibutuhkan terhadap kasus-kasus yang sulit pembuktiannya, seperti kasus illegal loging, illegal fishing, narkotika maupun terorisme. Selain, pembuktiannya membutuhkan waktu yang lama, perlindungan barang bukti (pohon, narkotka, dsb) juga membutuhkan biaya tidak murah. Seperti kasus illegal fishing, ikan-ikan yang menjadi barang bukti harus diperlakukan khusus agar tidak menjadi busuk, apalagi untuk sekedar menaruh kapal, perlu adanya tempat yang khusus. Sedangkan, anggaran penanganan di Kejaksaan belum mengalokasikan khusus seperti biaya perlindungan barang bukti, pengamanan persidangan, ekstradisi, ataupun sekedar biaya saksi ahli. Akibatnya, jaksa mengeluhkan besaran anggaran yang tidak mencukupi untuk menyelesaikan suatu perkara, terutama di wilayah-wilayah terpencil yang membutuhkan biaya transportasi yang besar. Kejaksaan sendiri mengakui bahwa minimnya anggaran penanganan perkara menjadi salah satu penyebab praktik korupsi.
MaPPI menemukan di Kejari wilayah Maluku, yang semulanya dianggarakan untuk 60-70 perkara menjadi hanya sekitar 15 perkara. Mirisnya, hingga akhir Februari 2016 ini, Kejaksaan wilayah setempat sudah menangani sekitar 15 perkara lebih. Bisa dibayangkan, bagaimana sulitnya Jaksa dalam melakukan penuntutan, jika anggaran yang disediakan sudah habis. Oleh karena itu, MaPPI melihat masalah penanggaran perkara khususnya perkara pidum menjadi agenda utama yang harus diperbaiki, jika kita ingin mengharapkan kinerja Kejaksaan menjadi lebih baik, dan mencegah Jaksa untuk melakukan praktik korupsi.
Sehingga kedepannya, MaPPI merekomendasikan agar adanya perbaikan di sistem penganggaran Kejaksaan, dan politik penganggaran untuk penegakan hukum antara Pemerintah dan DPR:
- Presiden selaku Kepala Pemerintahan perlu berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, Menteri Keuangan serta Menteri Bappenas, untuk menindaklanjuti perbaikan penyusunan anggaran penanganan perkara di tahun depannya. Selain itu, DPR yang memiliki fungsi budgetting juga perlu memprioritaskan anggaran penanganan perkara Kejaksaan agar mengurangi potensi KKN dari penanganan perkara, dan tidak optimalnya penyelesaian perkara;
- Membuat klasifikasi anggaran berdasarkan jenis perkara (misal perkara yang butuh anggaran besar: illegal logging), serta wilayah karena tiap Kejari mempunyai kebutuhan yang berbeda;
- Membangun sistem pencatatan laporan penanganan perkara di perwilayah Kejari. Sistem tersebut mencatat jumlah perkara, jenis perkara, biaya yang dikeluarkan, serta lamanya proses penanganan perkara. Sehingga, biro perencanaan Kejaksaan Agung bisa membuat perencanaan anggaran yang tepat dan sesuai kebutuhan.
Contact Person:
Dio Ashar Wicaksana (Peneliti MaPPI FHUI/081317167820)
Choky Ramadhan (Ketua Harian MaPPI FHUI/ 081808227963)