Penuntut Umum (Kejaksaan) telah menjalankan fungsinya sebagai pengendali perkara terhadap dua kasus yang kriminalisasi, yaitu deponering terhadap kasus mantan Komisioner KPK (Abraham Samad dan Bambang Widjojanto) serta mengeluarkan SKPP kasus penyidik KPK (Novel Baswedan).
Polemik kriminalisasi terus berlanjut dengan adanya pengajuan praperadilan terhadap dua keputusan itu. Bahkan Jaksa Agung pun turut dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri karena dianggap telah menyalahgunakan kekuasaannya.
Sebagai pengendali proses perkara pidana, Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi diberikan hak eksklusif untuk menjalankan kewenangan oportunitas. Jaksa Agung dapat mengesampingkan suatu perkara dengan dasar kepentingan umum. Hal ini diatur dalam Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan.
Dalam Penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan mengatur bahwa Jaksa Agung perlu memperhatikan masukan/pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang terkait. Namun, masukan tersebut tidak mengikat dan tidak ada kewajiban untuk mengikuti masukan tersebut. Dengan kata lain, keputusan akhir tetap ada pada Jaksa Agung.
Jaksa Agung mempunyai independensi dalam menentukan perkara yang layak/tidak layak untuk dibawa ke Pengadilan. Independensi ini diwujudkan dengan kewenangan oportunitas dari penuntut umum.
Deponeering oleh Jaksa Agung merupakan langkah tepat karena merujuk pada kejanggalan proses pada kasus BW dan AS yang kental dengan rekayasa dan sangat dipaksakan. Selain itu, terdapat kepentingan umum masyarakat bahwa kriminalisasi tersebut dapat melemahkan gerakan anti korupsi di Indonesia.
Penggunaan kewenangan deponeering ini semakin mengukuhkan peran Jaksa Agung sebagai dominus litis (pengendali perkara) dalam sistem peradilan pidana.
Penuntut umum sebagai pengendali perkara bukan merupakan yang aneh di berbagai negara bahkan merupakan keharusan. Prinsip dominus litis mensyaratkan bahwa tindakan penyidik dalam mengumpulkan suatu bukti bukan dalam rangka untuk terselesainya penyidikan. Namun, bertujuan untuk memenuhi unsur materiil dalam dakwaan yang nantinya diajukan penuntut umum di persidangan.
Kewenangan oportunitas yang dimiliki oleh Jaksa Agung juga tidak dapat dibatalkan oleh praperadilan maupun mekanisme lainnya. Jika merujuk pada penjelasan Pasal 77 KUHAP tertulis bahwa “pengehentian penuntutan” tidak termasuk penyempangian perkara untuk kepentingan umum (deponering).
Oleh karena itu, pengajuan permohonan praperadilan atas deponeering merupakah langkah akrobatik hukum yang berpotensi merusak tatanan hukum yang ada.
Begitu juga pelaporan Jaksa Agung ke Mabes Polri atas tindakan yang telah sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang mengancam kemandirian kewenangan Jaksa Agung.
Terkait konteks SKP2 terhadap kasus Novel Baswedan, KUHAP menganut prinsip spesialisasi, diferensi, dan kompertemensi (diferensiasi fungsional). Hal ini menjadikan tahap proses peradilan pidana berdiri sendiri-sendiri. Proses pemeriksaan dari tahap penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan pengadilan tidak terhubung menjadi satu kesatuan.
Implikasi dari aturan KUHAP ini, menjadikan proses pemeriksaan perkara di Kejaksaan menjadi tidak optimal. Penuntut umum hanya bisa memeriksa berkas perkara yang diberikan penyidik. Jaksa tidak dapat melakukan supervisi dan memeriksa langsung proses pemeriksaan di penyidikan.
Selain itu, dengan ada prinsip ini mengakibatkan adanya pemikiran bahwa tugas seorang penyidik dianggap telah selesai apabila suatu berkas telah dinyatakan P-21 oleh Kejaksaan.
Mekanisme ini menimbulkan kritik seakan penuntut umum hanya “kurir pos” dari penyidik. Penuntut umum seakan hanya dapat memeriksa berkas yang diberikan oleh penyidik.
Pada kasus Novel Baswedan, langkah Kejaksaan untuk mengeluarkan SKP2 wajib diapresiasi. Hal ini telah meruntuhkan anggapan bahwa Kejaksaan hanya sebagai “pemeriksa berkas penyidikan”, menjadi Kejaksaan sebagai “pengendali suatu perkara”.
Penuntut umum tidak serta merta mengikuti apa yang dimuat di dalam berkas perkara melainkan juga mencoba untuk melihat perkara ini secara mendalam. Oleh karena itu, tidak hanya kebenaran formil yang terpenuhi melainkan juga kebenaran materiil.
Kedepan, Penuntut Umum sebagai pemegang tongkat kendali perkara harus lebih berperan aktif dalam setiap tindakan penyidikan. Hal ini akan berpengaruh positif akan efektifitas dan efisiensi penanganan perkara. Kesalahan sistem peradilan pidana kita, yang membatasi setiap tahapan peradilan harus segera disempurnakan.
Dengan adanya keterlibatan aktif Jaksa sejak awal pemeriksaan perkara, maka akan menghilangkan sistem peradilan pidana yang berdiri sendiri dan menjadi sistem peradilan pidana yang terpadu.
Selain itu, kewenangan oportunitas yang dimiliki oleh Jaksa Agung juga tidak dapat dibatalkan oleh mekanisme praperadilan yang diatur dalam KUHAP. Kewenangan Jaksa Agung ini merupakan kewenangan yang diberikan secara atribusi oleh undang-undang.
Jika penegak hukum dalam menjalankan kewenangannya bisa dipidanakan tentu dapat menjadi preseden buruk. Hal ini berakibat polemik kriminalisasi di Indonesia seakan tiada hentinya.