Anugerah Rizki Akbari, S.H., M.Sc

Hukum pidana sering dipersepsikan sebagai jenis hukum yang dapat memberikan jawaban atas berbagai persoalan sosial yang mengemuka di masyarakat. Dengan mendasarkan pada kekuatan efek jera yang dimilikinya, masyarakat mempercayai bahwa keteraturan sosial bisa dicapai melalui intensifikasi sarana-sarana penal tersebut. Meski demikian, terdapat banyak batasan yang perlu diperhatikan oleh pengambil kebijakan sebelum sampai pada keputusan untuk menggunakan hukum pidana sebagai alat kontrol sosial tersebut.

Maartje van der Woude mengingatkan bahwa kebijakan pidana memiliki dua dimensi, yaitu dimensi kepentingan kolektif dan keamanan kolektif dan dimensi perlindungan individu dan kebebasan sipil. Dalam banyak hal, Negara mencoba untuk menggunakan sarana-sarana hukum pidana demi melindungi kepentingan koletif serta menjaga keamanan kolektif di wilayah. Akan tetapi, di sisi lain, hukum pidana juga berkewajiban untuk memberikan perlindungan kepada individu dan menghargai kebebasan sipil. Oleh sebab itu, kedua dimensi ini harus diseimbangkan dalam konteks rule of law untuk menghindari penggunaan hukum pidana yang eksesif dan terciptanya ketidakadilan.

Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dipahami bahwa pada dasarnya pengambil kebijakan dan masyarakat tidak memiliki pemahaman yang akurat mengenai tipe atau jumlah kejahatan yang terjadi, begitu juga dengan pilihan hukuman atau tindakan pencegahan kejahatan. Meskipun begitu, setiap kali terjadi kejahatan di wilayahnya, masyarakat percaya bahwa tingkat kejahatan semakin meninggi dan pada akhirnya, menuntut pemerintah untuk mengambil kebijakan-kebijakan tertentu untuk merespon fenomena tersebut. Dalam kondisi yang demikian, tidak jarang apabila kemudian pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan pidana dengan rasionalitas yang lemah dan buktibukti yang kurang memadai untuk menjawab permasalahan kriminalitas tersebut.

Silahkan unduh Opini selengkapnya dibawah ini:

Download (PDF, 214KB)