Harus disadari bahwa dalam banyak pemberitaan dewasa ini tak jarang kita temui siaran langsung tentang pemberitaan suatu proses persidangan. Sungguh posisi ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan untuk dunia peradilan. Karena apa, sesunggguhnya situasi ini ibarat pisau bermata dua yang memiliki dua ujung yang sama-sama runcing dan menyakitkan.

Di satu pihak adalah sangat penting untuk memberikan kesadaran bagi masyarakat bahwa semua orang harus memiliki pengadilan yang adil, jika mereka dituduh melakukan sesuatu yang salah atau melanggar suatu aturan hukum (terutama tindak pidana). Orang-orang yang tidak berbuat salah tidak perlu takut bahwa mereka akan dihukum jika mereka yakin suatu proses peradilan yang adil (fair trial) akan berjalan. Mereka harus dapat yakin bahwa mereka akan dibersihkan dari tuduhan itu. Jika tidak, semua orang akan hidup dalam ketakutan hukum, bukannya merasa bahwa itu ada untuk melindungi mereka. Sebuah pengadilan adalah tempat di mana masyarakat mempekerjakan para hakim, jaksa, dan penasihat hukum yang terlatih dan mumpuni untuk memutuskan apakah atau tidak seseorang benar-benar melakukan sesuatu yang salah.

Jika kejahatan telah dilakukan, maka polisi harus mencari orang yang bertanggung jawab; tapi itu bukan tugas polisi untuk menghukum orang itu. Itu adalah tugas dari pengadilan, dan sebelum mereka menghukum siapa saja mereka perlu diyakinkan bahwa polisi telah menangkap orang yang tepat – orang yang benar-benar melakukan kejahatan. Sementara pada sidang pengadilan, jaksa penuntut umum menyajikan bukti yang membuat mereka percaya bahwa terdakwa adalah orang yang bersalah, dan terdakwa (atau pengacara mereka) menyajikan bukti dalam upaya untuk menunjukkan bahwa polisi salah. Ketika pengadilan telah mendengar semua bukti, hakim memutuskan apakah terdakwa bersalah atau tidak bersalah.

Pada umumnya proses peradilan pidana lebih sederhana dan lebih umum dalam masyarakat sehari-hari sedangkan dibanding proses peradilan perdata atau tata usaha Negara atau persidangan pada Mahkamah Konstitusi yang sering terlihat sangat khusus, rumit, dan kurang dapat dipahami oleh masyarakat. Pemberitaan tentang suatu proses peradilan pidana dengan mudah dinikmati oleh masyarakat umum namun belum tentu dapat dicerna dengan baik karena pengetahuan masyarakat tentang asas-asas yang berlaku di dalamnya sangatlah terbatas. Sesungguhnya disamping pers memiliki kekuatan untuk memantau penegakan hukum, pers juga memiliki kemampuan untuk menggiring massa menciptakan vonis hukum melalui opini-opini yang dibentuknya.

Bila pada masa lalu kita mengenai apa yang disebut sebagai trial by the press, dimana hal ini dimaknai sebagai pers yang menjadi suatu lembaga peradilan yang dilakukan dengan melalui penulisan atau pembicaraan dari satu sisi pihak secara bias biasanya dilakukan dengan bantuan publikasi secara luas secara sadar dengan tidak membeberkan keseluruhan fakta yang ada dengan demikian menjadikan penulisan atau pembicaraan tersebut tidak lagi berimbang dengan demikian berakibat menjadikan penulisan atau pembicaraan tersebut adalah bagaikan sebuah putusan pengadilan bagi para pihak yang terkait tanpa adanya hak melakukan pembelaan.

Namun bagaimana bila yang dilakukan justru over publisitas? Para pihak diadu melalui dua sisi pemberitaan tanpa adanya data dan fakta serta aturan mekanisme pembuktian yang jelas? Para ahli diminta pendapatnya sehingga masyarakat justru dibuat bingung dengan pendapat mana yang benar? Bahkan tak jarang pers justru memberikan pengaruh pada sidang pengadilan yang berjalan. Contoh: betapa banyak saksi yang berubah pendapatnya karena ia melihat saksi lain yang diperiksa melalui pemberitaan di media massa?

Bila mengacu pada sistem yang berjalan di Negara-negara Anglo Saxon system seperti Amerika Serikat atau Inggris, maka ada keadaan-keadaan yang disebut sebagai sub judice. Sub judice adalah ungkapan Latin yang berarti “di bawah penghakiman”. Dalam praktiknya, sub judice biasanya dimulai ketika seseorang ditangkap, dibebankan atau surat perintah dikeluarkan untuk penangkapan mereka dan berakhir ketika hakim atau juri memberikan vonis. Dalam kasus perdata, sub judice biasanya dimulai ketika dokumen sah yang diajukan dengan pengadilan dan berakhir dengan keputusan pengadilan. Sementara kasus adalah sub judice, wartawan secara ketat terbatas untuk apa yang bisa mereka tulis. Hal ini untuk memastikan bahwa mereka tidak mengganggu pekerjaan pengadilan dalam memberikan ruang kepada para penegak hukum dan terdakwa suatu persidangan yang adil.

Bagaimana dengan di Indonesia? Bila mengacu kepada UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dimana dalam Pasal 3 dirumuskan:

  1. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.
  2. Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  3. Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Sementara dalam UU No.40 Tahun 1999, dinyatakan dalam Pasal 5 dirumuskan ayat (1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.

Sehingga berdasarkan dua rujukan ketentuan ini, maka aturan mengenai sub judice telah ada namun kurang dioperasionalisasikan secara baik. Perlunya suatu aturan yang lebih rinci untuk menjaga agar lembaga peradilan dapat bekerja tanpa gangguan dan terdakwa dapat memiliki ruang guna memastikan diperolehnya suatu peradilan yang adil dan bukan menjadi suatu Miscarriage of justice (peradilan sesat). (EAZ)