Persidangan Jessica Kumala Wongso (Jessica) dalam kasus dugaan pembunuhan terhadap Wayan Mirna Salihin (Mirna) sudah menjadi salah satu topik utama beberapa bulan belakangan ini. Dalam kasus tersebut Mirna diduga meninggal karena meminum kopi yang dicampur dengan sianida oleh Jessica di Kafe Olivier, Grand Indonesia pada Januari 2016.[1] Sejak saat itu hampir setiap hari proses persidangan Jessica selalu menjadi sorotan, baik yang terjadi dalam ruang sidang maupun diluar ruang sidang.

Dari proses persidangan Jessica yang sedang berlangsung, ada satu hal yang menarik untuk dibahas, yakni penerapan hak atas fair trial. The right to a fair trial atau hak atas peradilan yang adil merupakan salah satu upaya mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang negara dalam melaksanakan proses peradilan. Khususnya dalam kasus pidana, dimana Terdakwa didudukkan sebagai pihak yang melawan negara, tentu timbul ketidaksetaraan kedudukan antara Terdakwa dengan Jaksa Penuntut Umum sebagai representasi negara.

Kewenangan yang dimiliki oleh Jaksa Penuntut Umum tentunya menjadikan Jaksa Penuntut Umum memiliki kedudukan yang lebih diuntungkan. Tentu hal ini akan menimbulkan potensi abuse of power sehingga hal tersebut akan menghilangkan tujuan dari proses persidangan itu sendiri, yakni mencari kebenaran materiil.

Sudah banyak contoh abuse of power yang dilakukan selama proses penanganan suatu perkara sehingga yang didapat justru bukanlah suatu keadilan yang diharapkan. Sebagai contoh kasus salah tangkap pengamen Andro atau tukang ojek Dedi yang terjadi di Indonesia menunjukkan akibat abuse of power yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Karenanya, penerapan hak atas peradilan yang adil ini merupakan suatu hal yang esensial dalam menjaga proses persidangan.

The right to fair trial sendiri terdiri dari berbagai prinsip dasar, antara lain hak atas kedudukan yang sama di muka pengadilan, hak atas peradilan yang terbuka, hak atas praduga tidak bersalah, hak atas bantuan hukum, dan berbagai hak lainnya. Prinsip-prinsip tersebut selain terdapat dalam ketentuan Konvensi Internasional atas Hak-hak Sipil dan Politik, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (ICCPR), juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan berbagai ketentuan lainnya. Meski belum semua prinsip fair trial ada dalam ketentuan hukum di Indonesia, akan tetapi beberapa prinsip tersebut sudah memiliki dasar hukumnya.

Berbicara mengenai proses persidangan Jessica Kumala Wongso, maka ada beberapa hal yang patut disoroti dalam kaitannya dengan fair trial. Salah satunya berkaitan dengan pertanyaan yang selalu muncul, apakah Jessica yang bersalah membunuh Mirna menggunakan kopi sianida? Pertanyaan tersebut sudah tentu hanya dapat dijawab oleh putusan pengadilan yang memproses kasus Jessica.

Akan tetapi, selama proses persidangan berlangsung, bahkan sejak tahap penyidikan, ada kesan dan perlakuan seolah-olah Jessica sudah dipastikan bersalah. Hal ini dapat dilihat dari berbagai pernyataan dan klaim yang keluar dari berbagai pihak baik di dalam ruang sidang maupun di ruang luar sidang. Padahal salah satu prinsip mendasar dalam fair trial dan juga hukum acara pidana adalah praduga tidak bersalah.

Prinsip praduga tidak bersalah atau presumption of innocence merupakan prinsip yang menjamin seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dianggap tidak bersalah sampai ada putusan yang menyatakan bahwa dirinya bersalah. Pernyataan yang seolah-olah menyatakan bahwa memang Jessica sebagai pelakunya tentu bertentangan dengan prinsip dasar ini.

Statement-statement ini tentunya berbahaya, apalagi diucapkan dimuka publik yang dapat berakibat munculnya stigma dari masyarakat yang memandang bahwa Jessica bersalah sebagai pelaku pembunuhan, meski belum ada putusan yang menyatakan demikian. Selain itu masih banyak aspek dari fair trial yang dapat dikaji dari proses persidangan Jessica dan penerapan pada umumnya.

Hal paling penting yang dikhawatirkan apabila prinsip fair trial tidak dipenuhi adalah kegagalan pengadilan dalam mencari tujuan akhir proses persidangan yakni kebenaran materil atau biasa disebut miscarriage of justice. Kasus Kirk Odom di Amerika Serikat seharusnya dapat menjadi pelajaran, dimana Pemerintah Amerika Serikat harus membayar ganti rugi sejumlah US$ 9,2 juta terhadap Kirk Odom yang ternyata tidak bersalah akan tetapi sudah mendekam di penjara selama 22 tahun.

Diskusi ini tidak akan memihak apakah Jessica bersalah atau tidak, melainkan membuka bagaimana pentingnya penerapan prinsip-prinsip fair trial guna mencegah terjadinya kegagalan pengadilan dalam mengungkap kebenaran kasus ini. Sebagaimana dikemukakan oleh JM van Bemmelen, salah satu tujuan hukum acara pidana adalah mencari dan menemukan kebenaran.

CP: 082113048875 (Ali)

[1]http://megapolitan.kompas.com/read/2016/07/12/15022631/suami.sempat.mengira.mirna.kejang- kejang.karena.belum.makan