Sudah jatuh tertimpa tangga, begitulah peribahasa yang tepat untuk mengambarkan Bunga (bukan nama sebenarnya) yang berumur 19 tahun. Ia menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang pimpinan lembaga keagamaan, kejadian tersebut bahkan terjadi berulangkali saat Bunga mondok di asrama milik pelaku. Ketika warga kampung mendapat kabar tersebut, mereka mencoba untuk mendatangi pelaku untuk mengklarifikasikan cerita Bunga, namun karena tidak mendapatkan jawaban yang jelas dan berkelit-kelit membuat warga merasa kecewa. Kemarahan warga mulai tersulut dan akhirnya bertindak anarkis hingga membakar lembaga milik pelaku dan menghancurkan rumah-rumah disekitarnya hingga porak-poranda. Kekecewaan warga terjadi karena pelaku adalah orang yang disegani di kampung, ia merupakan pendiri dan pemimpin lembaga keagamaan di kampung tersebut.

Keluarga dan warga kampung melaporkan kasus Bunga tersebut ke polisi. Seorang pekerja sosial bernama Ena Nurjanah dari Lembaga Perlindungan Anak mendampingi Bunga selama menjalani proses hukum. “saat bertemu Bunga pertama kali perasaan saya tercekat, sedih, terharu melihat Bunga, ia berkulit putih, cantik dan polos… saya bisa melihat bahwa ia gadis yang pandai dan berani” ungkap Ibu Ena. Dari cerita Bunga kepada Ibu Ena, baru terungkap jika kasus yang dialaminya sudah terjadi sejak 2 tahun yang lalu. Pelaku memperkosa Bunga di asrama, awalnya Bunga menolak namun ia dicubit oleh pelaku dan di paksa hingga merasa kesakitan. Setelah kejadian tersebut, Bunga merasa marah dan tertekan serta perasaan lain berkecamuk dalam dirinya. Kejadian tersebut terjadi berulang kali di asrama karena pelaku selalu mengancam Bunga.

Ketika perkara masuk ke polisi, Bunga harus melalui pemeriksaan hingga berjam-jam dan membuatnya kelelahan, bahkan pernah hingga dini hari pemeriksaan baru selesai. Setelah visum dan bukti-bukti lainnya lengkap, pelaku akhirnya di tangkap oleh kepolisian, dan ketika berkas lengkap pihak kepolisian melanjutkan perkara ke pihak kejaksaan hingga ke persidangan. Persidangan perkara Bunga dilakukan secara tertutup dan berlangsung selama beberapa minggu. Selama di persidangan, jaksa yang seharusnya menjadi wakil korban justru menyuruh agar Bunga dikawinkan saja dengan pelaku agar statusnya jelas, bukannya fokus menuntut pelaku agar bertanggung jawab secara hukum kepada korban. Kasus Bunga juga sampai ke media sehingga ketika sidang Bunga harus di jaga agar tidak terekspose oleh media.

elain itu, selama proses pemeriksaan di persidangan Bunga mendapatkan pertanyaan yang menyudutkan dan mengancam seperti “ingat kalau kamu berbohong, kamu berada dibawah sumpah dan bisa dipenjara dengan kebohonganmu”. Ketika pemeriksaan saksi, Bunga diminta untuk menceritakan kronologis kejadian yang sudah terjadi 2 tahun lamanya, tentu saja Bunga membutuhkan waktu untuk mengingat dan aparat penegak hukum terus menekan dan tidak memperdulikan hal tersebut. Selain Bunga yang mengalami tekanan dan ancaman, saksi-saksi dari pihak Bunga juga mendapatkan tekanan dengan peringatan agar saksi harus berbicara sesuai dengan fakta, namun ketika ada saksi yang meringankan pelaku semua jawaban saksi ditelan bulat-bulat oleh aparat penegak hukum. Ketika saksi tersebut menyampaikan keterangannya, Bunga membisikan kepada pendamping bahwa hal yang diungkapkan saksi tersebut tidak benar. Di persidangan, jaksa menuntut pelaku dengan ancaman hukuman yang rendah dan setelah berminggu-minggu menjalani proses persidangan yang cukup melelahkan, hakim hanya menjatuhkan pidana kurang dari satu tahun penjara. Putusan tersebut membuat banyak pihak terutama dari pihak Bunga merasa kecewa karena hukum tidak berpihak kepada mereka.[1]

Sedihnya lagi, kisah Bunga tersebut hanya satu kasus dari banyaknya kasus yang terjadi pada perempuan dan anak perempuan. Berdasarkan data Komnas Perempuan pada tahun 2015 ada 6.499 kasus dan tahun 2016 ada 5.747 kasus perempuan yang mengalami kekerasan seksual, setiap tahun data yang ada cenderung meningkat. Data yang dikumpulkan tersebut bisa jadi jauh lebih besar lagi, karena berdasarkan riset Lentera Sintas Indonesia pada tahun  2016, ditemukan fakta bahwa 93% penyintas kekerasan seksual enggan melaporkan kasusnya karena berbagai sebab misalnya malu, takut diberikan stigma atau stereotip negatif dari masyarakat, tidak mengerti dengan proses hukum, dan lainnya.  Apalagi berdasarkan riset MaPPI FHUI pada 2016, berdasarkan data yang dikumpulkan 84.65% pelaku kekerasan seksual adalah orang yang dikenal korban seperti teman, pacar, tetangga, guru, tokoh yang dituakan, maupun atasan. Karena sistem yang tidak mendukung perempuan korban inilah pada akhirnya perempuan hanya bisa bungkam dan semakin menderita, sementara itu korban-korban lainnya turut berjatuhan.  Pada akhirnya perempuan korban apalagi yang miskin, berpendidikan rendah dan buta hukum adalah orang yang paling dirugikan dengan sistem peradilan yang belum memberikan perlindungan dan mengakomodir hak-hak perempuan didepan hukum.

Kasus Bunga tersebut merupakan gambaran pahitnya kenyataan yang harus dihadapi oleh perempuan yang menjalani proses hukum. Diskriminasi dan hambatan yang terjadi bahkan bukan hanya dalam kasus kekerasan seksual atau tindak pidana lainnya namun terjadi juga dalam berbagai perkara. Dalam perkara waris misalnya, perempuan tidak mendapatkan hak atas waris dari orangtuanya atau mendapatkan bagian yang jauh lebih sedikit dari saudara laki-lakinya, selain itu adapula kasus KDRT, perceraian, jinnayah, korupsi, dan perkara yang melibatkan perempuan baik sebagai pelaku, korban maupun saksi. Belum lagi jika perempuan adalah perempuan miskin, buta hukum atau difabel sehingga beban yang dihadapi semakin berat.

Meskipun berbagai regulasi dan peraturan perundang-undangan sudah mengatur perlindungan terhadap perempuan, pada kenyataannya mendapatkan perlindungan hukum dan akses terhadap keadilan bukanlah hal yang mudah. Untuk memastikan akses terhadap keadilan dan peradilan yang bebas dari diskriminasi bagi perempuan dan anak, pada tahun 2015 Mahkamah Agung kemudian membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan dan Anak karena melihat banyaknya perkara perempuan dan anak. Pokja dibentuk melalui SK Ketua Mahkamah Agung No. 43/KMA/SK/IV/2015 tanggal 13 April 2015 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Perempuan dan Anak yang diperbaharui dengan SK Ketua Mahkamah Agung Nomor 88/KMA/SK/V/2016. 

Pada tanggal 24-25 Juni 2016 perwakilan dari Mahkamah Agung menghadiri lokakarya Hakim Perempuan se-Asia Tenggara di Bangkok yang menghasilkan the Bangkok General Guidance for Judges on Applying a Gender Perspective in Southeast Asia (Bangkok Guidelines). Bangkok Guidelines memuat diantaranya konsep dasar tentang gender, penerapan prinsip kesetaraan gender, panduan dalam menerapkan perspektif gender dalam mengadili perkara, dan rekomendasi bagi negara peserta lokakarya untuk mengembangkan sistem peradilan yang sensitif gender.

Dalam menindaklanjuti adanya Bangkok Guidelines, sebagai bentuk komitmen atas Bangkok Guidelines, Mahkamah Agung kemudian berencana untuk membuat peraturan terkait penanganan perempuan di pengadilan. Pada akhir tahun 2016, MaPPI FHUI dan AIPJ mengadakan audiensi dengan Mahkamah Agung untuk membahas hasil penelitian MaPPI FHUI mengenai perempuan difabel dalam peradilan pidana. Prof. Takdir Rahmadi yang merupakan ketua Pokja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung mengajak MaPPI FHUI dan AIPJ untuk terlibat dalam membuat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) mengenai perempuan berhadapan dengan hukum. Selain karena adanya Bangkok Guidelines, inisiatif untuk membuat peraturan terkait perkara perempuan juga didorong dengan meningkatnya perhatian dunia internasional dan nasional mengenai isu-isu perempuan.

Selama beberapa bulan Mahkamah Agung didukung oleh MaPPI FHUI dan AIPJ menjalani proses panjang dalam perumusan draft perma. Pokja Perempuan dan Anak bersama tim melakukan rapat internal dan konsultasi publik untuk mengumpulkan masukan dari masyarakat maupun lembaga yang concern terhadap isu perempuan dan anak. Lembaga yang terlibat diantaranya LBH Apik, Komnas Perempuan, HWDI, UN Women, Institute Perempuan, LPSK, Majelis Ulama Indonesia, Aparat Penegak Hukum, akademisi, ekspert dan lembaga lainnya. Selama rapat pokja dan konsultasi publik banyak pihak yang antusias akan langkah dari Mahkamah Agung tersebut, terdapat banyak usulan, masukan, perdebatan dan diskusi yang dinamis antara para hakim dan publik. Salah satu masukan dari perwakilan lembaga agama adalah mengenai istilah-istilah yang sensitif seperti istilah pribumi, minoritas, orientasi seksual, interseks, dan ahli agama yang tadinya sempat tercantum dalam perma namun akhirnya dihilangkan. Masukan dari LBH Apik di antaranya adalah jika dimungkinkan hakim yang menangani perkara perempuan adalah hakim yang sudah mengikuti pelatihan kesetaraan gender.

Dalam rapat-rapat pokja dan diskusi ada perdebatan mengenai judul perma apakah “Pedoman Penanganan Perkara yang Berperspektif gender” atau “Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum”. Alasannya adalah karena jika mengacu kepada Bangkok Guidelines maka seharusnya menggunakan kalimat “gender” yang sebenarnya mengakomodasi perempuan dan laki-laki. Akhirnya setelah melalui diskusi panjang , pokja setuju dengan judul “Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum” karena dianggap memberikan kemajuan dan terobosan bagi perempuan yang seringkali menjadi pihak yang didiskriminasi. Mahakamah Agung juga mendapatkan saran dari kelompok disabilitas agar perma mengakomodir kebutuhan perempuan disabilitas yang seringkali terlupa dalam proses hukum. Sementara itu masukan lainnya dari peserta konsultasi publik adalah perlu adanya tindak lanjut dari adanya perma misalnya buku pedoman, pelatihan mengenai gender kepada hakim baik di diklat hakim dan cakim, sertifikasi hakim dan masukan-masukan lainnya, agar perma dapat berjalan dan diimplementasikan dengan baik serta dapat berdampak bagi perempuan.

Setelah melewati serangkaian rapat, FGD, konsultasi publik dan rapat finalisasi, draft akhirnya disetujui oleh Pokja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung. Draftrma kemudian dibawa kepada Ketua Mahkamah Agung untuk dipertimbangkan melalui forum rapat pimpinan yang terdiri dari ketua MA, wakil ketua MA, ketua kamar, ketua tim Pokja Perempuan dan Anak, juru bicara MA, Kepala Biro Hukum dan Humas serta pemangku kepentingan lainnya. Akhirnya pada tanggal 4 Agustus 2017 Mahkamah Agung mensahkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Setelah disetujui dan ditandatangani oleh ketua MA, proses selanjutnya adalah pengundangan di Kementerian Hukum dan HAM dan dipublikasi.

Perma No. 3 Tahun 2017 memberikan dasar tentang konsep kesetaraan gender, bagaimana hakim seharusnya berperilaku dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh hakim di persidangan. Perma juga mengatur mengenai apa saja hal yang seharusnya menjadi pertimbangan hakim ketika memeriksa dan mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum, seperti adanya ketidaksetaraan status sosial, ketidakberdayaan fisik dan fisik, relasi kuasa, adanya riwayat kekerasan, maupun dampak psikis. Perma membolehkan pemeriksaan audio visual jarak jauh sehingga memungkinkan perempuan korban untuk tidak hadir di persidangan dengan alasan-alasan tertentu. Perma memberikan kesempatan agar perempuan memiliki pendamping di persidangan. Perma melarang hakim menunjukkan sikap atau membuat pernyataan yang bias gender, membenarkan adanya diskriminasi terhadap perempuan, menanyakan riwayat seksual korban. Jika dalam pemeriksaan persidangan ada pihak yang bersikap atau membuat pernyataan yang merendahkan perempuan, maka hakim diharapkan dapat menegur pihak tersebut. Hal lain yang diatur didalam Perma adalah bahwa hakim juga seharusnya mempertimbangkan dan menanyakan mengenai kerugian, dampak kasus dan kebutuhan untuk pemulihan bagi korban.

Perma No. 3 Tahun 2017 mendapatkan apresiasi dari para aktivis, organisasi pemerhati perempuan, lembaga pengadaan layanan, akademisi dan pihak lainnya.  Bukan hanya itu, apresiasi juga datang dari para hakim, kejaksaan, kepolisian, pemerintah dan Komnas Perempuan. Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo mengatakan dalam wawancaranya kepada media, bahwa pembentukan perma ini merupakan sebuah terobosan karena materi-materi yang diatur dalam perma belum terakomodir dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).[2] Menurut Azriana Manalu R. Ketua Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam acara Hari Perempuan Internasional sekaligus sosialisasi Perma No. 3 Tahun 2017 mengatakan bahwa perma ini merupakan kemajuan yang signifikan dalam sistem hukum di Indonesia. Oleh karenanya perlu adanya sosialisasi dan implementasi dari perma agar benar-benar memberikan manfaat bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum.[3] Apresiasi yang sama juga diberikan oleh Usman Basuni yang merupakan perwakilan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak (KPPPA) yang mengatakan bahwa perma merupakan langkah maju dan terobosan bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum, beliau juga menaruh harapan cukup besar dari adanya perma. Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. M. Hatta Ali, S.H.,M.H mengatakan bahwa Perma No. 3 Tahun 2017 pada intinya bertujuan memastikan penghapusan segala potensi diskriminasi terhadap perempuan dan merupakan suatu langkah maju bagi dunia peradilan di Indonesia. Perma ini diharapkan dapat menjadi standar bagi hakim dan aparatur peradilan dalam melibatkan perkara yang melibatkan perempuan.

Dalam rangka emastikan Perma No. 3 Tahun 2017 diketahui dan diinternalisasi oleh hakim, aparat penegak hukum dan masyarakat, Mahkamah Agung menunjukkan bukti keseriusannya terkait tindak lanjut dari adanya Perma No.3/2017 tersebut adalah dengan menyusun dan menerbitkan buku “Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum” yang juga melibatkan MaPPI FHUI, ekspert di isu gender, dan mendapatkan masukan dari akademisi, serta lembaga-lembaga pemerhati perempuan seperti ICJR, LKR-JH dan organisasi difabel SAPDA. Buku pedoman tersebut dilaunching pada 20 Januari 2018 pada acara Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang dihadiri sekitar 400 orang hakim perempuan dari seluruh Indonesia. Mahkamah Agung dengan dukungan MaPPI FHUI dan AIPJ2, sudah melakukan sosialisasi Perma No.3/2017 ke beberapa daerah diantaranya Jakarta, Makassar, Aceh dan Jogja yang dihadiri oleh lebih dari 380 orang peserta yang terdiri dari hakim, aparat penegak hukum, pemerintah, akademisi, LSM, media dan lembaga lainnya.

Dari kegiatan sosialisasi di beberapa daerah tidak sedikit yang memberikan apresiasi dan menaruhkan harapan terhadap langkah Mahkamah Agung. Dari hasil kuisioner yang dibagikan pada saat sosialisasi ternyata 70,8% peserta sudah mengetahui adanya Perma No. 3 Tahun 2017 dari sosialisasi yang dilakukan oleh lembaga, website, media sosial, ataupun rekan kerja. 88,89% peserta juga berpendapat bahwa dengan diberlakukannya perma akan mengubah cara bekerja dengan alasan karena perma merupakan landasan dalam bertindak, menjamin hak-hak perempuan selama di persidangan, dan agar lebih profesional dalam bekerja. 81.4% Peserta juga berharap implementasi perma menjadi salah satu patokan dalam penilaian kinerja hakim oleh Badan Pengawasan. Dari acara sosialisasi 52.8% peserta berpendapat bahwa acara tersebut sangat bermanfaat bagi peserta untuk memperdalam isu kesetaraan gender, dan 30,4% berpendapat acara sosialisasi bermanfaat. Acara sosialisasi tersebut juga sudah berhasil membuka ruang diskusi antara hakim, aparat penegak hukum, CSO dan akademisi terkait isu perempuan berhadapan dengan hukum. Adanya Perma No. 3 Tahun 2017 dan sosialisasi perma juga sempat diliput dan di bahas di berbagai media nasional diantaranya hukumonline.com, alinea.id, tribunnews, indopos.co.id, magdalene.co, kompas.com, kumparan.com, republika, detik.com.

Dengan lahirnya Perma No. 3 Tahun 2017, buku pedoman dan adanya sosialisasi, maka hakim diharapkan mempunyai kepekaan gender dan dapat memperkaya kuantitas dan kualitas hakim yang memiliki kapasitas terkait kesetaraan gender yang akan membantu proses peradilan dan lahirnya putusan-putusan hakim progresif. Selain itu melalui putusan hakim diharapkan bukan hanya menerjemahkan aturan hukum, namun juga dapat menghadirkan rasa keadilan yang ada di masyarakat. Berkembang pula harapan bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum baik perempuan yang menjadi pelaku, korban dan saksi untuk mendapatkan hak-haknya dan akses terhadap keadilan. Perma ini juga menjadi harapan bagi aktivis perempuan dan para pendamping yang mendampingi perempuan berhadapan dengan hukum. selain itu meningkatnya reputasi dan citra Mahkamah Agung sebagai badan peradilan yang membuat berbagai reformasi, terobosan dan upaya untuk mengimplementasikan kesetaraan gender dalam lingkungan peradilan patut untuk diapresiasi. Putusan hakim diharapkan juga bukan hanya menerjemahkan apa yang ada di undang-undang namun juga dapat menghadirkan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat.

Harapan setelah adanya Perma No. 3 Tahun 2017 disampaikan  salah satunya oleh perwakilan dari Komnas Perempuan, Azriana Manalu yaitu adanya perubahan dan kebijakan yang sama ditingkat penyidikan dan kejaksaan. Sementara itu Usman Basuni dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menaruh harapan yang cukup besar dan berharap jumlah perempuan yang menjadi korban bisa menurun. Kelompok Kerja Perempuan dan Anak berharap perma ini bisa merubah mindset para hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara yang melibatkan perempuan serta dapat menjangkau Aparat Penegak Hukum yang lain.

Upaya dalam rangka memberikan hak dan akses kepada keadilan terhadap perempuan berhadapan dengan hukum belum selesai hanya dengan adanya Perma No. 3 Tahun 2017 semata. Masih banyak hal yang perlu dilakukan bukan hanya oleh Mahkamah Agung tetapi juga berbagai pihak dalam rangka memberikan perlindungan terhadap perempuan. Ketua Pokja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung Prof. Takdir Rahmadi menyampaikan bahwa perlunya memastikan Perma 3/2017 dapat berjalan, pentingnya kerjasama dan koordinasi antara kementerian lembaga seperti Kementerian Hukum dan HAM, KPPPA, Kementerian Keuangan, BaPPENAS, kepolisian, kejaksaan agar akses keadilan terhadap perempuan dapat dicapai dan dilaksanakan. Mahkamah Agung akan melakukan serangkaian tindakan untuk memastikan perma dapat terinternalisasi melalui program pelatihan calon hakim mengenai nilai-nilai perma, monitoring dan evaluasi jalannya perma melalui analisa putusan dan kegiatan lainnya yang bekerjasama dengan berbagai pihak. Sekecil apapun langkah yang sudah dilakukan patut untuk diapresiasi dan perlu bagi kita semua untuk mengawasi implementasi dari aturan-aturan yang ada. Supaya semua orang termasuk juga perempuan bisa benar-benar merasakan apa yang dimaksud dengan istilah “setiap orang sama dihadapan hukum” yang tercantum didalam undang-undang dasar negara Indonesia. 

 

“……..negara seharusnya merasa malu karena sistem hukum, perlindungan dan penegakan hukum serta keamanan global telah mengabaikan, mendiamkan atau gagal menanggapi kejahatan berbasis gender sebagaimana mestinya” – Dr. Kelly Dawn Askin

[1] Cerita Ena Nurjanah, Psikolog dan pekerja sosial di Lembaga Perlindungan Anak, cerita dapat dibaca di http://ena-nurjanah.blogspot.com/2014/06/mawar-tak-berduri-kisah-pendampingan.html

[2] Dalam wawancaranya kepada media http://wartakota.tribunnews.com/2017/08/13/perma-tentang-pedoman-mengadili-perkara-perempuan-dinilai-sebagai-terobosan-hukum diunduh pada 1 Juni 2017