Minggu, 20 November 2016, tepat dua tahun HM Prasetyo telah mengemban jabatan sebagai Jaksa Agung. Sebagai pimpinan dari lembaga yang memiliki peran sentral dalam penegakan hukum, rupanya Selama dua tahun menjabat, tercatat masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan Jaksa Agung Prasetyo di Kejaksaan. Secara garis besar, MaPPI FHUI membaginya pekerjaan rumah bagi Jaksa Agung menjadi tiga bagian:

  1. Reformasi birokrasi,
  2. Integritas Aparatur, dan
  3. Kinerja Kejaksaan.

1). Reformasi Birokrasi

Tidak banyak perubahan catatan MaPPI FHUI terkait dengan reformasi birokrasi di Kejaksaan. Dalam catatan MaPPI FHUI pada Hari Bakti Adhyaksa ke-55 lalu. Masalah pertama berkaitan dengan promosi-mutasi yang perlu untuk diperbaiki. Peraturan Jaksa Agung Nomor 49 Tahun 2011 yang juga mengatur promosi-mutasi masih memiliki celah sehingga sistem promosi-mutasi dilakukan secara subjektif. Misalnya, mutasi-promosi diatur harus berdasarkan “prestasi dan penilaian kinerja”. Perja tersebut juga mengamanatkan Jaksa Agung untuk membuat aturan mengenai penilaian kinerja. Akan tetapi, sudah 5 (lima) tahun peraturan tersebut berlaku belum ada peraturan Jaksa Agung tersebut sehingga acuan prestasi dan peniliaian kinerja menjadi kurang akuntabel.

Catatan kedua adalah kursi Wakil Jaksa Agung yang hingga saat ini masih diisi oleh Pelaksana Tugas Sementara. Padahal kedudukan Wakil Jaksa Agung ini sangat penting, mengingat unit-unit yang melakukan tugas reformasi birokrasi berada dibawahnya. Perlu diingat juga bahwa Wakil Jaksa Agung, sebagaimana dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor 32 Tahun 2010 memegang peranan sebagai Penanggung Jawab dalam pelaksanaan pelayanan informasi publik di Kejaksaan. Hal ini jelas akan berdampak pada upaya-upaya melakukan reformasi birokrasi di tubuh Kejaksaan.

Ketiga, Kejaksaan sebenarnya sudah memiliki berbagai instrumen sebagai pedoman mewujudkan reformasi birokrasi seperti Audit Tata Kepemerintahan Pada Kejaksaan RI (2001), Agenda Pembaruan Kejaksaan RI (2003), Cetak Biru Pembaruan Kejaksaan RI (2005), Program Reformasi Birokrasi (2008), dan Profil Kejaksaan RI 2025 (2009). Akan tetapi dengan kondisi reformasi birokrasi saat ini di Kejaksaan seperti berjalan di tempat. Keberadaan instrumen tersebut tidak akan membawa perubahan yang berarti apabila Jaksa Agung Prasetyo tidak memiliki komitmen untuk mengimplementasikannya.

2). Integritas Aparatur

Berkaitan dengan Integritas, maka selama Jaksa Agung Prasetyo menjabat masih adanya oknum jaksa yang terlibat dalam kasus korupsi. Beberapa contoh kasus korupsi yang melibatkan Jaksa adalah kasus korupsi yang diduga melibatkan aparatur Jaksa seperti dua Jaksa dari Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, penggelapan aset korupsi yang dilakukan oleh jaksa senior di Kejaksaan Tinggi NTT, dan dugaan suap yang melibatkan Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan Asisten Tindak Pidana Khusus di Kejati DKI Jakarta, serta dugaan keterlibatan Jaksa di Kejaksaan Tinggi Padang dalam kasus korupsi pengadaan gula bulog.

Hal Adapun berkaitan dengan penyelesaian Barang Sitaan, Barang Rampasan, Denda, dan Uang Pengganti yang dimiliki Kejaksaan, mengacu pada Laporan Tahunan Kejaksaan RI Tahun 2015, disebutkan bahwa Kejaksaan RI telah merealisasikan PNBP sebesar Rp. 704.674.783.420,- yang berasal dari penyelesaian Barang Sitaan, Barang Rampasan, Denda, dan Uang Pengganti. Memang ketika dibandingkan dengan target PNBP Kejaksaan RI, jumlah tersebut telah melampaui target. Akan tetapi ketika membandingkan dengan PNBP yang telah berhasil direalisasikan Kejaksaan RI tahun 2014 sebesar Rp. 3.449.76.335.896,-, tentu jumlah realisasi PNBP di 2015 menunjukkan penurunan yang cukup drastis.

Besarnya jumlah PNBP yang berhasil disetorkan tersebut, jika mengacu pada Laporan Tahunan Kejaksaan RI 2014 berasal dari denda Asian Agri Grup senilai 2,5 triliun Rupiah yang diselesaikan pada September 2014. Pembayaran denda tersebut memang salah satu bentuk prestasi Kejaksaan RI dalam menyelesaikan suatu perkara hingga tuntas. Akan tetapi hal tersebut terjadi sebelum dilantiknya Jaksa Agung HM Prasetyo.

PNBP Kejaksaan RI 2011 – 2015

Tahun

Target PNBP

Realisasi PNBP

2012

Rp. 120.873.000.000

Rp. 667.134.217.140

2013

Rp. 109.069.182.094

Rp. 527.702.962.013

2014

Rp. 149.256.330.000

Rp. 3.449.761.335.896

2015

Rp. 160.881.963.000

Rp. 704.674.783.420

Sumber: Laporan Tahunan Kejaksaan RI 2011 – 2015

Penurunan jumlah PNBP tersebut tentunya menjadi pertanyaan dikarenakan masih banyak Barang Sitaan, Barang Rampasan, Denda, dan Uang Pengganti yang belulm diselesaikan Kejaksaan RI. Pada tahun 2016, BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2015 mencatat Kejaksaan RI memiliki piutang PNBP sebesar Rp15.734.835.953.479. Jumlah piutang PNBP tersebut berada di peringkat kedua setelah Kementerian ESDM dengan besaran yang cukup siginifikan.

Piutang PNBP pada Kementerian/Lembaga dengan Nilai Cukup Signifikan

Kementerian / Lembaga

Piutang PNBP

Kementerian ESDM

Rp. 26.465.584.068.086

Kejaksaan Agung

Rp. 15.734.835.953.479

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Rp. 2.979.136.350.489

Kementerian Komunikasi dan Informatika

Rp. 2.946.352.645.936

Sumber: Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2015

Besarnya nilai piutang PNBP yang ada di Kejaksaan tersebut tentu seharusnya dapat menjadi pemasukan negara apabila Kejaksaan berhasil melakukan eksekusi dan menyelesaikan piutang-piutang tersebut. Hal ini semakin menunjukkan banyaknya tunggakan eksekusi terhadap perkara-perkara korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan, seperti kasus BLBI. Penyelesaian kasus ini menunjukkan fungsi pengawasan internal yang masih kurang efektif. Komitmen dan upaya Jaksa Agung dalam memperbaiki dan menjaga integritas aparatur kejaksaan tentu akan dipertanyakan.

3). Kinerja Kejaksaan

Catatan MaPPI FHUI terhadap kinerja Kejaksaan kali ini akan menyoroti beberapa hal pokok, yakni anggaran penanganan perkara, penanganan perkara yang berlarut-larut, dan tunggakan penyelesaian Barang Sitaan, Barang Rampasan, Denda, dan Uang Pengganti yang dimiliki Kejaksaan.

Terkait dengan anggaran, di tahun 2016 Kejaksaan hanya dianggarkan untuk menangani sebanyak 81.869 perkara. Padahal, di tahun sebelumnya, anggaran Kejaksaan dialokasikan lebih dari 120 ribu perkara. Sebagai contoh di Kejaksaan Negeri (Kejari) Hunipopu (Maluku) yang sebelumnya dialokasikan untuk menangani 28 perkara menjadi 15 perkara. Padahal per-Maret 2016 di Kejari Hunipopu jumlah perkara yang ditangani sudah mencapai angka 10 perkara. Selain alokasi total anggaran perkara, masalah lain juga muncul dari satuan anggaran perkaranya. Kejaksaan saat ini dialokasikan hanya sebesar 3-6 juta rupiah tergantung wilayahnya. Anggaran berkisar 3 dan 6 juta rupiah disama ratakan untuk seluruh wilayah Kejari tanpa ada pembedaan jenis perkara.

Masalahan anggaran ini akan berpotensi berdampak pada kinerja Kejaksaan, antara lain Pertama, kualitas penegakan hukum menjadi tidak maksimal. Jaksa akan menekan biaya yang diperlukan dalam proses pra penuntutan dan persidangan agar anggaran yang tersedia tercukupi. Kedua, keterbatasan anggaran ini akan membuka potensi praktik korupsi. Ketiga, persoalan ini akan membuka potensi adanya kasus-kasus yang terbengkalai. Seperti di Kejaksaan Negeri Maluku yang jumlah perkaranya sudah melebihi dari target, maka sangat memungkinkan jika Kejari setempat tidak menangani perkara yang akan masuk karena biaya operasional sudah habis. Pada akhirnya, proses penegakan hukum menjadi terhambat.

Berkaitan dengan penyelesaian perkara yang berlarut-larut, mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh MaPPI FHUI dan LBH Jakarta, ditemukan kurang lebih ada 200.000 berkas perkara yang tidak jelas statusnya. Temuan ini muncul setelah mencocokkan antara jumlah berkas perkara pidana umum yang dikirimkan oleh Kepolisian berkas pidana umum yang diterima Kejaksaan. Hal ini merupakan implikasi kurang terkoordinirnya dengan baik antara Kepolisian dengan Kejaksaan dalam penanganan suatu perkara. Imbasnya adalah berlarut-larutnya proses hukum yang terjadi, berpotensi terlanggarnya hak kepastian hukum baik dari korban maupun tersangka, dan terjadinya abuse of power dalam proses penanganan perkara.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan hal tersebut sebenarnya sudah ada di Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi sejak tahun 2015, yakni penerapan Sistem Penanganan Perkara Terintegrasi antara Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Adanya sistem ini tentu dapat mencegah terjadinya proses penanganan perkara berlarut-larut. Sayangnya penerapan sistem ini belum dilakukan oleh Kejaksaan secara menyeluruh.

kasus korupsi ini tentu akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Kejaksaan dalam penanganan kasus korupsi.

Tidak hanya berkaitan dengan eksekusi denda dan uang pengganti, Kejaksaan juga perlu memikirkan mengenai penyelesaian barang sitaan dan barang rampasan. Hal ini sempat menjadi sorotan beberapa waktu lalu. Perlu diketahui bahwa hampir dari keseluruhan barang-barang tersebut merupakan barang yang mengalami penyusutan nilai. Tentunya penyelesaian terhadap barang-barang tersebut dapat mengurangi terjadinya penyusutan nilai ekonomis yang besar.

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka kami, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FHUI menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Mendesak agar Jaksa Agung serius merevisi PERJA Pembinaan Karir Pegawai Kejaksaan;
  2. Mendesak Jaksa Agung untuk mengajukan nama Wakil Jaksa Agung sebagai upaya pembaruan di Kejaksaan RI;
  3. Mendesak agar Jaksa Agung secara serius membenahi permasalahan korupsi di Kejaksaan;
  4. Mendesak agar Jaksa Agung serius dalam menerapkan Sistem Penanganan Perkara Terintegrasi;
  5. Mendesak Jaksa Agung untuk serius dalam menyelesaikan Barang Sitaan, Barang Rampasan, Denda, dan Uang Pengganti.

Jakarta, 20 November 2016
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FHUI (MaPPI FHUI)
CP:
Choky Ramadhan (081808227963)
Ali Reza (082113048875)