Press Release MaPPI-FHUI

Hari Perempuan Internasional : Segera Bahas Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

Berbicara tentang Hari Perempuan Internasional artinya berbicara tentang apa yang sesungguhnya dialami oleh perempuan. Gerakan yang dimulai pada 28 Februari 1909 dan diperingati setiap tanggal 8 Maret setiap tahunnya tersebut telah menjadi gaun pergerakan masyarakat terhadap kondisi perempuan di dunia. Banyaknya bentuk ketidakadilan yang dialami perempuan di dunia tersebut telah menjadi dasar bagi banyak negara untuk mulai bergerak. Berbagai upaya pun dilakukan, mulai dari gerakan kecil sampai kepada pembentukan sejumlah peraturan dan kebijakan. Namun juga tidak dimungkiri bahwa praktik-praktik diskriminasi terhadap perempuan masih sangat banyak terjadi, bahkan lebih kompleks dan beragam. Hal ini tidak lain dikarenakan masifnya perubahan dan perkembangan zaman, yang tidak diikuti dengan perubahan sistem yang progresif.

Sebenarnya ada banyak cara untuk mengatasi hal tersebut, dan cara yang paling konkrit adalah melalui pembaharuan hukum. Pemerintah Indonesia sendiri telah banyak mengeluarkan sejumlah peraturan sebagai upaya perlindungan terhadap perempuan. Namun apakah peraturan yang ada telah mampu memberikan perlindungan seutuhnya kepada perempuan?

Belum hillang kekecewaan masyarakat terhadap kasus Baiq Nuril, korban pelecehan seksual yang dikriminalisasi UU ITE, beberapa waktu yang lalu masyarakat kembali dikecewakan dengan hasil akhir kasus Agni. Pasalnya, kasus perkosaan tersebut justru selesai hanya dengan kesepakatan damai antara pelaku dan korban. Kesepakatan tersebut ditawarkan oleh pihak kampus setelah sebelumnya mendapatkan rekomendasi dari komite etik UGM. Pihak pengacara Agni pun menuturkan bahwa kesepakatan tersebut merupakan jalan keluar terbaik bagi Agni.

Dua contoh kasus tersebut hanyalah segelintir dari banyaknya kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan Indonesia. Dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2019, angka perkosaan mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, yaitu mencapai 195 kasus di ranah perkawinan, diikuti dengan incest, kekerasan seksual dalam pacaran, dan kekerasan seksual dengan korban disabilitas. Memang angka tersebut tidak bisa langsung diindikasikan dengan meningkatnya kasus kekerasan seksual, bisa saja angka tersebut muncul karena semakin banyak korban yang berani melapor. Namun tingginya angka tersebut tetap harus ditindaklanjuti. Upaya yang dilakukan salah satunya dengan membuat rancangan peraturan perundang-undangan yang berperspektif korban, yaitu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), yang saat ini masih dalam tahap pembahasan. RUU ini merupakan lex specialist yang spesifik mengatur tentang tindak pidana kekerasan seksual dengan lebih mendalam yang diharapkan mampu memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Lantas perubahan signifikan seperti apa yang tercantum dalam RUU ini?

  1. Perumusan Definisi Delik berdasarkan Pengalaman Korban

Peraturan perundang-undangan terkait kekerasan seksual yang ada saat ini masih dianggap terlalu lemah, terutama mengenai pendefinisian jenis tindak pidana kekerasan seksual yang dianggap terlalu sempit.. Di dalam KUHP definisi perkosaan terbatas pada penetrasi alat kelamin saja, sedangkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mencoba untuk mengembangkan definisi perkosaan dengan mencakup penetrasi anggota tubuh yang bukan alat kelamin, maupun penetrasi dengan menggunakan alat.

Tindak pidana perkosaan pun masih dirumuskan dengan istilah “persetubuhan”, yang artinya perkosaan hanya dikatakan terjadi apabila ada hubungan badan antara pelaku dan korban. Padahal dalam praktiknya banyak kasus perkosaan yang hanya dikenakan pasal pencabulan, padahal sebenarnya telah terjadi penetrasi, walaupun bukan dengan alat kelamin. Sebut saja kasus kekerasan seksual yang menimpa Agni, seorang mahasiswi UGM, yang oleh Balairung Press UGM kasusnya tidak dikategorikan sebagai perkosaan. Kasus Agni dianggap tidak memenuhi unsur pasal 285 KUHP tentang perkosaan, padahal pelaku telah melakukan penetrasi jari ke dalam vagina korban. Sayangnya, KUHP kita hanya mengatur perkosaan dalam bentuk penetrasi ke vagina.

Definisi lainnya yang juga turut diperluas adalah definisi cabul. Pada dasarnya KUHP telah mengatur mengenai perbuatan cabul dalam Pasal 289, namun tidak secara eksplisit menyebutkan apa yang dimaksud dengan perbuatan cabul itu sendiri. Lalu bagaimana dengan rumusan tindak pidana cabul di dalam RUU penghapusan kekerasan seksual? RUU penghapusan kekerasan seksual sebenarnya tidak lagi menggunakan istilah pencabulan, melainkan pelecehan seksual. Istilah pencabulan sendiri terminologinya sangat sempit, hanya terbatas pada kontak fisik saja, sedangkan fakta di lapangan menunjukkan bahwa korban juga seringkali mendapatkan pelecehan seksual non fisik, seperti cat calling, diperlihatkan alat kelamin, penyebaran konten porno, dan lain sebagainya dengan tujuan untuk melecehkan korban. Namun sayangnya, pelecehan seksual non fisik ini tidak ada pengaturannya di dalam peraturan perundang-undangan saat ini, sehingga ketika hal tersebut terjadi pelaku tidak dapat dijerat. Maka dari itu, selain bentuk pelecehan fisik, RUU ini juga mengatur mengenai pelecehan seksual non fisik. Tujuannya tidak lain adalah agar korban dari segala bentuk pelecehan seksual dapat terakomodir dan mendapatkan perlindungan hukum.

  1. Terobosan Hukum Formil yang Berperspektif Korban

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menawarkan mekanisme pemeriksaan saksi dan korban yang lebih mudah. Kemudahan tersebut diantaranya diakuinya keterangan korban sebagai alat bukti, dengan syarat harus didukung oleh satu alat bukti lainnya. Hal ini didasarkan pada kenyataan sulitnya membuktikan korban adalah korban kekerasan seksual dikarenakan ketentuan alat bukti yang masih kaku. Aparat penegak hukum pun tidak dapat berbuat banyak karena pada dasarnya mereka harus mengacu pada ketentuan yang ada. Hal ini tentu akan menyulitkan korban. Tidak hanya sebatas itu, upaya perlindungan pun turut diberikan kepada saksi dan korban pada saat proses pemeriksaan perkara. Saksi dan korban yang merasa terancam atau mengalami trauma dapat dimintakan pemeriksaan dengan perekaman elektronik dan pemeriksaan jarak jauh dengan komunikasi audio visual. Tujuannya tidak lain adalah untuk melindungi kepentingan korban dan mempermudah jalannya proses pemeriksaan perkara.

Selain kemudahan dalam proses pemeriksaan saksi dan korban, kemudahan lainnya yang juga ditawarkan dalam RUU ini yaitu adanya pemberian restitusi bagi korban kekerasan seksual juga termasuk sebagai salah satu upaya perlindungan yang termuat dalam RUU ini. Restitusi memang telah diatur di dalam peraturan lainnya terkait kasus anak yang menjadi korban tindak pidana, pelanggaran HAM berat. Namun peraturan-peraturan tersebut masih dalam lingkup yang terbatas, yaitu diperuntukkan bagi anak korban tindak pidana, dan korban pelanggaran ham berat. Meskipun di dalam PP No. 7 Tahun 2018 pengaturannya memang lebih umum, namun permasalahannya terletak pada mekanisme pengajuannya yang harus melalui LPSK. Perlu diketahui bahwa saat ini LPSK hanya berada di Ibukota Negara saja, yaitu Jakarta. Tentu hal tersebut akan menjadi hambatan bagi korban kekerasan seksual yang berada di daerah ketika hendak mengajukan restitusi. Sementara di dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, pengajuan restitusi merupakan kewajiban aparat penegak hukum, yang artinya korban dapat langsung mengajukan restitusi tanpa harus melalui LPSK.

Oleh karena itu, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI-FHUI) dalam turut serta memperingati Hari Perempuan Internasional, menyatakan sikap sebagai berikut;

  1. MaPPI-FHUI mendesak perlu adanya pembaruan peraturan terkait perlindungan perempuan sebagai korban. Karena peraturan yang berlaku saat ini kurang maksimal dalam melindungi korban ketika mengalami kekerasan seksual.
  2. Pemerintah dan DPR perlu segera melakukan pembahasan terkait RUU PKS dalam rangka mewujudkan penegakan hukum yang berspektif perlindungan terhadap korban.
  3. Pemerintah dan DPR perlu melibatkan masyarakat sipil maupun akademisi yang memiliki perspektif perlindungan perempuan sebagai korban dalam proses pembahasannya. Agar produk hukum yang dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan dari permasalahan yang ada.