Penegakan hukum merupakan isu strategis yang menjadi perhatian Pemerintah dan DPR pada tahun 2016. Dalam kurun waktu satu tahun, dinamika yang terjadi di level legislasi, kebijakan, institusi hingga pada proses peradilan menjadi penting untuk disikapi.

1) Korupsi di Peradilan

Korupsi rupanya masih menjadi isu utama permasalahan institusi peradilan di Tahun 2016. Berdasarkan catatan MaPPI FHUI, terdapat 13 Hakim, Pejabat, dan Pegawai Pengadilan yang diduga terlibat kasus korupsi sepanjang tahun 2016 (daftar terlampir). Mirisnya, di antara oknum pengadilan yang diduga terlibat tersebut adalah Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Terhadap permasahalan korupsi peradilan tersebut, MaPPI FHUI melihatnya dari tiga hal, yakni rekrutmen, pengawasan, dan pimpinan.

Jika ditelusuri salah satu permasalahan korupsi peradilan maka akan sangat berkaitan dengan kualitas SDM yang merupakan hasil dari rekrutmen Mahkamah Agung. Tahun 2016, Mahkamah Agung kembali menyelenggarakan rekrutmen Hakim Ad-hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Proses kali ini pun tak luput dari masalah dimana hampir 75% calon hakim ad hoc tersebut tidak memiliki pengetahuan hukum dasar dan tindak pidana korupsi yang baik. Permasalahan ini tentu muncul karena Mahkamah Agung belum menetapkan suatu standar kebutuhan dan kriteria akan Hakim Tipikor yang ideal sehingga orang-orang yang tidak berkualitas bisa lolos proses seleksi. Selain itu, sebagian besar calon hakim ad hoc juga memiliki catatan mengenai integritasnya.

Selanjutnya, sinergitas dan koordinasi pengawasan yang dilakukan antara Badan Pengawasan MA dan KY tidak berjalan dengan baik. Tidak jarang MA tidak melaksanakan rekomendasi hasil pemeriksaan hakim yang dilakukan oleh KY. Di sisi lain, MA dan KY sering berbeda pendapat dalam melihat pelanggaran etik yang dilakukan oleh hakim. Perdebatan kedua lembaga juga sangat terasa dalam pembahasan RUU Jabatan Hakim, khususnya berkaitan dengan konsep shared responsibility antara MA dan KY dalam pengelolaan manajemen hakim.

Permasalahan tidak berhenti pada tataran etik dan disiplin hakim. Sejak tahun 2009, penindakan terhadap hakim yang diancam dengan sanksi berat dilakukan melalui Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Sayangnya, hasil keputusan MKH tidak serta merta diikuti dengan langkah penegakan hukum. Padahal, setengah dari kasus yang ditangani MKH adalah kasus penyuapan dan permainan perkara.

Di level pimpinan, MA memiliki pekerjaan rumah menunjuk posisi Sekretaris yang telah kosong sejak 28 Juli 2016 lalu karena sekretaris yang lama, Nurhadi, mundur akibat terlibat dalam kasus korupsi penanganan perkara. Merespon pengunduran diri tersebut, Mahkamah Agung menyelenggarakan seleksi terbuka untuk pengisian jabatan Sekretaris Mahkamah Agung. Hingga saat ini sudah ada tiga nama dari tujuh nama yang lolos hingga tahapan saat ini. Tiga nama tersebut antara lain Aco Nur, Imron Rosyadi, dan Achmad Setyo Pudjoharsoyo. Mengingat strategisnya posisi Sekretaris MA dalam reformasi peradilan, seleksi harus dilakukan dengan melihat pada (1) integritas, (2) kapasitas manajerial organisasi, dan (3) pemahaman akan business process di lembaga peradilan.

2) Potret Fair Trial & Trial by the Press

Paling tidak ada dua kasus yang mendapat persidangannya selalu menjadi sorotan publik di tahun 2016, yaitu kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin dengan tersangka Jessica Kumala Wongso dan kasus penodaan agama dengan tersangka Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Sorotan publik yang begitu besar, terutama melalui media massa, menimbulkan pertanyaan mengenai pemenuhan prinsip praduga tak bersalah sebagai salah satu elemen penting dari fair trial.

Pemberitaan secara langsung dan terus menerus suatu proses persidangan ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, membangun kesadaran publik mengenai pentingnya keterbukaan dalam proses peradilan merupakan hal yang penting. Proses peradilan harus dilakukan secara terbuka sehingga masyarakat dapat menyaksikan prosesnya. Publik harus dapat melihat dan merasakan bahwa proses peradilan memang benar-benar memberikan rasa adil. Namun demikian, pemberitaan yang dilakukan tanpa adanya proses verifikasi data/fakta yang jelas justru cenderung membuat bingung masyarakat. Terlebih apabila pemberitaan justru memberikan pengaruh pada sidang pengadilan yang berjalan.

Dalam persidangan Jessica, Majelis Hakim mempersilahkan media melakukan siaran langsung di setiap tahapan persidangan. Pemberitaan dilakukan secara terus menerus, bahkan ketika pemeriksaan saksi dan alat bukti lainnya sedang berlangsung. Hal ini sangat berpotensi mengganggu integritas proses persidangan karena semua orang, termasuk saksi yang belum diperiksa, dapat menyaksikan secara langsung keterangan yang disampaikan dalam persidangan. Hal ini tentunya melanggar ketentuan mengenai pemeriksaan saksi di KUHAP dan tentang larangan campur tangan dalam urusan peradilan dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Perbaikan diperlihatkan dalam pemeriksaan kasus Ahok, majelis tidak lagi memberikan kebebasan penuh kepada pers dan media untuk meliput secara langsung proses persidangan. Peliputan langsung dibatasi hanya pada proses pembacaan berkas dan tidak pada proses pembuktian dan pemeriksaan alat bukti.

3) Carut-Marutnya Data Kriminalitas dan Strategi Penegakan Hukum

Ketersediaan data kriminalitas yang akurat sangat penting untuk menghasilkan kebijakan pidana yang tepat dan berdampak luas. Dengan memanfaatkan data kriminalitas, negara dapat merumuskan strategi pencegahan dan penindakan kejahatan yang efektif, mengalokasikan sumber daya secara tepat guna, serta dapat mengukur keberhasilan kinerja penegakan hukum.

Sayangnya, pengelolaan data kriminal yang akurat, menyeluruh, terintegrasi dan berkelanjutan masih menjadi kendala di Indonesia. Data kriminalitas yang ada saat ini hanya terbatas pada data yang dilaporkan oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan, rumah tahanan (RUTAN) dan lembaga pemasyarakatan (LAPAS). Data ini memiliki kelemahan, karena tidak mencerminkan kondisi riilkriminalitas di Indonesia.

Di sisi lain, data kriminalitas yang dilaporkan oleh institusi yang ada juga bermasalah. Pengelolaan data kriminal selama ini dilakukan oleh masing-masing institusi dengan cara dan nomenklatur yang berbeda satu dengan yang lain. Selain itu, data dari institusi penegak hukum juga seringkali tidak akurat. Sebagai contoh, untuk pencatatan jumlah kasus dan tersangka narkotika pada tahun 2015, data yang dilaporkan dalam Refleksi Akhir Tahun Kinerja POLRI 2015 berbeda dengan data Statistik Kriminal 2015 (BPS), padahal data BPS bersumbernya dari data POLRI.

Carut-marutnya pencatatan kriminalitas di Indonesia berimplikasi pada buruknya perencanaan penegakan hukum. Pada April 2016 Jaksa Agung mengeluhkan kekurangan anggaran yang diberikan pada Kejaksaan. Kurangnya anggaran Kejaksaan tak lain disebabkan buruknya basis data yang digunakan sebagai acuan penganggaran. Hingga saat ini, kejaksaan tidak mampu menentukan berapa anggaran ideal yang diperlukan untuk menyelesaikan satu kasus pidana karena tidak memiliki data dapat menunjukkan berapa rata-rata lama penanganan perkara, jumlah saksi yang dibutuhkan, serta kebutuhan khusus kejaksaan di daerah terkait perkara-perkara khusus seperti illegal logging dan illegal fishing, yang berimplikasi langsung pada besarnya anggaran yang diperlukan.

Praktik penegakan hukum juga terus berlangsung tanpa landasan yang memadai. Untuk perkara narkotika, misalnya, penegak hukum cenderung lebih sering menggunakan pasal kepemilikan (Pasal 111 dan 112 UU Narkotika) dan pembelian narkotika (Pasal 114 UU Narkotika) dibandingkan dengan pasal penyalahgunaan narkotika (Pasal 127 UU Narkotika) hanya karena pasal kepemilikan dan pembelian narkotika lebih mudah dibuktikan, memuat ancaman pidana yang lebih berat, serta lebih praktis untuk dieksekusi. Kebijakan ini tidak terbukti membawa hasil yang signifikan. Mengacu pada penelitian Badan Narkotika Nasional, prevalensi penyalahgunaan narkotika pada tahun 2015 meningkat 0,02 dibanding tahun sebelumnya.

Selain itu, praktik penanganan perkara narkotika justru menyebabkan penjara penuh. Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM menunjukkan, dari tahun 2012-2015, tahanan dan terpidana narkotika menempati lebih dari setengah kapasitas rutan dan lapas. Dari presentase tersebut, pengguna menempati hampir seperempat dari kapasitas penjara di Indonesia.Padahal beberapa studi dari berbagai negara telah menunjukkan bahwa pemenjaraan untuk pengguna narkotika tidak dapat memberikan efek jera, berbiaya mahal, dan justru menimbulkan korban sampingan (keluarga terpidana).

4) Legislasi dan Kebijakan (Pidana) yang Represif

Pada level legislasi, kecenderungan Indonesia dalam memperberat ancaman hukuman di berbagai peraturan perundang-undangan semakin meningkat.

Pada Mei 2016, misalnya, Pemerintah mengeluarkan PERPPU Nomor 1 Tahun 2016 yang meningkatkan hukuman penjara hingga seumur hidup dan hukuman mati, serta memperkenalkan hukuman kebiri kimiawi terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap Anak. Namun, di sisi lain, Pemerintah justru lupa untuk memberi perhatian lebih khusus dan berfokus kepada kepentingan para korban kekerasan seksual, seperti rehabilitasi dan menjamin proses penegakan hukum yang tidak diskriminatif terhadap korban. Tragisnya, PERPPU tersebut disahkan DPR pada Oktober 2016.

Hal ini bermasalah karena peningkatan ancaman hukuman tidak serta merta akan menyelesaikan masalah kriminalitas dan bahkan akan merusak tatanan hukum pidana Indonesia. Sebagai contoh, Pasal 81 ayat (5) PERPPU Kebiri tersebut mengancamkan pidana penjara minimal 10 tahun (hingga hukuman mati) untuk kasus-kasus kekerasan seksual tertentu. Padahal di saat yang bersamaan, ancaman minimum tersebut sama beratnya dengan kejahatan genosida di UU Pengadilan HAM dan juga merupakan hukuman maksimal untuk penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian dalam Pasal 354 ayat (2) KUHP.

Kondisi tersebut berdampak secara langsung terhadap lembaga pemasyarakatan (LAPAS) karena semakin lamanya hukuman yang dapat dijatuhkan akan menghasilkan jumlah tahanan dan narapidana yang semakin banyak. Oleh karenanya, apabila Indonesia ingin menyelesaikan masalah overcrowding di LAPAS, hal esensial yang perlu dilakukan adalah menghentikan kecenderungannya untuk terlalu mudah membuat aturan yang memperberat hukuman.

Selain itu, pada level kebijakan, Indonesia juga semakin represif. Di saat lebih dari 170 negara berkomitmen untuk menghapus hukuman mati (atau setidaknya melakukan moratorium hukuman mati), pada bulan Juli 2016, Kejaksaan kembali mengeksekusi empat orang terpidana mati, yaitu Freddy Budiman, Michael Titus, Seck Osmani, dan Humphrey Eijke. Eksekusi ini pun tak lepas dari masalah mengingat keempatnya belum menerima Keputusan Presiden atas permohonan grasi yang diterimanya dan pada beberapa kasus, vonis mati dijatuhkan melalui proses yang bermasalah.

Di samping perkembangan-perkembangan di atas, Indonesia sedang mempersiapkan sistem hukum pidananya yang baru melalui RKUHP. Hingga saat ini, pembahasan di DPR telah berlanjut hingga membahas beberapa kejahatan di Bab II RKUHP. Namun sayangnya, usulan yang dimasukkan dalam RKUHP tersebut juga bermasalah. Pasal-pasal mengenai lesse majeste (penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden) dan hatzai artikellen (penghinaan terhadap Pemerintah) yang telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi kembali dimasukkan oleh pembuat RKUHP dan mengindikasikan proteksi yang berlebihan kepada Negara. Selain itu, Pemerintah juga mencampuradukkan ruang privat warga negara dengan hukum pidana ketika memutuskan untuk mengkriminalisasi hubungan seksual di luar perkawinan yang dirumuskan tanpa memerlukan pengaduan.

5) Minimnya Kontrol terhadap Kewenangan Penegak Hukum

Begitu represifnya legislasi dan kebijakan pidana di tahun 2016 juga diikuti dengan masifnya penggunaan hukum pidana untuk menyelesaikan berbagai masalah di Indonesia.

Di awal tahun, peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR), Erwin Natosmal Oemar, dijadikan tersangka kasus pencemaran nama baik institusi POLRI atas komentarnya di salah satu program televisi nasional karena menyebut POLRI sebagai ‘mesin kriminalisasi’. Selain itu, pada Agustus 2016, Koordinator KontraS, Haris Azhar, dilaporkan oleh POLRI, TNI, dan BNN akibat menyebarluaskan informasi yang diberikan terpidana mati Freddy Budiman tentang keterlibatan oknum di ketiga institusi tersebut dalam transaksi narkotika. Meski Haris dihentikan penyelidikannya,

Dua kasus di atas menunjukkan minimnya kontrol yang diberikan perundang-undangan atas kewenangan POLRI untuk menetapkan tersangka. Memang saat ini praperadilan dapat dijadikan tempat untuk menguji keabsahan penetapan tersangka tersebut, namun proses praperadilan bersifat post-factum yang baru bisa digunakan ketika seseorang sudah dijadikan tersangka. Tidak ada mekanisme apapun dalam hukum acara pidana Indonesia yang memungkinkan penetapan tersangka diuji secara pre-factum.

Hal ini juga diakibatkan oleh dianutnya prinsip diferensiasi fungsional yang mengotak-ngotakkan fungsi penyidikan, penuntutan, dan pengadilan sebagai suatu hal yang independen dari yang lainnya. Padahal, masing-masing sub sistem tersebut harus saling mengawasi sebagai bentuk dari mekanisme check and balances dalam sistem peradilan pidana terpadu. Sebagai akibat dari tidak berjalannya pengawasan terhadap proses penyidikan tersebut, dalam catatan MaPPI FHUI, terdapat 44.273 perkara yang menggantung di tahap prapenuntutan selama kurun waktu 2012-2014. Bahkan terdapat 256.270 perkara yang tidak dilaporkan ke penuntut umum dalam waktu yang sama. Jika hal ini dibenahi, Jaksa Agung tidak perlu mengeluarkan deponeering apabila kasus yang diterima Kejaksaan tidak layak disidangkan ke pengadilan, seperti yang diberikan kepada Bambang Widjojanto dan Abraham Samad pada Maret 2016.

Terhadap hal-hal di atas, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyatakan sikap:

  1. Meminta lembaga pengawas pengadilan (Badan Pengawasan MA dan Komisi Yudisial) berkoordinasi dan bersinergi dengan POLRI, KPK, Kejaksaan, dan Ombudsman untuk memangkas habis praktik mafia hukum;
  2. Mendesak MA mengevaluasi dan menerapkan praktik terbaik (best practices) dalam pelaksanaan pelayanan publik di pengadilan serta menyelenggarakan seleksi hakim yang ketat dan tidak berkompromi;
  3. Mendesak Presiden untuk memilih Sekretaris MA yang berintegritas, kapasitas manajerial dan paham akan business processperadilan;
  4. Mendesak Pemerintah membangun sistem pencatatan data kriminalitas terpadu, berkelanjutan dan dapat dipertanggungjawabkan;
  5. Mendesak Pemerintah untuk mengambil kebijakan pidana berbasiskan bukti (evidence-based policy) dan tidak emosional;
  6. Mendesak Pemerintah dan penegak hukum untuk tidak menggunakan hukum pidana sebagai solusi terdepan dalam penyelesaian masalah;
  7. Mendesak Pemerintah dan DPR melakukan reklasifikasi tindak pidana dan gradasi pemidanaan secara serius melalui pembahasan RKUHP;
  8. Mendesak Pemerintah dan DPR untuk memasukkan RKUHAP dalam Prolegnas 2017 dan mengatur kontrol atas penyidikan yang bersifat pre-factum di dalamnya.

Narahubung:

Anugerah Rizki AkbariKepala Divisi Reformasi Sistem Peradilan Pidana081219020301
Cendy AdamKepala Divisi Portal Data Peradilan085229454264
Muhammad RizaldiKepala Divisi Pemantauan Peradilan085781207042

Daftar Hakim, Pejabat, & Pegawai Pengadilan yang Diduga Terlibat Korupsi di Tahun 2016

NoNamaJabatanKeterangan
1Janer PurbaHakim Tipikor Bengkulu, Ketua PN Kepahiang23 Mei 2016, ditangkap karena dugaan suap penanganan perkara korupsi RSUD Muhammad Yunus, Bengkulu
2TotonHakim Tipikor Bengkulu23 Mei 2016, ditangkap karena dugaan suap penanganan perkara korupsi RSUD Muhammad Yunus, Bengkulu
3Andri Tristianto SutrisnaKasubdit Kasasi Perdata Direktorat
Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Mahkamah Agung
11 Februari 2016, ditangkap karena suap dan gratifikasi penanganan perkara terkait penundaan pengiriman salinan putusan kasasi kasus korupsi di Lombok Timur
4Edy NasutionPanitera/Sekretaris PN Jakarta Pusat26 April 2016, ditangkap karena dugaan suap penanganan perkara sejumlah perusahaan di PN Jakarta Pusat
5NurhadiSekretaris Mahkamah Agung21 April 2016, rumah Nurhadi digeledah karena dugaan korupsi penanganan perkara
6RohadiPanitera PN Jakarta Utara17 Juni 2016, ditangkap karena dugaan suap penanganan perkara Saipul Jamil
7Syamri AdnanHakim Tinggi Pengadilan Tinggi Syariah Nangroe Aceh Darussalam6 Februari 2016, ditangkap karena dugaan mark up pembebasan lahan pembangunan gedung Pengadilan Agama Maninjau
8Partahi Tulus HutapeaHakim PN Jakarta Pusat27 Juli 2016, Diperiksa KPK karena dugaan keterlibatan suap penanganan perkara PT MMS dengan PT KTP
9CasmayaHakim PN Jakarta Pusat27 Juli 2016, Diperiksa KPK karena dugaan keterlibatan suap penanganan perkara PT MMS dengan PT KTP
10AndrianiWakil Kepala Pengadilan Tinggi Mataram4 Agustus 2016, dalam proses persidangan terungkap percakapan antara Andriani dengan Andri Sutrisna terkait pengaturan perkara
11KosidahPegawai Panitera Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung17 Juni 2016, Dipecat karena dianggap terlibat dalam perkara suap yang melibatkan Andri Sutrisna
12Sarwo EdiPegawai di PN Jakarta Pusat17 Juni 2016, Dipecat karena dianggap terlibat dalam perkara penanganan perkara Edi Nasution
13IrdiansyahPegawai di PN Jakarta Pusat17 Juni 2016, Dipecat karena dianggap terlibat dalam perkara penanganan perkara Edi Nasution

Download (PDF, 289KB)