Oleh : Siska Trisia

Siska Trisia. Foto: Dokumen Pribadi

Pada tanggal 29 Desember 2017 lalu, Ketua Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia, M. Hatta Ali menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 9 Tahun 2017 tentang Format (Template) dan Pedoman Penulisan Putusan atau Penetapan Mahkamah Agung. Terbitnya PERMA ini merupakan respon dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 103/PUU/XIV/2016 terkait pengujian Pasal 197 ayat (1) KUHAP mengenai format putusan pemidanaan tingkat Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK).

Terbitnya PERMA ini patut diapresiasi karena menjadi solusi dari permasalahan manajemen perkara di MA saat ini. MA saat ini masih memiliki permasalahan tunggakan penyelesaian perkara, khususnya proses minutasi (pengetikan) perkara hingga pengiriman putusan ke pengadilan pengaju.

Lamanya proses minutasi tidak bisa dianggap hal yang biasa, karena lamanya minutasi juga membuka peluang terjadinya korupsi, seperti yang terjadi pada kasus mantan Kepala Sub Direktorat Kasasi Perdata MA Andri Tristianto Sutrisna yang divonis hukuman penjara 9 tahun karena menerima gratifikasi untuk menunda pemberian salinan putusan.

Selain itu, format putusan sebelumnya juga dinilai tidak efektif karena minimnya pertimbangan Hakim MA. Format saat ini lebih fokus mengulang materi yang termuat di putusan pengadilan tingkat sebelumnya. Penelitian MaPPI-FHUI tahun 2015 dengan melakukan penelusuran 150 putusan MA, ditemukan bahwa, hanya 12% bagian putusan yang memuat isi pertimbangan majelis hakim, sisanya merupakan informasi yang sudah dimuat dalam putusan pada tingkat sebelumnya (riwayat perkara).

Apabila dihitung lebih rinci, hanya 2-5 halaman yang benar-benar memuat mengenai isi pertimbangan hakim. Padahal sebagai mahkota hakim di persidangan, putusan seharusnya lebih mampu menjawab permasalahan hukum yang diajukan kepada hakim melalui perkara yang disidangkan, terutama pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali.

Terobosan Perma Nomor 9 tahun 2017

PERMA 9/2017 yang salah satunya mengatur tentang format (template) putusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi dan peninjauan kembali untuk perkara pidana, perdata, TUN, militer dan jinayat. Dalam perkara perdata umum misalnya, secara garis besar struktur putusan tersebut pada awalnya terdiri dari: Kepala Putusan; Identitas Para Pihak; Duduk Perkara dan Amar Putusan Judex Facti; Proses Kasasi / Peninjauan Kembali; Alasan Upaya Hukum Kasasi/ Peninjauan Kembali; Pertimbangan Mahkamah Agung; Amar Putusan dan Paragraf Penutup.

Dalam PERMA 9/ 2017 beberapa poin dari struktur putusan di atas disederhanakan dengan alasan poin-poin tersebutlah yang menyebabkan sebuah putusan menjadi tebal dan membuat proses minutasinya pun menjadi sangat lama. Selain itu, kondisi tersebut juga menyebabkan minimya pertimbangan hukum yang diberikan oleh hakim MA dalam memutus perkara. Adapun bagian struktur putusan yang disederhanakan, yaitu:

  1. Identitas Para Pihak

Dalam format sebelumnya bagian identitas para pihak disebutkan secara lengkap mengenai nama dan kedudukannya, maka PERMA 9/2017 menetapkan bahwa identitas para pihak disederhanakan, apabila jumlah kuasa hukum lebih dari satu orang, sehingga cukup disebutkan satu orang kuasa hukumnya saja, diikuti dengan kata ‘dkk.’, kecuali jika para kuasa hukum tersebut berasal dari kantor hukum yang berbeda.

Jika para kuasa hukum tersebut berasal dari kantor hukum yang berbeda, maka tiap kantor hukum dituliskan satu kuasa hukum, diikuti dengan kata ‘dkk’. Selain itu, untuk alamat para pihak yang awalnya ditulis lengkap, dengan PERMA ini dilakukan penyederhanaan untuk alamat kuasa hukum, cukup dituliskan nama kota atau kabupaten serta nama provinsinya saja.

  1. Duduk Perkara

Pada format sebelumnya bagian duduk perkara memuat seluruh isi gugatan dan petitum dari penggugat, eksepsi, jawaban, gugatan rekonvensi, serta petitum tergugat. Pada PERMA 9/2017 perihal duduk perkara tersebut tidak lagi dituliskan semuanya. Dengan pertimbangan informasi tentang duduk perkara ini pada dasarnya telah tersedia juga di dalam putusan tingkat pertama, sebagai gambaran umumnya maka hanya akan diisi dengan isi petitum penggugat dan tergugat, beserta petitum eksepsi, rekonpensi, maupun intervensi, jika ada.

  1. Amar Putusan Judex Facti

Tidak seperti format yang sebelumnya, untuk bagian amar putusan judex facti dalam PERMA 9/2017 diusulkan tidak lagi berisi seluruh isi amar putusan, baik putusan tingkat pertama maupun tingkat banding. Sedangkan berdasarkan PERMA 9/2017 cukup dituliskan keterangan tentang inti putusan tingkat pertama dan banding tersebut, berikut nomor pengadilan, nama pengadilan yang memutus, serta tanggal putusan.

Adapun yang dimaksud dengan inti putusan di sini adalah sebatas keterangan apakah di tingkat pertama gugatan dikabulkan, ditolak, atau dinyatakan tidak dapat diterima, serta apakah pengadilan banding menguatkan, menolak atau mengadili sendiri permohonan banding.

  1. Alasan Kasasi

Jika pada format putusan sebelumnya bagian alasan kasasi dicantumkan secara keseluruhan maka pada PERMA 9/2017 bagian alasan kasasi ini tidak perlu lagi memuat keseluruhan alasan kasasi yang ada dalam memori kasasi, melainkan cukup petitum kasasinya saja.

Manfaat Penyederhanaan Putusan Bagi Pencari Keadilan

Putusan pengadilan merupakan suatu hasil mufakat musyawarah Hakim yang menjadi produk dari suatu pengadilan. Pada perkara pidana, putusan pemidanaan merupakan bentuk hukuman pemidanaan kepada seorang terdakwa yang berisi perintah untuk menghukum terdakwa.

Ketika terdakwa pada tingkat kasasi dijatuhkan pidana oleh Hakim dan ternyata terdakwa merasa tidak puas dengan putusan tersebut, maka selaku pencari keadilan, terdakwa dalam perkara tersebut diberikan hak untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Upaya hukum tersebut dapat digunakan, apabila putusan pada tingkat sebelumnya sudah diterima oleh terdakwa dan kemudian digunakan untuk membuat memori atau alasan upaya hukum pada Peninjauan Kembali.

Dengan gambaran kondisi tersebut, maka ketika putusan yang bersangkutan ternyata tidak dapat diakses oleh terdakwa dengan alasan masih dalam proses minutasi. Oleh karena itu hak terdakwa untuk mengajukan upaya hukum tentunya akan terlanggar.

Selanjutnya, dalam perkara perdata, putusan hakim pada tingkat kasasi yang telah berkekuatan hukum tetap memiliki kekuatan eksekutorial bagi para pihak berpekara. Eksekusi sendiri merupakan tindakan paksa yang dilakukan pengadilan negeri terhadap pihak yang kalah dalam perkara supaya pihak yang kalah dalam perkara menjalankan amar putusan pengadilan sebagaimana mestinya (Yahya Harahap:1991).

Ketika putusan yang akan dieksekusi belum dapat diperoleh lantaran proses minutasi putusan yang lama, maka sudah pasti hak para pihak untuk melakukan eksekusi akan terhambat.

Terakhir, bagi masyarakat umum seperti akademisi, peneliti dan mahasiswa hukum. Putusan berfungsi sebagai “sumber pembelajaran” mengenai hukum. Melalui putusan yang dikeluarkan oleh hakim, masyarakat umum akan mengetahui dan memahami bagaimana hakim bersikap dan menafsirkan suatu isu hukum yang menjadi permasalahan masyarakat melalui perkara yang diajukan ke persidangan.

Hal tersebut pun sudah diakomodir melalui PERMA 9/2017, di mana dengan format putusan yang lebih sederhana hakim sudah diberikan ruang yang cukup luas untuk menuangkan segala pendapat hukumnya dalam hal memutus suatu perkara.

Opini dimuat dalam : Hukumonline.com