Oleh: Siska Trisia
Siska Trisia. Foto: Dokumen Pribadi
Korupsi lembaga peradilan masih menjadi permasalahan yang tak kunjung usai di Indonesia. Berdasarkan catatan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI) sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk hingga kini, setidaknya ada 27 Hakim dan Panitera yang tertangkap oleh KPK karena terjerat kasus korupsi.
Bahkan hakim pengadilan tipikor yang seharusnya mengadili perkara korupsi pun juga ikut terjerat kasus korupsi, sebut saja Dewi Suryana, Kartini Marpaung dan beberapa hakim tipikor lainnya. Yang terbaru Hakim Wahyu Widya Nurfitri dan Panitera Tuti Atika di P engadilan Negeri Tangerang. Keduanya di tangkap oleh KPK atas dugaan penerimaan suap dalam pengurusan perkara perdata yang akan disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang.
Fenomena korupsi di pengadilan bukan saja terjadi dalam bentuk suap kepada panitera atau hakim di Pengadilan. Dalam penelitian MaPPI FHUI tahun 2017, praktik koruptif dalam lembaga peradilan juga terjadi dalam bentuk pungutan liar (pungli). Hingga kini masih banyak ditemukan praktik pungli yang dilakukan oleh oknum pengadilan dalam memberikan layanan publik kepada masyarakat. Praktik koruptif ini bahkan masih ditemukan di Jakarta dan kota besar lainnya seperti Medan, Serang, Bandung, Malang dan Yogyakarta.
Praktik pungli di pengadilan umumnya dilakukan oleh oknum panitera dan panitera muda hukum. Hal ini dikarenakan kedua posisi tersebut memiliki posisi yang cukup strategis dalam memberikan pelayanan publik bagi masyarakat. Keduanya memiliki akses untuk berhubungan langsung dengan masyarakat pencari keadilan terutama dalam hal pendaftaran surat kuasa dan pengambilan salinan putusan kasus perdata dan pidana.
Setidaknya ada dua modus yang sering digunakan dalam praktik pungli di pengadilan. Pertama, pengenaan biaya layanan tambahan di luar ketentuan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tanpa disertakan bukti bayar yang resmi. Dari dua layanan dasar pengadilan di 5 pengadilan negari masih ditemukan adanya pengenaan biaya Rp10 ribu hingga Rp100 ribu untuk layanan pendaftaran surat kuasa dan Rp50 ribu hingga Rp500 ribu untuk layanan salinan putusan.
Padahal jika mengacu pada aturan PNBP dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku Pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya, untuk mendaftarkan surat kuasa para pihak hanya diwajibkan membayar Rp5 ribu dan Rp300/lembar putusan untuk salinan putusan. Pengenaan biaya di luar PNBP juga dilakukan dengan tidak memberikan bukti bayar kepada pengguna layanan.
Kedua, permintaan uang lelah oleh oknum pengadilan. Permintaan uang lelah ini pada umumnya dimintakan di akhir pemberian layanan dengan besaran yang beragam. Hal ini juga dibuktikan dengan berlarut larutnya lama waktu pelayanan yang diberikan kepada para pihak apabila uang yang dimintakan tidak dipenuhi oleh pengguna layanan. Alasannya untuk mendapatkan layanan prima uang “lelah” tentu sudah sewajarnya dibayarkan.
Temuan MaPPI FHUI di atas, juga sejalan dengan temuan yang didapatkan Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Pada penelitiannya tahun 2016, ORI juga menemukan bahwa biaya untuk memperoleh salinan putusan (pidana ataupun perdata) dilakukan dengan sistem paket. Artinya biaya yang dikenakan kepada pengguna layanan bukan dihitung per lembar putusan yang dimintakan, melainkan per satu putusan perkara yang diminta, di mana harga untuk satu putusan bekisar Rp150 ribu hingga Rp300 ribu.
Dengan permasalahan-permasalahan di atas, Mahkamah Agung (MA) sebagai pucuk tertinggi lembaga peradilan seharusnya melakukan upaya dan mengambil langkah tegas untuk menghilangkan praktik koruptif yang tumbuh “subur” di lembaganya. Hal tersebut bisa dilakukan dengan dua hal, pertama meminimalisir celah pungli itu sendiri dan kedua melakukan penindakan secara tegas terhadap oknum-oknum yang melakukan pungli.
Dalam hal meminimalisir terjadinya pungli, MA harus mendorong semua Ketua Pengadilan Negeri (KPN) untuk mengeluarkan Penetapan terkait biaya panjar perkara (termasuk biaya pendaftaran surat kuasa dan biaya salinan putusan) dengan mengacu pada aturan PNBP. Hingga saat ini masih banyak PN yang tidak memiliki aturan tersebut. Sehingga masyarakat tidak mengetahui biaya resmi yang harus mereka keluarkan saat akan mengakses layanan terkait perkaranya. Kondisi demikian membuat oknum pengadilan semakin “lihai” memainkan praktik pungli dengan kewenangan yang dimiliki.
Selain mekanisme penerbitan Penetapan KPN tentang panjar perkara, guna meminimalisir terjadinya praktik pungli di Pengadilan, MA dapat memaksimalkan penggunaan website direktori putusan yang sudah ada.Hingga saat ini putusan yang terdapat pada direktori putusan MA hanya sekadar memenuhi tuntutan undang-undang keterbukaan informasi publik. Itupun masih dilakukan setengah hati mengingat kondisi putusan pada laman tersebut tidak “up to date” dan tidak lengkap.
Tidak hanya itu, putusan dalam direktori putusan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Di mana, putusan dalam direktori putusan tersebut tidak dapat dijadikan dasar pelaksanaan eksekusi karena dianggap sebagai putusan yang “tidak resmi”. Padahal apabila layanan direktori putusan tersebut dimaksimalkan, maka para pencari keadilan akan mudah untuk mendapatkan putusan yang mereka butuhkan tanpa harus datang ke pengadilan. Melainkan cukup dengan “mengunduh” putusan melalui laman web yang tersedia. Dengan begitu juga maka tidak akan ada lagi pertemuan langsung antara pemberi dan penerima layanan sehingga tertutuplah akses antara oknum pengadilan yang nakal untuk melakukan pungli.
Dalam hal penindakan terhadap oknum pengadilan yang melakukan pungli (Panitera), MA harus menggelar sidang etik dan menjatuhkan sanksi etik kepada aparatur yang terbukti melanggar etika sesuai dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung (SK KMA) tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Panitera dan Juru Sita Nomor 122 tahun 2013. Sanksi yang diberikan bisa berupa teguran, penurunan pangkat hingga pembebasan tugas.
Selain itu, demi terwujudnya “pengadilan yang bebas pungli” secara menyeluruh, MA perlu merangkul dan bekerjasama dengan berbagai pihak untuk memantau dan melaporkan para aparatur pengadilan yang menyalahi kewenangannya. MA tentunya juga harus membuka diri terhadap laporan pengaduan yang disampaikan masyarakat baik melalui Badan Pengawasan MA ataupun Komisi Yudisial. Upaya-upaya tersebut harus dilakukan secara rutin dan berkesinambungan. Sehingga dengan demikian maka akan terciptalah kultur aparatur pengadilan yang bersih dan berintegritas.
Opini dimuat dalam : Hukumonline.com