thumb_746935_04103216022015_budi_gunawan1RMOL. Selama proses persidangan praperadilan Budi Gunawan, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) melakukan pemantauan. Oleh karena itu, MaPPI merasa perlu untuk memaparkan poin-poin penting berdasarkan hasil pemantauan tersebut.

Pertama, gugatan praperadilan yang diajukan BG kurang tepat untuk diajukan karena tidak termasuk dalam lingkup praperadilan. Seperti, tidak sahnya keputusan KPK yang dipimpin hanya oleh empat pimpinan karena tidak sesuai dengan prinsip kolektif kolegial. Dan laporan hasil analisis (LHA) PPATK hanya untuk perkara TPPU.

“Bahkan tuntutan BG agar KPK menyerahkan bukti-bukti terkait kasus yang menimpa perwira-perwira polisi kepada Kepolisian adalah tidak tepat,” kata pemantau MaPPI FHUI, Evandri G. Pantouw dalam katerangannya, Minggu (16/2).

Menurutnya, permohonan BG yang meminta KPK untuk menyerahkan berkas terkait perkara pidana ini ke Kepolisian dan menetapkan seluruh penetapan yang dikeluarkan KPK tidak sah dan cacat yuridis dinilai terlalu jauh melampaui kewenangan praperadilan.

“Pada titik ini, sudah jelas, bahwa penetapan tersangka BG sama sekali tidak bisa diselesaikan melalui upaya praperadilan,” ujar Evandri G. Pantouw.

Kedua, sebagian besar keterangan saksi maupun ahli yang diajukan tidak memiliki relevansi dengan pokok perkara praperadilan. Evandri menjelaskan, 50 bukti yang dihadirkan adalah kliping media. Ia menilai ini bukti yang diajukan oleh pihak BG tidak ada relevansi dengan pokok perkara.

Sebagian besar saksi yang dihadirkan oleh BG memberikan keterangan di luar konteks perkara atau informasi yang diketahuinya secara faktual. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip dalam pembuktian. Pembuktian hanya mengenai materi pokok perkara yang dipersidangkan. Misalnya, keterangan saksi Plt Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto bahkan lebih terkesan seperti testimoni politik dibandingkan menyangkut perkara BG.

Ketiga, dalam memeriksa perkara ini, hakim seharusnya memeriksa terlebih dahulu kompetensi pengadilan dan objek praperadilan. Hakim tidak boleh langsung memasuki pokok perkara. Dengan demikian, apabila objek yang diajukan BG tidak dapat diperiksa dan diputus oleh praperadilan, hakim tidak perlu membahas lebih jauh terkait materi pokok perkara.

“Oleh karena itu, kami menyatakan bahwa gugatan praperadilan yang diajukan BG tidak tepat. Secara formil, gugatan praperadilan sudah diatur secara limitatif dalam KUHAP. Kami berharap hakim yang memutus perkara ini dapat memutus perkara ini secara objektif dan menolak permohonan gugatan praperadilan yang diajukan oleh BG,” demikian Evandri G. Pantouw. [rus]

Sumber: hukum.rmol.co.