Baru-baru ini Yang Mulia Hakim Binsar Gultom (Hakim Binsar) memberikan pernyataan kontroversial terkait sarannya untuk mengadakan tes keperawanan bagi perempuan dan laki-laki sebelum menikah. Dalam bukunya yang berjudul “Pandangan Kritis Seorang Hakim”, Hakim Binsar menyatakan perlunya tes keperawanan terhadap calon mempelai sebelum menikah sebagai persyaratan secara tegas. Bahkan lebih lanjut dalam bukunya tersebut Hakim Binsar berpandangan perlu tindakan preventif dan represif dari pemerintah, seperti penundaan pernikahan, jika salah satu mempelai sudah tidak perawan.

Meski pandangan Hakim Binsar tersebut berangkat dari keprihatinannya terhadap tingginya angka perceraian, lebih lanjut, menurutnya perceraian adalah pelanggaran hukum dan negara, dan pernikahan adalah hal yang sakral dan bukan main-main, akan tetapi sangat disayangkan justru respon terhadap permasalahan tersebut justru berbentuk diskriminasi terhadap martabat perempuan dan laki-laki. Bahkan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia pun menyatakan bahwa tes keperawanan tersebut merupakan hal yang sangat tidak manusiawi.

Pernyataan dan Pandangan Hakim Binsar tersebut patut disesalkan, karena menggambarkan masih adanya stereotip dan bias gender. Penyataan tersebut juga mencerminkan masih adanya masalah dalam perspektif gender dan HAM para Hakim di Indonesia. Stereotip yang berkembang selama ini menggambarkan perempuan yang baik harus suci secara seksual sehingga mereka harus menjaga kesucian/keperawanannya. Selain itu, MaPPI FHUI menganggap bahwa tes keperawanan ini merupakan bentuk intervensi negara yang terlalu jauh terhadap ranah privat tiap orang tanpa ada dasar pembenaran. 

Dalam riset MaPPI FHUI, ditemukan bahwa Hakim masih cenderung melihat riwayat seksual perempuan korban menjadi dasar pertimbangan dalam memutus suatu perkara, jika korban perkosaan sudah tidak perawan/memiliki riwayat seksual maka hukuman bagi pelaku lebih rendah yakni rata-rata 3.6 tahun penjara dibandingkan jika korban masih perawan, yakni rata-rata 6 tahun penjara. Stereotip yang melekat pada masyarakat dan aparat penegak hukum pada akhirnya akan merugikan perempuan, melanggengkan stigma dan membuat perempuan mengalami reviktimisasi.

Merespon pandangan Hakim Binsar tersebut, Mahkamah Agung (MA) Juli 2017 lalu telah menerbitkan Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 (PERMA) tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Dalam PERMA tersebut, Hakim diwajibkan untuk dapat mengidentifikasikan dan tidak membenarkan adanya stereotip gender, diskriminasi, kebudayaan dan adat, tafsiran ahli yang diskriminatif terhadap perempuan.

Pandangan Hakim Binsar tentu bertentangan dengan PERMA tersebut, dimana Hakim justru sudah mulai merubah perspektifnya dan bisa menjadi penggerak dalam kesetaraan gender agar perempuan dan laki-laki dapat memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia secara setara dan mampu berperan serta berpartisipasi dalam pembangunan.

Penyataan Hakim Binsar tersebut juga perlu ditindaklanjut oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI sebagai bentuk dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku Hakim, yakni Hakim berperilaku arif dan bijaksana.

Oleh karenanya MaPPI FHUI mendesak agar:

  1. Hakim Binsar meminta maaf secara terbuka yang dimuat di media cetak dan elektronik atas pernyataannya yang telah mendiskreditkan perempuan.
  2. Hakim Binsar untuk menarik dan merevisi seluruh buku “Pandangan Kritis Seorang Hakim” yang telah di cetak dari pasar sesuai dengan prinsip penulisan ilmiah yang berperspektif Hak Asasi Manusia.
  3. Badan Pengawas Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI agar berperan aktif memeriksa Hakim Binsar atas dugaan pelanggaran kode etik hakim.
  4. Mahkamah Agung Republik Indonesia segera melakukan sosialisasi terhadap seluruh hakim di Indonesia mengenai PERMA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman dalam Mengadili Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.
  5. Mendesak Mahkamah Agung Republik Indonesia agar memasukkan materi HAM berpersfektif gender pada seluruh kurikulum pada setiap program pembinaan calon hakim dan hakim

Depok, 12 September 2017

Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI)

Narahubung:

Bestha Inatsan Ashila (085778482636)