Pangkas Putusan untuk Tutup Perbaikan Manajemen Perkara MA
Dio Ashar Wicaksana
Ketua Divisi Riset Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Tertangkap tangannya Kepala Sub-Direktorat Kasasi dan Perdata Khusus Mahkamah Agung (MA) Andri Tristianto Sutrisna, seolah membuka kembali luka lama di dalam tubuh lembaga MA. Kejadian ini bukan pertama kalinya terjadi di ranah institusi peradilan tersebut. Dari kasus ini, memperlihatkan bahwa penanganan perkara di MA masih menyediakan celah potensial bagi praktik korupsi di kalangan personil MA. Peristiwa tersebut tentunya merugikan MA secara kelembagaan. Ibaratkan ‘duri’ bagi MA di tengah-tengah upaya gencar yang dilakukan MA dalam memperbaiki nama dan citra lembaganya di mata publik. Permasalahan dari sistem penanganan perkara di MA, adalah banyaknya tunggakan perkara serta lamanya proses minutasi perkara.

Permasalahan Format Putusan MA

Minutasi perkara merupakan tahap pengetikan putusan sejak putusan diucapkan hingga terbitnya salinan putusan. Akhir 2014, Ketua MA menetapkan SK KMA No. 214 Tahun 2014 yang mengatur jangka waktu penanganan perkara. Berdasarkan SK tersebut, jangka waktu minutasi putusan paling lama 103 hari. Jangka waktu tersebut juga dinilai belum sesuai dengan praktiknya. Penyelesaian perkara sejak awal hingga dikirimkan kembali ke Pengadilan pengaju membutuhkan waktu 528 hari, dimana 243 harinya untuk menyelesaikan proses minutasi perkara (LeIP, 2014). Salah satu penyebab lamanya proses minutasi adalah format putusan yang tidak sederhana, sehingga proses pengetikan dan koreksi putusan memakan waktu yang lama.

Dengan format putusan yang belum sederhana, MA harus menyelesaikan pengerjaan dengan cara pengetikan pada aplikasi Word. Ditambah lagi, proses koreksi putusan masih dilakukan dengan cara membaca manual per-kata. Proses pengetikan dan koreksi semakin sulit karena format putusan yang tidak sederhana. Banyak informasi yang sebenarnya tidak perlu dimuat kembali dalam putusan MA. MaPPI-FHUI menelusuri 150 putusan MA. Dari penelusuran tersebut, hanya 12 % bagian putusan yang membuat isi pertimbangan Majelis Hakim, sisanya merupakan informasi yang sudah dimuat di putusan pada tingkat sebelumnya, (seperti surat dakwaan, surat tuntutan, amar putusan tingkat sebelumnya). Apabila dihitung, hanya 2-5 halaman yang benar-benar membuat isi pertimbangan Hakim.

Tidak efektifnya format putusan berimplikasi terhadap kinerja pegawai MA dalam menyelesaikan minutasi perkara MA. Tercatat 44% penyelesaian minutasi perkara membutuhkan waktu berkisar antara 6-12 bulan (Mahkamah Agung RI, 2014). Bisa dibayangkan bagaimana beban kerja pegawai MA dalam mengetik keseluruhan putusan dan mengkoreksi putusan, jika format putusan masih tidak sederhana. Sehingga kedepannya perlu adanya penyederhanaan format putusan, agar lebih mengedepankan isi pemikiran dari para Hakim, bukan informasi-informasi yang bersifatnya pengulangan.

Metode Penyederhanaan Format Putusan MA

Penyederhanaan format putusan bisa dilakukan dengan meringkas bagian-bagian yang memuat pengulangan informasi. Metode penyederhanaan bisa dilakukan dengan menggunakan metode rujukan. Sehingga bagian seperti informasi surat dakwaan, surat tuntutan dan amar putusan pengadilan tingkat sebelumnya dapat disederhanakan dengan menggunakan link (tautan). Nantinya, putusan pada tingkat sebelumnya dapat dijadikan lampiran tersendiri, dengan disertai pernyataan bahwa lampiran tersebut merupakan bagian tidak terpisahkan dari putusan MA. Dalam metode tersebut dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yaitu dengan menggunakan hyperlink, merujuk dokumen, atau penomoran paragraf.

Metode hyperlink dilakukan dengan cara memuat link dari dokumen yang dirujuk. Metode ini akan mengurangi isi riwayat perkata di putusan. Namun metode ini bisa dilakukan jika semua dokumen terkait perkara sudah dimuat secara digital dan melalui situs-situs resmi instansi yang terkait. MA sendiri saat ini sudah memuat putusan-putusan dari tingkat pertama hingga Mahkamah Agung ke situs http://infoperkara.badilag.net/. Namun sayangnya belum semua putusan pengadilan (dari tingkat PN hingga MA) sudah dimuat di situs tersebut. Sehingga metode ini baru bisa dilakukan secara menyeluruh, jika sistem teknologi informasi pengadilan sudah siap memuat semua perkara. Namun tidak menutup kemungkinan jika MA melakukan uji coba pada putusan-putusan yang dapat diakses secara digital.

Metode merujuk pada dokumen, sebenarnya mirip dengan cara penulisan ilmiah. Jika di tulisan ilmiah mengutip pendapat dari penulis lain, maka penulis wajib memuat sumber bacaan yang dirujuk. Demikian juga dalam menyusun putusan MA, untuk informasi perkara dapat dilakukan dengan mengutip dokumen yang dirujuk. Contohnya, “seperti yang dimuat di dalam Putusan Pengadilan Tingkat Sebelumnya (PN XX, Putusan Pengadilan Negeri XX No. XXX/…., hlm.xx). Metode ini bisa dilakukan dengan segera, karena tidak perlu menunggu sistem teknologi informasi yang memadai. Namun, metode ini akan sulit diterapkan jika semua berkas perkara sudah diunduh kedalam sistem internet. Sehingga memungkinkan halaman yang dirujuk akan berbeda, karena format penulisan di internet akan berbeda dengan media cetak.

Metode penomoran paragraf merupakan metode yang digunakan di Pengadilan Federal Australia. Sehingga nantinya rujukan yang dipakai tidak hanya membuat nomor halaman, tetapi juga memuat nomor paragraf. Contohnya seperti di Putusan Federal Australia. Selain itu, metode penomoran paragraf akan berguna jika nantinya putusan MA dipublikasikan melalui media internet. Seperti contoh di putusan Pengadilan Irlandia, putusan seringkali dipublikasikan dengan format HTML. Dengan adanya penomoran paragraf, MA tidak perlu khawatir untuk merujuk pada suatu dokumen, karena metode ini tidak akan bergantung terhadap nomor halaman, melainkan nomor paragraf.

Tim Peneliti Penyederhanaan Format Putusan Mahkamah Agung pernah menguji coba ketiga metode tersebut terhadap 30 putusan MA. Hasilnya 55% halaman bisa diringkas dengan membuat link pada bagian dakwaan, tuntutan, dan amar putusan pengadilan tingkat sebelumnya. Sehingga format putusannya menjadi lebih sederhana, dan memudahkan untuk membaca pertimbangan Majelis Hakim.

Penutup

Pada akhirnya, penyederhanaan format putusan menjadi suatu langkah yang perlu dipertimbangkan oleh Mahkamah Agung. Dengan penyederhanaan format putusan, kerja pegawai MA dalam menyelesaikan minutasi perkara bisa menjadi lebih cepat dan meminimalisir potensi kesalahan ketik. Pada akhirnya, para pencari keadilan bisa lebih mudah dan cepat untuk mendapatkan putusan yang berkualitas dari Mahkamah Agung.

Versi asli sudah pernah dimuat di situs: hukumonline.com.