Anggaran Kejaksaan untuk penanganan perkara pidana umum (pidum) mengalami pemangkasan di tahun 2016 ini. Pada tahun sebelumnya, anggaran perkara pidana umum (pidum) dialokasikan untuk 120.019 perkara di tingkat Kajari dan Cabjari, namun di tahun 2016 ini menurun menjadi hanya 39.514 perkara. Padahal jumlah penanganan perkara pidum menunjukan angka diatas 100.000 lebih pada tahun 2012-2014 (lihat tabel 1). Di tahun 2014, jumlah perkara yang ditangani sejak tahap prapenuntutan hingga eksekusi berjumlah sebanyak 141.962.

35

Implikasi Pemotongan Anggaran Perkara Kejaksaan

Pemerintah menyusun target kerja Kejaksaan berdasarkan data penanganan perkara di Kejaksaan. Hal tersebut terlihat di dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019, dimana pemerintah menargetkan kenaikan penyelesaian perkara di tahap Kejari dan Cabjari. Pada tahun 2015, target penyelesaian perkara berkisar 126 ribu. Sedangkan di tahun 2016 hingga 2019, target penyelesaian perkara menjadi sebanyak 131 ribu (Lihat Tabel 2). Namun, perwujudan perencanaan tersebut tidak sejalan dengan perencanaan anggaran, yang pada akhirnya Kejaksaan hanya dialokasikan untuk menangani sebanyak 39.514 perkara.

aa

Salah satu contoh dampak dari pemangkasan ini terjadi di Kejari di wilayah Maluku. Ditemukan data di Kejari wilayah Maluku, yang semulanya dianggarankan untuk 60-70 perkara menjadi hanya sekitar 15 perkara. Mirisnya, hingga akhir Februari 2016 ini, Kejaksaan wilayah setempat sudah menangani sekitar 15 perkara lebih. Temuan tersebut menandakan sinyal bahaya untuk kondisi penegakan hukum di Indonesia. Jika rata-rata perkara yang ditangani Kejaksaan melebihi angka 100.000 perkara, bisa menjadi pertanyaan kepada pihak Kejaksaan, bagaimana cara mereka untuk menyelesaikan perkara jika anggaran mereka sudah habis sejak awal tahun. Tentu saja temuan ini akan berpotensi tidak hanya terhadap performa Kejaksaan, melainkan juga menyebabkan adanya potensi praktik KKN di Kejaksaan.

Selain itu, sistem penentuan keberhasilan dan penyusunan anggaran perkara di Kejaksaan perlu diubah. Hingga saat ini, indikator keberhasilan Jaksa dalam menangani perkara berdasarkan jumlah perkara yang diselesaikan. Padahal fungsi utama penegak hukum bukan hanya menindak setiap perkara yang masuk, tetapi juga menjamin adanya keadilan, perlindungan hak, dan juga bebas korupsi. Selain itu, fungsi penuntut umum sebagai pengendali perkara juga sebagai penentu mana yang layak/tidak untuk dibawa ke Pengadilan. Sehingga jika penuntut umum tidak menemukan bukti yang cukup, maka mereka bisa mengesampingkan perkara melalui kewenangan SKP2 seperti kasus Novel Baswedan. Sehingga jika pola penganggaran mereka seperti itu, Kejaksaan bisa menggunakan sistem penganggaran actual cost seperti yang dilakukan oleh KPK.

Implikasi Penganggaran Kejaksaan Terhadap Perkara-Perkara yang Sulit Pembuktiannya

Permasalahan anggaran perkara di Kejaksaan sebenarnya bukanlah hal yang baru. Komisi Kejaksaan pernah menyatakan bahwa anggaran perkara di Kejaksaan tidaklah berbasiskan kebutuhan. Pada tahun 2011, Kejaksaan diberikan biaya Rp. 29,5 juta per perkara pidum, namun karena tidak mencukupi keseluruhan penanganan perkara, maka Kejaksaan menurunkan satuan biaya perkara. Sehingga di tahun 2012 satuan besaran anggaran berkurang menjadi Rp. 5.8 juta per perkara, dan kembali mengalami pengurangan menjadi Rp. 3.3 juta pada tahun 2013 (Laporan Penelitian Komisi Kejaksaan, 2013). (tabel 3).

33

Anggaran berkisar 3 juta rupiah tidak sesuai dengan kebutuhan biaya yang harus dikeluarkan. Dalam praktiknya, MaPPI-FHUI mencatat jaksa membutuhkan biaya tidak kurang dari Rp. 8 juta untuk perkara di Kejaksaan Negeri (Kejari) yang tidak satu wilayah dengan Pengadilan Negeri (PN). Kebutuhan yang tinggi itu terjadi pada Kejari seperti di Papua, NTT dan Maluku, dimana banyak Kejari yang wilayahnya tidak terdapat PN. Kebutuhan tinggi tersebut dibutuhkan untuk transportasi laut maupun udara untuk sekedar pergi bersidang. Bisa dibayangkan bagaimana besarnya biaya jika membawa saksi, Terdakwa dan petugas keamanan. Belum lagi konsumsi dan penginapan, jika perjalanannya tidak cukup satu hari.

Meskipun pada tahun 2015 lalu, besaran anggaran sudah dibedakan terhadap Kejari yang tidak satu wilayah dengan PN, namun besaran tersebut masih dianggap belum cukup. Besaran tersebut berkisar 6 jutaan, namun kesulitan terjadi jika perkara yang ditangani merupakan perkara yang sulit pembuktiannya, seperti contoh perkara narkotika, illegal loging, illegal fishing, human trafficking,dll). Dari laporan Kejaksaan, tercatat jumlah perkara tersebut mencapai angka 24.767 perkara (Laporan Kejaksaan RI, 2014). Tentu saja jumlah tersebut bukanlah jumlah yang sedikit, sehingga proporsi anggaran penanganan perkara saat ini sudah tidak ideal lagi dalam pelaksanaan praktiknya. (lihat Tabel 4)

36

Seperti kasus illegal fishing, ikan-ikan yang menjadi barang bukti harus diperlakukan khusus agar tidak menjadi busuk. Selain itu, Kejaksaan juga perlu tempat khusus untuk menyimpan kapal yang digunakan dalam suatu tindak pidana illegal fishing. Anggaran penanganan Kejaksaan juga belum mengalokasikan khusus seperti biaya perlindungan barang bukti, pengamanan persidangan, ekstradisi, ataupun sekedar biaya saksi ahli. Akibatnya, jaksa mengeluhkan besaran anggaran yang tidak mencukupi untuk menyelesaikan suatu perkara, terutama di wilayah-wilayah terpencil yang membutuhkan biaya transportasi yang besar. Kejaksaan sendiri mengakui bahwa minimnya anggaran penanganan perkara menjadi salah satu penyebab praktik korupsi.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo sendiri memiliki visi untuk menguatkan potensi SDA. Sebagai contoh, pemerintah memiliki strategi untuk meningkatkan keamanan dan pengawasan pemanfaatan sumber daya kelautan. (Bappenas, RPJMN 2015-2019). Namun, sayangnya tujuan baik tersebut tidak dikorelasikan dengan kebijakan anggaran untuk penanganan kasus di perkara-perkara illegal fishing maupun llegal logging.

Kesimpulan

Berdasarkan kondisi dan permasalahan tersebut, maka Kolisi Pemantau Peradilan (KPP) mengusulkan:

  1. Membuat klasifikasi perkara berdasarkan kebutuhan anggaran (misal perkara yang butuh anggaran besar: illegal logging);
  2. Perlu membangun sistem pencatatan laporan penanganan perkara di tiap wilayah Kejari. Sistem tersebut mencatat jumlah perkara, jenis perkara, biaya yang dikeluarkan, serta lamanya proses penanganan perkara. Sehingga, biro perencanaan Kejaksaan Agung bisa membuat perencanaan anggaran berdasarkan sistem tersebut;
  3. Perlu merubah indikator keberhasilan penyelesaian perkara berdasarkan jumlah perkara yang ditangani.
  4. Membuat pencairan anggaran penanganan perkara dengan sistem actual cost/reimbursable seperti sistem di KPK sehingga anggaran yang tersisa tidak perlu dipaksakan laporan penggunaannnya sehingga dapat dialokasikan untuk penanganan perkara yang butuh biaya ekstra;
  5. Menaikan batasan maksimal anggaran yang diberikan dari Rp. 3.300.000 menjadi Rp. 10.000.000 untuk perkara yang tingkat kesulitan penanganannya sedang, dan Rp. 25.000.000 untuk perkara yang tingkat kesulitan penanganannya tinggi.

Contact Person:
Dio Ashar Wicaksana (Peneliti MaPPI-FHUI/081317167820)