Tidak ada lagi pertentangan dan perdebatan bahwa korupsi merugikan pelaku usaha. Argumen bahwa korupsi membuat pertumbuhan ekonomi berjalan cepat karena memuluskan investasi atau perizinan [1] telah dibantah oleh studi empirik Paulo Mauro. Mauro menyimpulkan bahwa korupsi justru dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi.[2] Pernyataan Mauro sejalan dengan sikap The World Bank yang menyatakan bahwa korupsi sebagai hambatan terbesar bagi pembangunan sosial dan ekonomi.[3]

Korupsi dinilai sebagai permasalahan institusional[4] yang perlu diselesaikan secara bersama-sama. Dalam sektor ekonomi, korupsi terjadi karena adanya permintaan (demand)dari pejabat publik dan suplai (supply) dari pelaku usaha.[5] Upaya memberantas tidak akan maksimal jika hanya melakukan perubahan institusional pada tata kelola pemerintahan (demand side); misalnya, mereformasi kebijakan pengadaan barang dan jasa atau memperketat peraturan konflik kepentingan.[6] Perubahan institusional pelaku usaha (supply side) juga perlu dilakukan. Oleh karenanya, pelaku usaha selaku pihak yang paling berperan besar dalam kegiatan ekonomi harus mulai berkolaborasi mencegah dan melawan korupsi.

Kerugian Korupsi

Kerugian yang diakibatkan oleh korupsi terjadi lintas sektor. Tidak hanya dalam sektor ekonomi, tapi juga dalam sektor sosial dan politik. Misal, terpilihnya kepala daerah atau legislator yang tidak kompeten akibat politik uang dalam pemilu.[7] Dampaknya, pejabat terpilih tersebut tidak menghasilkan keputusan terbaik bagi rakyat, namun bagi segelintir orang yang mendukungnya baik dari segi kekuatan politik maupun finansial. Pada artikel ini, pembahasan akan difokuskan pada kerugian ekonomi karena hal tersebut yang menjadi pertimbangan utama pelaku usaha.

Korupsi diyakini merugikan pelaku usaha karena (i) membuat kompetisi tidak seimbang; (ii) menambah pengeluaran; dan (iii) mengancam terjerat tindak pidana.

Pertama, korupsi membuat level berkompetisi menjadi tidak seimbang. Perusahaan yang memiliki kekuatan modal besar dan bertindak korup dengan menyuap dalam proses tender, misalnya, akan cenderung mendapatkan proyek yang sedang ditender. Hal ini mengakibatkan keputusan panitia tender tidak didasari oleh kualitas atau kompetensi perusahaan dalam mengerjakan proyek, namun oleh besaran uang yang diterima. Dalam jangka panjang, ketidakseimbangan berkompetisi akan menyurutkan pelaku usaha untuk berinvestasi dan menjalankan usaha. Sehingga, kondisi ini berpotensi untuk melemahkan pertumbuhan ekonomi.

Kedua, perusahaan dirugikan dengan tambahan biaya yang diakibatkan oleh suap dalam menjalankan usahanya.The World Economic Forum mengestimasi korupsi menambah 10% dari biaya untuk melakukan bisnis.[8] Di Jerman, Friedrich Schneider memperkirakan pengeluaran tambahan untuk suap mencapai € 250 miliar di tahun 2012. Dalam penelitiannya tersebut, Schneider berargumen jika suap digunakan untuk mendapatkan kontrak publik dan swasta. Sehingga, suap mengakibatkan tingginya biaya ekonomi dalam menjalankan usaha.[9]

Ketiga, pelaku usaha juga terancam pidana baik itu denda yang tinggi, pembubaran badan usaha, atau penjara. Di Indonesia, pidana denda atau “hukuman finansial” yang harus dibayarkan terpidana korupsi sebanyak Rp. 15,09 triliun.[10] Data tersebut diperoleh dari putusan Mahkamah Agung terhadap 1842 terpidana korupsi selama 2001 sampai 2012. Pengalaman terburuk pelaku usaha pernah dialami oleh Siemens. Perusahaan Jerman tersebut harus membayar denda di dua jurisdiksi yang berbeda: Jerman dan Amerika Serikat. Di jerman, Siemens dihukum membayar denda sebanyak $ 1.6 miliar.[11] Sedangkan di Amerika Serikat, Siemens dikenai rekor denda tertinggi saat itu sebanyak $ 800 juta.[12] Siemens dihukum karena melakukan penyuapan dalam menjalankan bisnisnya.

Collective Action

Pelaku usaha secara bersama-sama telah melakukan aksi atau usaha dalam mencegah dan melawan korupsi. Pada tahun 1997, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menyepakati konvensi untuk pemberantasan suap. Konvensi tersebut disusun sebelum adanya United Nation Convention Against Corruption (UNCAC). Konvensi yang disusun pelaku usaha tersebut dinamakan OECD Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transactions.

Untuk tingkat nasional, komitmen anti korupsi perlu dilakukan secara konkrit dengan sebuah langkah, aksi, atau tindakan. Aksi tersebut sering dikenal dengan istilah collective action, yang diartikan oleh World Bank Institute sebagai:[13]

[A] collaborative and sustained process of cooperation amongst stakeholders. It increases the impact and credibility of individual action, brings vulnerable individual players into an alliance of like-minded organizations and levels the playing field between competitors.  Collective action can complement or temporarily substitute for and strengthen weak local laws and anti-orruption practices.

Frase kolaboratif dalam collective action perlu dimaknai sebagai pelibatan aktor-aktor lain untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi: pelaku usaha dan masyarakat sipil. Pelaku usaha berperan untuk mengurangi suplai suap, sedangkan masyarakat sipil dapat berperan untuk mengawal aksi bersama tersebut. Collective action yang dilakukan lintas aktor ini pada akhirnya akan memberi manfaat yang luas seperti penjelasan dalam gambar di bawah ini:[14]

Dalam menjalankan aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi, terdapat empat jenis collective action yang pernah dilakukan. Keempat aksi tersebut diantaranya (i) transparency pact; (ii) integrity pact; (iii) principle-based initiative; dan (iv) multi-stakeholder coalition.[15]Berikut penjelasan singkat dari masing-masing aksi:

1. Transparency Pact

Transparency pact seringkali digunakan dalam pengadaan barang dan jasa. Tujuan dari aksi ini adalah membuat kompetisi dalam pengadaan barang dan jasa menjadi lebih sehat dan adil. Transparency pact mengatur standar pengadaan barang yang ideal seperti: tidak memberikan suap kepada petugas; menjelaskan persyaratan atau dokumen secara terbuka kepada seluruh perusahaan yang berminat (interested bidder); dan ketentuan pemilihan pemenang. Negara yang pernah melakukan ini salah satunya adalah Kolumbia.[16]

2. Integrity Pact

Integrity pact atau biasa dikenal pakta integritas telah disusun dan diimplentasikan oleh Transparency International di Jerman sejak periode 1990-an.[17] Pakta integritas yang dibuat TI dikenal sebagai sebagai praktik terbaik dalam collective action. Salah satu yang sering dibahas adalah pakta integritas dalam pembangunan bandara Berlin.[18] Kontraktor dan pemerintah mendandatangani perjanjian yang mengikat untuk patuh terhadap aturan, etik, dan standar dalam menjalankan kegiatannya. Kepatuhan atas perjanjian tersebut dikawal oleh masyarakat sipil yang diyakini sebagai “prinsip terpenting” dalam pakta integritas.[19]

3. Principle-Based Initiative

Principle-based initiative disusun oleh TI dengan nama Transparency International’s Principle for Countering Bribery.[20]Collective Action ini dinilai tepat untuk memperbaiki kegiatan bisnis untuk salah satu sektor atau industri dalam jangka waktu yang lama.

4. Multi-Stakeholder Coalition

Multi-Stakeholder Coalition merupakan perluasan dari konsep principle-based initiative karena ditambahkan mekanisme verifikasi atas kepatuhan. Pelaku-pelaku usaha yang tidak lolos verifikasi tidak mendapatkan sertifikat.[21] Mereka yang tidak mendapat sertifikat dapat dikeluarkan dari asosiasi kelompok usaha. Hal ini tentunya akan membatasi ruang gerak bisnis mereka.

Penutup

Korupsi tidak dapat dipungkiri sebagai salah satu penyebab terhambatnya dan meruginya bisnis. Korupsi membuat kompetisi tidak sehat, meningkatkan biaya, serta mengancam keberlangsungan bisnis. Upaya pemberantasan korupsi tidak lagi hanya dapat dibebankan kepada pemerintah atau masyarakat sipil, tapi juga harus dilakukan oleh pelaku usaha. Mereka, sebagai penyuplai, perlu diberdayakan agar semakin kuat melawan permasalahan institusional penyebab korupsi. Aksi pelaku usaha dalam mencegah dan melawan korupsi bukanlah langkah baru. Pelaku usaha di beberapa negara maju telah melakukan aksi bersama masyarakat sipil dan pemerintah (collective action) dalam mencegah dan memberantas korupsi. Saatnya pelaku usaha, baik kecil dan menengah atau besar sekalipun, melakukan aksi bersama dalam mencegah dan memberantas korupsi.

[1] Andrew Hodge dkk, Exploring The Links Between Corruption and Growth,http://www.uq.edu.au/economics/abstract/392.pdf, diakses 24 November 2014.

[2] Paulo Mauro, The Persistence of Corruption and Slow Economic Growth,http://www.imf.org/external/pubs/ft/staffp/2004/01/pdf/mauro.pdf, diakses 24 Maret 2014

[3] World Bank, Fraud and Corruption,http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/EXTSITETOOLS/0,,contentMDK:20147620~menuPK:344192~pagePK:98400~piPK:98424~theSitePK:95474,00.html

[4] John Morrel & Kim Eric Bettcher, Approaches to Collective Action: How Business Together Can Lead The Fight Against Corruption, (Center for International Private Enterprise, 2013), Hlm. 2

[5]Ibid.

[6]Ibid.

[7]Ibid.

[8]http://www.oecd.org/cleangovbiz/49693613.pdf

[9] Asheesh Goel, International Anti-Bribery and Corruption Trends and Developments,http://www.ropesgray.com/~/media/Files/articles/2012/05/20120521_ABC_Book.ashx, last

[10] Addi Mawahibun Idhom Akibat, Korupsi, Uang Negara Menguap Rp. 168,19 Triliun,http://www.tempo.co/read/news/2013/03/04/058464996/Akibat-Korupsi-Uang-Negara-Menguap-Rp16819-triliun, diakses 22 November 2014.

[11]Siri Schubert & T. Christian Miller, At Siemens, Bribery Was Just a Line Item,http://www.nytimes.com/2008/12/21/business/worldbusiness/21siemens.html?pagewanted=all , diakses 22 November 2014.

[12] David Gow, Record US Fine Ends Siemens Bribery Scandal,http://www.theguardian.com/business/2008/dec/16/regulation-siemens-scandal-bribery, diakses 22 November 2014.

[13] World Bank Institute, Fighting Corruption Through Collective Action,http://info.worldbank.org/etools/docs/antic/Whole_guide_Oct.pdf, diakses 22 November 2014, Hlm. 4

[14]Ibid.. Hlm. 24

[15] John Morrel & Kim Eric Bettcher, Op. Cit., Hlm. 3

[16] World Bank Institute,Loc. Cit., Hlm. 78

[17] Transparency International Indonesia, “Glossary”: Pakta Integritas,http://www.ti.or.id/index.php/glossary/detail/9/pakta-integritas-02/, diakses pada 24 November 2014

[18] World Bank Institute, Loc. Cit., Hlm. 66

[19] Heni Yulianto dkk., Modul Strategi Mendorong Pakta Integritas: Pengalaman Penerapan Pakta Integritas di Wilayah Kerja “Transparency International Indoensia”, (Jakarta: Transparency International Indonesia, 2009), Hlm. 13

[20] John Morrel & Kim Eric Bettcher, Op. Cit., Hlm. 6

[21]Ibid.

Versi asli sudah pernah dimuat di situs: selasar.com.