Salah satu tema utama yang menjadi perhatian publik, dan visi misi para Capres tentu saja, adalah tentang penegakan hukum. Citra penegak hukum yang buruk, ditambah dengan proses peradilan yang sering berlarut-larut adalah salah satu masalah yang membuat penegakan hukum masih menjadi masalah berat bagi bangsa ini. Tulisan ini ingin memberikan kontribusi terhadap penyelesaian permasalahan tersebut dengan berfokus pada RUU KUHAP yang seharusnya didorong untuk menciptakan efisiensi penanganan perkara.

HAM dan pemberantasan korupsi menjadi topik sentral dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Kedua isu tersebut tidak diperdebatkan lagi sebagai masalah yang perlu diatasi. Namun, selain dua hal itu, terdapat hal penting lainnya yang jarang didiskusikan oleh para pemangku kebijakan yaitu efisiensi penanganan perkara. Tulisan ini merupakan versi singkat dari tulisan penulis yang pernah dipubliksasikan di situs Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum UI (MaPPI FHUI).

Kebutuhan akan Efisiensi

Berdasarkan data yang tersedia, kita dapat melihat tumpukan perkara di Mahkamah Agung dan terbatasnya anggaran penuntutan di Kejaksaan Agung sebagai salah satu dampak ketidakefisienan sistem peradilan pidana di Indonesia. Permasalahan tersebut memang tidak serta disebabkan oleh rumitnya beracara saat ini, tapi juga terdapat faktor lemahnya pengelolaan anggaran di Kejaksaan dan sumber daya manusia di Mahkamah Agung. Selain perubahan manajerial di tiap-tiap institusi, perubahan hukum acara pidana juga diyakini dapat membuat penanganan perkara menjadi lebih efisien.

Pertama, tunggakan perkara pidana yang disidangkan dengan acara pemeriksaan biasa (pidana biasa) di pengadilan tingkat pertama mengalami kenaikan tiap tahunnya. Pada tahun 2010, tunggakan perkara pidana biasa sebanyak 27.239 kasus[1], meningkat hingga 30.697 kasus pada tahun 2011.[2] Angka tersebut meningkat drastis pada tahun 2012, tahun disaat tunggakan perkara yang belum ditangani sebanyak 51.874 dan meningkat lagi hingga 67.196 pada tahun 2013.[3]

Menambah jumlah hakim untuk mengatasi tunggakan perkara seringkali dijadikan solusi pamungkas, padahal opsi tersebut jelas akan menambah beban anggaran negara. Opsi lain dari sisi manajerial ialah penempatan hakim sesuai beban perkara.

Kedua, keterbatasan anggaran penanganan perkara di Kejaksaan membuat penuntutan menjadi tidak maksimal. Sistem penganggaran di Kejaksaan dilakukan berdasarkan target perkara yang akan dituntut tiap tahunnya. Dalam laporan tahunan Kejaksaan RI 2011, Kejaksaan menganggarkan 10.100 kasus tidak pidana umum (pidum) yang akan dituntut.[4] Uniknya, Kejaksaan dapat menuntut sebanyak 96.488 kasus atau 955.32% dari anggaran yang tersedia.[5] Fakta ini perlu dikritisi untuk memperjelas sumber pendanaan 86.388 perkara yang tidak dianggarkan. Penganggaran seperti ini memang tidak ideal karena sulit untuk memprediksi perkara pidana yang akan ditangani. Namun, jika penganggaran dilakukan mengikuti banyaknya perkara maka akan membebani anggaran negara.

Kejaksaan kemudian menambah jumlah perkara yang dianggarkan. Hal ini dapat dilihat di laporan tahunan Kejaksaan tahun 2012, Kejaksaan menaikan jumlah perkara yang ditangani menjadi 112.422 perkara. Namun, menaikan anggaran penuntutan tentunya juga akan menambah beban negara. Oleh karena keterbatasan anggaran negara yang diberikan, Kejaksaan menyiasati dengan mengurangi besaran anggaran penanganan per perkara. Pada tahun 2011, Kejaksaan diberikan Rp. 29.5 juta untuk menangani 1 (satu) perkara pidum. Angka tersebut berkurang menjadi Rp. 5.8 juta pada tahun 2012[6], dan mengalami pengurangan lagi menjadi Rp. 3.3 juta pada tahun 2013[7]. Konsekuesinya, sejumlah jaksa mengeluhkan besaran anggaran yang terkadang tidak mencukupi untuk menyelesaikan suatu perkara.[8]

Oleh karena keterbatasan anggaran dan sumber daya lainnya, aparat penegak hukum kemudian cenderung tidak mematuhi KUHAP untuk menyelesaikan kasus lebih cepat. Misalnya, kasus pencurian yang disidang selama 10 menit mulai dari pembacaan surat dakwaan hingga putusan, meski jaksa menuntutnya dengan acara pemeriksaan biasa.[9] Selain itu, pemerasan oleh aparat penegak hukum juga menjadi salah satu masalah yang dikeluhkan masyarakat.[10] Keresahan itu dapat dilihat dari Global Corruption Barometer 2013 yang menempatkan kejaksan dan pengadilan sebagai institusi kedua terkorup setelah Polri.[11] Uang tersebut dapat diduga, salah satunya, untuk menutupi kekurangan anggaran penanganan perkara.

Penutup

Pemangku kebijakan di Indonesia masih jarang mendiskusikan prosedur beracara yang mendorong efisiensi. Diskursus yang berkembang masih seputar perlindungan HAM dan korupsi. Tidak dapat dipungkiri, isu HAM dan korupsi sangat penting dan mendesak untuk dibahas dan diperkuat perlindungannya di RUU KUHAP. Namun berdasarkan fakta bahwa KUHAP saat ini tidak dapat berjalan dengan semestinya karena kekurangan sumber daya, proses legislasi RUU KUHAP perlu membahas prosedur-prosedur yang membuat hukum acara lebih efisien untuk mengatasi permasalahan kekurangan sumber daya.

Alasan penting lainnya, isu HAM dan efisiensi berpotensi saling bertentangan satu sama lain. Pengalaman tersebut terjadi di Taiwan dimana terlalu berfokus pada efisiensi sehingga berakibat tidak seimbangnya posisi antara penuntut umum dengan terdakwa atau pengacaranya.[12] Ketidakseimbangan ini mengakibatkan sistem adversarial yang didorong untuk lebih melindungi HAM terdakwa tidak tercapai dengan maksimal.[13] Dengan dimulainya pembahasan keduanya (efisiensi dan HAM), Indonesia dapat mencari jalan keluar terbaik dalam merumuskan KUHAP yang tidak hanya berfokus pada salah satu isu.

Catatan:

  1. Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Indonesia, Data Perkara Pidana Seluruh Pengadilan Negeri Dalam Daerah Hukum Pengadilan Tinggi di Indonesia Tahun 2011, http://www.badilum.info/index.php?option=com_content&view=article&id=524:data-perkara-pidana-seluruh-pengadilan-negeri-dalam-daerah-hukum-pengadilan-tinggi-di-indonesia-tahun-2010&catid=23:statistik-perkara-pidana&Itemid=156, diakses 13 Februari 2014
  2. Ibid.
  3. Mahkamah Agung RI, Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI Tahun 2013,https://www.mahkamahagung.go.id/images/LTMARI-2013.pdf, diakses 24 Maret 2014, Hlm 60-61
  4. Kejaksaan Republik Indonesia, Laporan Tahunan Kejaksaan 2011,http://www.kejaksaan.go.id/upldoc/laptah/2011-Laporan%20Tahunan%20Kejaksaan%20RI-id.pdf, diakses 18 Februari 2014
  5. Kejaksaan Republik Indonesia, Laporan Tahunan Kejaksaan 2012),http://kejaksaan.go.id/upldoc/laptah/laptah2012.pdf, diakses 18 Februari 2014
  6. Komisi Kejaksaan Laporan Penelitian Biaya Penanganan Perkara Pidana Umum Kejaksaan, laporan tidak terpublikasi, 2013, Hlm. 10
  7. Ibid.
  8. Ibid.
  9. Anton Setiawan, MaPPI Laporkan 307 Pelanggaran Hakim ke KY , 15 Desember, 2011,http://www.jurnas.com/news/47979, diakses 18 Februari 2012
  10. Kasus jaksa melakukan pemerasan dapat dilihat di Muhammad Nur Abdurrahman, Dilaporkan Memeras Terdakwa, 10 Jaksa Kejati Sulsel Diperiksa Jamwas, 24 Februari 2010,http://news.detik.com/read/2010/02/24/154342/1306066/10/dilaporkan-memeras-terdakwa-10-jaksa-kejati-sulsel-diperiksa-jamwas, JPNN, Kejagung Periksa Jaksa Pemeras Rp. 10 Miliar, 11 Februari 2014http://www.jpnn.com/read/2014/02/11/215895/Kejagung-Periksa-Jaksa-Pemeras-Rp-10-Miliar- , Hukum Online, Usai Divonis, Jaksa Pemeras “Bernyanyi”, 12 Februari 2013,http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt511a0cb289db6/usai-divonis–jaksa-pemeras-bernyanyi, diakses 24 Maret 2014
  11. Rahmat Fiansyah, KPK Dongkrak Indeks Persepsi Korupsi Indonesia, 3 Desember 2013http://nasional.kompas.com/read/2013/12/03/1934297/KPK.Dongkrak.Indeks.Persepsi.Korupsi.Indonesia,diakses 24 Maret 2014 dan Transparency International, Global Corruption Barometer 2013,http://issuu.com/transparencyinternational/docs/2013_globalcorruptionbarometer_en?e=2496456/3903358#search, diakses 24 Maret 2014
  12. Margaret K. Lewis, Taiwan’s New Adversarial System and the Overlooked Challenge of Efficiency-Driven Reforms, 49 Va. J. Intl. L. 651 (2009)
  13. Ibid.

Versi asli sudah pernah dimuat di situs: selasar.com.