Di akhir periodenya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak berhenti membuat kejutan. Selain pengesahan Undang-Undang MD3, Rapat Paripurna DPR juga menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Larangan Minuman Beralkohol) sebagai inisiatif DPR.
RUU Larangan Minuman Beralkohol tersebut menjadi kontroversi dan perdebatan di Indonesia dimana 87% penduduknya beragama Islam.[1] RUU ini melarang pembuat, pengedar, pembeli, penjual, bahkan peminum dan penyimpan minuman beralkohol dengan mengatur ancaman pidana kepada mereka. Ketentuan pidana itu jelas sangat tidak praktikal dan realistis untuk diimplementasikan karena keterbatasan sumber daya (anggaran, manusia, atau infrastruktur) yang dimiliki aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Pertama, polisi tiap tahunnya selalu kewalahan untuk meyelidik dan menyidik tindak pidana. Tahun 2013, Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) menangani sebanyak 305.708 tindak pidana. Dari jumlah tersebut hanya 181.738 atau hanya 59 % yang berhasil diselesaikan.[2] Alasan klasik yaitu keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia (SDM) diklaim Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menjadi faktor penyebabnya.[3] Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Larangan Minuman Beralkohol, Dimyati Natakusumah, sebenarnya mengetahui permasalahan keterbatasan SDM di POLRI.[4]
Kedua, setelah suatu tindak pidana disidik, polisi akan meneruskan ke jaksa untuk dituntut dengan anggaran yang sangat terbatas. Tahun 2013, jaksa hanya memiliki anggaran sebesar Rp.3,3 juta untuk menuntut suatu perkara[5] Jumlah tersebut dikeluhkan sebagian besar jaksa, terutama di daerah terpencil, karena tidak cukup untuk membiayai tugas penuntutan.[6] Minimnya anggaran ini seringkali dijadikan alasan Kejaksaan terjadinya praktik korupsi.[7]
Ketiga, jika perkara tersebut dituntut di pengadilan maka akan menjadi tambahan beban kerja bagi pengadilan yang pada tahun 2013 menunggak 67.196 perkara pidana.[8] Tumpukan perkara ini mengakibatkan hakim terkadang mengabaikan hukum acara untuk mempercepat persidangan. Pada akhirnya, kinerja dan profesionalitas hakim sebagai suatu profesi mulia (officium nobile) akan menurun.
Keempat, lembaga pemasyarakatan (Lapas) yang akan menampung terpidana berdasarkan RUU ini sudah melebihi kapasitas. Tahun 2013, Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin, menyatakan seluruh Lapas di Indonesia kelebihan kapasitas. Ironisnya, salah satu Lapas memiliki kelebihan kapasitas hingga 900 %. Kelebihan kapasitas mengakibatkan para terpidana hidup tidak layak di dalam Lapas sehingga menghambat proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial.
Memidanakan pembuat, pengedar, pembeli, penjual, peminum dan penyimpan minuman beralkohol jelas akan menambah permasalahan keempat aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana tersebut. Solusinya tidak dapat dengan serta merta menaikan anggaran, menambah SDM, dan membangun Lapas karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia sangat terbatas.
Apabila DPR tetap memaksakan pengesahan RUU ini dengan terbatasnya sumber daya, rule of law di Indonesia sebagai negara hukum akan semakin lemah ketika suatu undang-undang tidak dapat diimplementasikan dengan baik. Terlebih jika aparat penegak hukumnya melanggar ketentuan acara pidana, tindak pidana korupsi, dan perlindungan HAM dalam melaksanakan undang-undang larangan minuman beralkohol.
RUU ini diusulkan tidak untuk menegakan syariat Islam. Salah satu tujuan larangan minuman beralkohol agar terciptanya ketertiban di tengah-tengah masyarakat dari gangguan yang ditimbulkan oleh peminum minuman beralkohol.[9] Mengasumsikan semua peminum minuman beralkohol akan mengganggu ketertiban masyarakat adalah suatu pemikiran yang sempit.
Apabila terdapat peminum minuman beralkohol yang mengganggu ketertiban, misalnya berkelahi, maka tegakkan hukum hanya kepada mereka yang mengganggu ketertiban. Dengan memfokuskan pemidanaan atau penegakan hukum, aparat penegak hukum dapat mengalokasikan sumber dayanya yang terbatas untuk menjalankan tugasnya dengan baik.
Tanpa memidanakan pihak terkait minuman beralkohol, pemerintah dan DPR sebenarnya dapat mengontrol peredaran minuman beralkohol misalnya dengan menaikan pajak. Konsumsi minuman beralkohol diharapkan menurun seiring meningkatnya harga sebagaimana dirumuskan dalam teori penawaran-permintaan. Menaikkan pajak juga akan menguntungkan negara karena pajak salah satu sumber pendapatan negara. Pada akhirnya, pertambahan pendapatan negara dari pajak tersebut dapat digunakan untuk menambah sumber daya baik anggaran, manusia, dan atau infrastruktur aparat penegak hukum.
[1] Badan Pusat Statistik, Sensus Penduduk 2010, http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321 (diakses 18 Juli 2014)
[2] Andri Haryanto, 7.458 Kasus Di-SP3 Polri Sepanjang 2013, http://news.detik.com/read/2013/12/27/160250/2452543/10/7458-kasus-di-sp3-polri-sepanjang-2013 (diakses 18 Juli 2014)
[3] http://www.gresnews.com/berita/hukum/23117-catatan-kompolnas-reformasi-kepolisian-belum-tuntas/ (diakses 18 Juli 2014)
[4] http://m.rmol.co/news.php?id=101542 (diakses 18 Juli 2014)
[5]Komisi Kejaksaan Laporan Penelitian Biaya Penanganan Perkara Pidana Umum Kejaksaan, laporan tidak terpublikasi, 2013, Hlm. 10
[6] Ibid.
[7] Muhammad Agung Riyadi, Mental Korup, Jaksa Belum Reformis, http://www.gresnews.com/berita/hukum/10282012-mental-korup-jaksa-belum-reformis/ diakses 28 Mei 2014
[8] Mahkamah Agung RI, Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI Tahun 2013, https://www.mahkamahagung.go.id/images/LTMARI-2013.pdf, diakses 24 Maret 2014, Hlm 60-61
[9] Pasal 3 RUU Larangan Minuman Beralkohol, https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=6&ved=0CDkQFjAF&url=http%3A%2F%2Fwww.hukumonline.com%2Fpusatdata%2Fdownloadfile%2Flt5110d5e04a5a5%2Fparent%2Flt5110d55a34d9c&ei=M7DUU-LIEbC8jALt-YDYBw&usg=AFQjCNGHF93BF78q7_FA3x7JEo09AjkMjA&sig2=f13Py9ulm44NhhD1YnY3KA, diaskes (27 Juli 2014)
Versi asli sudah pernah dimuat di situs: selasar.com.