Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saat ini tidak hanya bermasalah dalam menjamin perlindungan hak asasi manusia (HAM), tapi juga dalam upaya pemberantasan korupsi. Reformasi hukum acara pidana tidak bertujuan melindungi HAM para tersangka korupsi seperti dikhawatirkan Pimpinan KPK Adnan Pandu Praja (Kompas, 22/4), tetapi untuk melindungi HAM seluruh warga negara Indonesia. KUHAP baru juga sejalan dengan usaha seluruh warga Indonesia dalam memberantas korupsi, terutama korupsi yang terjadi di sistem peradilan pidana (judicial corruption).

Rancangan KUHAP (R. KUHAP), walaupun masih dapat disempurnakan di beberapa aspek, dinilai dapat menjadi titik awal memberantas korupsi yang terjadi di peradilan. R KUHAP saat ini menekankan pengetatan dalam pengawasan (check and balances) terhadap penyidik dan penutut umum dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.

Korupsi di Peradilan

Korupsi secara luas diartikan sebagai penyalahgunaan kewenangan oleh seseorang untuk kepentingan pribadinya. Dalam “Buku Pendidikan Anti Korupsi di Perguaruan Tinggi” (Kemendiknas, 2011), korupsi secara rinci diartikan juga sebagai suatu “kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian”. Berdasarkan hal tersebut, korupsi di peradilan merupakan penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana. Penyalahgunaan yang menghasilan sistem peradilan pidana yang tidak adil, tidak jujur, dapat disuap, dan menyimpang dari kesucian ataupun peraturan.

Korupsi di peradilan yang kerap terjadi atau dilakukan aparat penegak hukum di antaranya: Pertama,penyiksaan yang dilakukan penyidik pada tahap pre-trial. Penelitian LBH Jakarta (2008) menemukan 81,1 % dari 639 responden di Jakarta menyatakan mengalami penyiksaan ketika diperiksa penyidik. LBH Jakarta juga menemukan praktik penyiksaan tersebut terjadi di kota-kota lain seperti Banda Aceh dan Surabaya.

Penyiksaan ini lazim dilakukan untuk mendapatkan pengakuan tersangka. Kasus terkini adalah penyiksaan terhadap empat pengamen Cipulir (2013-2014). Mereka mendapatkan penyiksaan secara psikis berupa intimidasi dan ancaman, serta fisik berupa pemukulaan agar mengaku bersalah melakukan pembunuhan terhadap Dicky Maulana.

Kedua, penahanan tanpa ada akuntabilitas terhadap diskresi penyidik/penuntut umum dalam menahan tersangka. Seyogyanya, penahanan dilakukan jika tersangka diancaman dengan pidana lebih dari lima tahun penjara. Namun, penyidik seringkali menerapkan pola “tahan dulu baru dicari pasalnya” (ICJR, 2012). Sehingga, terdapat beberapa tersangka yang semestinya tidak ditahan namun dirampas kemerdekannya dengan ditahan.

Selain sebagai bentuk korupsi di peradilan, penyiksaan dan penahanan tanpa ada akuntabilitas juga penyebab terciptanya bentuk lain korupsi di peradilan berupa penyuapan dan pemerasan. Tersangka yang disiksa atau ditahan tanpa ada akuntabilitas berpotensi diperas oleh penyidik dan/atau penuntut umum. Hak atas bebasnya dari penyiksaan atau penahanan yang semena-mena malah dijadikan komoditi yang harganya mesti dibayar oleh tersangka.

Penahanan yang tidak akuntabel, misalnya, menjadi peluang tumbuh dan berkembangnya praktik korupsi lainnya. Institute for Criminal Justice Reform menemukan berbagai komodifikasi bagi para tahanan di Rutan (ICJR, 2012). Komodifikasi yang terjadi diantaranya biaya makanan, fasilitas kamar, dan tarif kunjungan bagi pengunjung Rutan.

R. KUHAP

Salah satu fungsi penyusunan R KUHAP adalah mengatasi korupsi peradilan. Pertama, pengaturan tentang alat bukti. R KUHAP menyatakan bahwa alat bukti yang diperoleh dengan cara yang melanggar hukum tidak dapat digunakan di dalam persidangan. Aturan ini akan mendorong penyidik lebih profesional dengan tidak melakukan penyiksaan untuk mencari dan memperoleh alat bukti.

Kedua, hakim pemeriksa pendahuluan (HPP) diusulkan untuk mengawasi diskresi upaya paksa penegak hukum seperti penahanan, penggeledahan, dan/atau penangkapan yang semena-mena. Mekanisme HPP diyakini dapat bertugas jauh lebih baik dari praperadilan dalam melindungi hak-hak tersangka dan mencegah praktik koruptif penyidik/penuntut umum dalam peradilan pidana di Indonesia.

Kekhawatiran berkembang atas konsep HPP tersebut karena akan menghambat upaya pemberantasan korupsi. HPP nantinya akan menentukan sah atau tidaknya penyadapan yang dilakukan penyidik termasuk penyidik KPK. Notifikasi terlebih dahulu kepada hakim untuk meminta persetujuan penyadapan ini yang dianggap mengancam strategi penindakan korupsi karena membuat penyadapan tidak lagi bersifat rahasia, sehingga pelaku dapat menghindarinya. Mengatasi kekhawatiran tersebut, pengaturan penanganan perkara korupsi dapat saja dikecualikan atau dikhususkan berbeda.

R KUHAP secara keseluruhan lebih menjamin perlindungan hak asasi manusia dan lebih mendukung upaya pemberantasan korupsi dalam sistem peradilan pidana dibandingkan KUHAP yang berlaku saat ini. Ke depannya, penyempurnaan atas R KUHAP tetap perlu dilakukan oleh berbagai pihak terkait. Salah satunya penyempurnaan atas prosedur penangan perkara tindak pidana korupsi yang perlu dikhususkan.

Penyempurnaan harus dilakukan dengan mengambil langkah maju untuk membahasnya secara bersama-sama untuk mencari solusi terbaik, dan bukan mundur kebelakang dengan menarik dan menyimpannya di dalam laci.

Versi asli sudah pernah dimuat di situs: selasar.com.