Perppu Kebiri Bukan SolusiJokowi akhirnya menandatangani Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Perubahan Kedua atas Undang-Undang Perlindungan Anak yang sering dikenal dengan Perppu Kebiri. Beberapa alasannya adalah meningkatknya kekerasan seksual terhadap anak yang membahayakan dan merusak anak, dan sanksi pidana belum memberi efek jera dan belum mampu mencegah secara komprehensif.

Perppu menambah ancaman pidana bagi pelaku yang menyetubuhi atau mencabuli lebih dari 1 anak, atau pelaku yang telah dihukum untuk kasus kekerasan seksual terhadap anak sebelumnya. Selain itu, tindakan tambahan berupa kebiri, rehabilitasi, dan pemasangan cip juga dapat dibebani kepada pelaku-pelaku tersebut.

Pencegahan Komprehensif

Penambahan ancaman pidana bukan menunjukan pemerintah yang kuat, tapi gejala atas lemahnya pemerintah untuk menekan angka kejahatan (Garland, 2006). Penambahan ancaman pidana mengafirmasi gagalnya pemerintah untuk menciptakan lingkungan aman dan nyaman yang mencegah terjadinya kekerasan seksual. Dengan demikian pemerintah memilih untuk mengancam atau menakut-nakuti warganya dengan ancaman pidana tinggi.

Pencegahan kekerasan seksual secara komprehensif tidak cukup dengan menaikan ancaman pidana. World Health Organization (WHO) mengkategorikan ada 2 (dua) cara untuk mencegah kekerasan seksual. Pertama,pendekatan individual (individual approaches) seperti program bersama pelaku dalam kampanye anti-kekerasan seksual agar bertanggung jawab dan menyadari kesalahannya. Program lainnya adalah pendidikan untuk meningkatkan sensitifitas terhadap gender.

Kedua, pendekatan pembangunan (developmental apporaches) yang terdiri dari dukungan layanan kesehatan/medis, upaya pencegahan masyarakat, dan perubahan peraturan. Dukungan medis berupa layanan medikolegal untuk membantu pembuktian kekerasan seksual dan pelatihan untuk petugas kesehatan untuk penanganan kasus kekerasan seksual. Hal ini untuk memastikan tidak adanya reviktimisasi korban ketika petugas kesehatan menginterogasi korban layaknya penyidik.

Selain itu, masyarakat juga dapat dilibatkan dalam berbagai upaya pencegahan kekerasan seksual. Upaya kampanye anti kekerasan seksual dengan menggunakan berbagai macam media, termasuk media sosial, akan efektif dilakukan jika berkolaborasi dengan banyak pihak. Upaya lainnya juga perlu dilakukan di sekolah sebagai tempat vital untuk mendidik generasi mendatang. Aksi menarik lainnya terdapat di Amerika Serikat di mana sekitar 100 organisasi kelompok laki-laki melakukan kampanye “The Men Can Stop Rape”.

Perubahan hukum hanya satu dari tiga upaya pencegahan kekerasan seksual dengan pendekatan pembangunan (developmental approaches). Perubahan hukum signifikan bukan hanya dengan meningkatkan ancaman pidananya seperti yang dilakukan pemerintah kemarin. Hukum Indonesia belum terdapat apa yang di Amerika Serikat (AS) sebagai sebagai Rape Shield Law yang melarang “perlawanan” dan “riwayat seksual” korban dibuktikan di persidangan. Saat ini, hakim seringkali memutus ringan atau bahkan membebaskan pelaku semata-mata korban tidak melakukan perlawanan (dianggap suka sama suka) atau telah memiliki riwayat seksual.

Penegakan Hukum

Terbitnya Perppu mengasumsikan bahwa masyarakat akan tidak melakukan kekerasan seksual karena semakin tingginya ancaman pidana. Asumsi ini mengkategorikan masyarakat kita sebagai penghindar resiko/hukuman (risk averse). Asumsi tersebut kurang tepat karena kejahatan terjadi bukan sekedar tindakan rasional pelaku, tapi juga akibat dari faktor biologis dan faktor sosio-ekonomi (Weigel, 2008).

Langkah paling tepat untuk menekan kejahatan pada masyarakat risk averse bukan dengan menaikan ancaman pidana. Polinsky & Shavell mengatakan bahwa ancaman hukuman ringan pun dapat menekan angka kejahatan asalkan probabilitas penindakannya tinggi (Polinsky & Shavell, 2007). Penanganan laporan korban yang responsif dan cepat oleh polisi sehingga penangkapan pelaku kekerasan seksual bisa meningkat sebagai salah satu caranya.

Tindakan polisi yang responsif dalam menindaklanjuti laporan korban menjadi krusial karena laporan pengaduan merupakan gerbang masuk pemulihan hak korban. Ketika laporan tidak ditindaklanjuti, prosesnya berbelit dan menyulitkan, korban berpotensi trauma untuk melaporkan yang berakibat rendahnya laporan kekerasan seksual. Kondisi ini membuat pelaku kekerasan seksual masih berkeliaran bebas dan berpotensi mengulangi tindakannya.

Selain itu, proses penuntutan di persidangan berperan penting dalam meningkatkan probabilitas penindakan. Kemampuan dan keterampilan jaksa membuktikan adanya kekerasan seksual sangat menentukan salah/tidaknya terdakwa dan berat/ringannya putusan. Dukungan teknologi dan disiplin ilmu lain seperti tes DNA atau visum psikatrikum berperan besar dalam pembuktian. Keterbatasan dana sayangnya menjadi alasan tidak menggunakan hal-hal tersebut dan terkadang membebani biayanya kepada korban.

Kebijakan menambah ancaman pidana selalu jadi kebijakan populis politisi di berbagai negara. Sayangnya, kebijakan tersebut seringkali tidak menjawab dan menyelesaikan akar permasalahan terjadinya suatu tindak pidana. Permasalahan cara pandang yang tidak memiliki sensitifitas terhadap seksualitas dan gender belum disusun secara komprehensif solusinya. Penindakan dan penegakan hukum yang belum optimal juga belum menjadi fokus. Kedua hal tersebut tentu lebih menguras tenaga dan uang dibanding sekedar membuat peraturan yang belum tentu efektif ketika diimplementasikan.

Versi asli sudah pernah dimuat di situs: selasar.com.