Pembentukan Densus Tipikor POLRI akhir-akhir ini mencuat dan telah menjadi pembicaraan yang ramai di media massa baik cetak maupun elektronik. Menurut POLRI, dibuatnya densus tipikor ini disebabkan tidak berjalan mulusnya penanganan perkara-perkara korupsi yang ditangani oleh Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipikor). Selain itu, Densus Tipikor POLRI ini diyakini akan memperkuat langkah pemberantasan korupsi yang makin marak terjadi dan seringkali melibatkan oknum penyelenggara negara. Bahkan POLRI mengatakan bahwa dibentuknya Densus Tipikor sangat diharapkan menjadi titik balik Korps Bhayangkara dalam menangani kasus korupsi.

Kendati demikian, pandangan berbeda juga diperlihatkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mengatakan bahwa pembentukan Densus Tipikor belum mendesak . Apalagi jika melihat pada anggaran yang dibutuhkan untuk pembentukan Densus Tipikor yang menelan biaya mencapai sekitar Rp 2,6 triliun serta membutuhkan pegawai personil sebanyak 3.560 orang. Oleh karenanya, ICW menyarakankan lebih baik POLRI memperkuat dan meningkatkan kinerja direktorat yang sudah ada yakni, Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipikor) Bareskrim Polri.

Terlepas dari pro dan kontra pembentukan Densus Tipikor POLRI, MaPPI FHUI memandang dibentuknya Densus TIPIKOR merupakan komitmen nyata POLRI dalam memberantas tindak pidana korupsi, dan hal tersebut semata-mata merupakan pilihan politik yang wajar dan merupakan kewenangan penuh dari institusi bersangkutan.

Namun demikian, MaPPI FHUI menolak jika pembentukan Densus Tipikor tersebut justru menggabungkan fungsi penyidikan dan penuntutan dalam satu atap. Terlebiih pula, jika Densus Tipikor dikepalai dari institusi POLRI yang secara tidak langsung meletakkan institusi Kejaksaan Agung berada di bawah bayang-bayang institusi Bhayangkara.

Hal ini akan bertentangan dengan prinsip Kejaksaan sebagai Dominus Litis yaitu pengendali proses perkara dari tahapan awal penyidikan sampai dengan pelaksanaan proses eksekusi suatu putusan. Oleh karenanya, jika Densus Tipikor yang menggabungkan penyidikan dan penuntutan dibawah koordinasi dari Kepolisian, maka dapat diasumsikan bahwa penuntut umum yang seharusnya mempunyai kewajiban untuk melakukan pengawasan secara horizontal terhadap penyidikan menjadi tidak berjalan dengan semestinya. Penuntut umum yang seharusnya secara objektif dapat mengawasi pelaksanaan penyidikan menjadi bermasalah, ketika atasan dari penuntut umum tersebut adalah anggota POLRI bintang dua yang notabene secara fungsional merupakan penyidik pula.

Dengan pengawasan penuntut umum yang tidak berjalan dengan semestinya, maka penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Densus Tipikor akan sangat rentan dengan kriminalisasi dan pelanggaran prosedural hukum acara pidana. Bahkan struktur ini akan semakin memperkuat serta memperbesar kewenangan kepolisian tanpa pengawasan yang kuat dan menimbulkan potensi kesewenang-wenangan. Padahal kita harus selalu ingat dengan pendapat Lord Acton yang mengatakan “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”.

Berangkat dari hal-hal tersebut maka kami MaPPI FHUI menyatakan sikap sebagai berikut atas pembentukan Pembentukan Densus Tipikor POLRI:

  1. Mendukung upaya POLRI dalam mewujudkan komitmen dalam memberantas tindak pidana korupsi;
  2. Menolak pembentukan Densus Tipikor, jika fungsi penuntutan berada dibawah koordinasi institusi Kepolisian RIAHAH

CP:
Adery Ardhan Saputro (081219155115)
(Peneliti MaPPI FHUI)