Pada hari Kamis, 25 Oktober 2018, Pengadilan Tinggi (PT) Medan menolak permohonan banding kasus tindak pidana penodaan agama dengan Terdakwa Meliana (44 tahun) dan menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama—Pengadilan Negeri Medan. Dalam putusan No. 1612/PID.B/2018/PN.Mdn pada Selasa 21 Agustus 2018, Meliana diputus bersalah melakukan tindak pidana permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama sebagaimana diatur dalam Pasal 156a KUHP dan dijatuhi pidana 18 bulan penjara. Pidana yang dijatuhkan terhadap Meliana jauh lebih berat jika dibandingkan dengan vonis yang diterima oleh para pelaku perusakan rumah ibadah di Tanjungbalai, Sumatera Utara, yakni berkisar 1 (satu) hingga 4 (empat) bulan. Menanggapi putusan banding tersebut, penasehat hukum terdakwa menyatakan akan berkoordinasi dengan Meliana untuk menentukan upaya hukum selanjutnya.

Dalam perjalanan proses persidangan kasus ini, MaPPI-FHUI mencatat beberapa hal krusial terkait independensi Majelis Hakim. Adapun independensi merupakan salah satu prinsip dalam kode etik yang mengikat Hakim dan Pengadilan demi terwujudnya proses peradilan yang adil, independen, dan tidak memihak. Sehubungan dengan ini, kami menemukan beberapa permasalahan dalam penerapan prinsip independensi hakim pada pemeriksaan kasus Meliana.

Terdapat indikasi keberpihakan hakim di dalam kasus ini, dimana Hakim berulang kali mengingatkan Meliana untuk memberikan keterangan yang sebenarnya, sementara Hakim terkesan “membiarkan” ketika saksi tidak mengutarakan yang sebenarnya. Hakim menunjukkan pula sikap bahwa ia telah memiliki praduga bersalah terhadap Terdakwa dengan beberapa kali mengutarakan penilaiannya bahwa Terdakwa tidak jujur dalam memberikan keterangannya. Tidak hanya itu, Hakim beberapa kali mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan keberpihakan pada golongan tertentu serta memberikan pertanyaan yang bersifat menjerat. Hakim juga mengesampingkan keterangan Terdakwa tidak dengan dasar yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pada bulan September silam, MaPPI-FHUI merilis amicus curiae yang mengkritisi beberapa hal dalam putusan Pengadilan Negeri Medan. Terkait fatwa MUI, misalnya. Kami menyayangkan Hakim yang menyimpulkan bahwa unsur “mengeluarkan perasaan atau perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia,” telah terpenuhi, hanya didasarkan pada Fatwa MUI Provinsi Sumatera Utara No. 001/KF/MUI-SU/I/2017. Fatwa MUI dapat dijadikan salah satu keterangan namun bersifat tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga seharusnya Hakim mempertimbangkan keterangan ahli lainnya secara seimbang dan bijaksana.

MaPPI-FHUI juga berharap Hakim mempertimbangkan dan menggali tentang unsur kesengajaan dari pelaku, di mana tujuan dari ucapan Terdakwa adalah agar “mendapatkan ketenangan” dan bukan bermaksud untuk “melecehkan atau menista suatu agama”. Terakhir, dalam amicus curiae kami menyoroti pula aturan dalam Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Agama dan/atau Penodaan Agama yang telah diperkuat kekuatan hukumnya dengan adanya Undang-Undang Pencegahan Dimana diatur bahwa tindakan pelanggaran peraturan tersebut, seharusnya dimulai dengan adanya peringatan terlebih dahulu, dan pelaku baru dapat diproses secara pidana apabila perbuatan tersebut diulang kembali.

Dengan mempertimbangkan berbagai permasalahan yang terdapat dalam proses persidangan dan pertimbangan-pertimbangan hukum yang diberikan Majelis Hakim pada pengadilan tingkat pertama, kami sampai pada kesimpulan bahwa putusan Pengadilan Negeri Medan seharusnya dikaji ulang, bukannya dikuatkan, oleh Pengadilan Tingkat Banding. Oleh karena itu dalam release yang disusun, MaPPI-FHUI menyatakan sikap sebagai berikut;

  1. Menolak hasil Putusan Banding yang menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama karena adanya beberapa temuan negatif, baik dalam proses persidangan maupun dalam substansi putusan itu sendiri;
  2. Mengkritik adanya indikasi Majelis Hakim yang tidak independen dan imparsial, bahkan melakukan beberapa pelanggaran kode etik dalam memeriksa dan memutus kasus Meliana;
  3. Mendorong adanya upaya hukum terhadap putusan Banding tersebut melalui kasasi di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung perlu mempertimbangkan peraturan yang terkait, serta keterangan ahli secara adil dan independen.
  4. Independensi peradilan adalah prinsip yang harus dipegang institusi yudisial Indonesia. Oleh karena itu, kami meminta jika ada upaya hukum di Mahkamah Agung haruslah dilakukan dengan memegang prinsip-prinsip independen terhadap peradilan dan Hakim.

Narahubung/Contact Person:
Dio Ashar Wicaksana (Ketua Harian MaPPI FHUI/+6287786130347)
Maria I. Tarigan (Peneliti MaPPI FHUI/+6287877429045)