Sejak Februari lalu, Mahkamah Agung (MA) menyelenggarakan proses seleksi calon hakim ad hoc tipikor. Seleksi tahun ini merupakan seleksi kesebelas yang diselenggarakan MA dan akan memasuki tahapan akhir yaitu profile assessmentdan wawancara. Sejauh ini tercatat ada 125 peserta seleksi yang telah ditelusuri rekam jejaknya oleh Koalisi Pemantau Peradilan (KPP). Hasilnya, masih banyak catatan negatif yang ditemui terhadap rekam jejak para peserta seleksi. Panitia seleksi tentunya memiliki tugas untuk memastikan tidak ada calon bermasalah yang terpilih sebagai hakim ad hoctipikor. KPP mencatat setidaknya ada 5 poin utama yang perlu diwaspadai panitia seleksi.

Pertama, kelengkapan dokumen syarat administratif. Meski tahapan seleksi administrasi sudah selesai. Tim pemantau masih menemukan catatan dimana beberapa calon terindikasi tidak memenuhi syarat administrasi. Salah satu syarat yang harus dipenuhi calon adalah memiliki pengalaman minimal 15 tahun di bidang hukum. Dari CV para peserta saja, tim menemukan 9 peserta yang tidak memenuhi syarat tersebut namun lolos seleksi administrasi. JIka dikaitkan dengan calon dari latar belakang advokat, jumlah tersebut kemungkinan lebih besar mengingat MA tidak mensyaratkan para calon untuk mencantumkan bukti keanggotaan advokat atau berita acara sumpah sebagai bukti bahwa yang bersangkutan memenuhi syarat. Padahal, catatan tim menunjukkan bahwa advokat adalah profesi terbanyak yang mendaftar dalam proses seleksi kali ini, yaitu sebanyak 80 orang.

Kedua, minimnya calon yang memiliki kepakaran di bidang tindak pidana korupsi. Hal ini patut disayangkan karena keahlian merupakan salah satu kualitas utama yang diharapkan dari hakim ad hoc tipikor agar dapat membantu majelis menggali fakta-fakta relevan yang dibutuhkan untuk memutus perkara tipikor. Berdasarkan hasil pengumpulan informasi yang dilakukan oleh tim pemantau, hanya sedikit yang mencantumkan pengalamannya bersentuhan dengan isu antikorupsi. Padahal profesi penegak hukum hukum seperti advokat, hakim dan akademisi mendominasi pendaftaran. Selain itu ada diantaranya berprofesi sebagai hakim, serta beberapa oditur dan PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil).

Ketiga, kepatuhan calon terhadap prinsip-prinsip anti-korupsi. Dalam hal ini, tim pemantau menelusuri tiga hal yaitu mengenai pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), sanksi disiplin, dan kejujuran calon. LHKPN merupakan saringan pertama untuk mencegah terpilihnya hakim ad hoc yang bermasalah. Tim pemantau mencatat bahwa dari 41 orang calon yang termasuk wajib lapor LHKPN, terdapat 18 orang yang tidak melaporkan kekayaannya. Lebih lanjut, berdasarkan penelusurna media, kami juga menemukan calon yang tercatat pernah dijatuhi sanksi disiplin dan juga calon yang mencoba mengelabui pansel dengan mencantumkan informasi palsu pada berkas pendaftaran.

Keempat, potensi konflik kepentingan terhadap calon yang memiliki latar belakang sebagai politisi. Afiliasi politik para calon merupakan hal yang dapat menghambat proses penegakan hukum tipikor yang saat ini masih marak diisi oleh kasus korupsi yang melibatkan anggota partai politik. Oleh karena itu, MA perlu mencegah agar dikemudian hari hal ini tidak menyandera pengadilan dari persepsi negatif publik terhadap independensi pengadilan. Setidaknya, ada 16 orang calon yang memiliki afiliasi politik baik karena pengalaman menjadi calon/anggota legislatif, anggota ormas sayap partai, atau tim kampanye politik. Masalah serupa terkait konflik kepentingan juga kami temui pada calon-calon yang berlatar belakang profesi sebagai advokat, khususnya yang pernah menangani kasus-kasus tipikor. Tim pemantau menemukan bahwa terdapat 9 orang calon yang pernah menjadi pengacara koruptor dimana klien yang didampinginya diputus bersalah oleh pengadilan. Hal ini akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan manakala calon tersebut nantinya memeriksa kasus yang merupakan pengembangan dari kasus-kasus yang dulu pernah ditanganinya.

Kelima, peserta seleksi langganan. Terkait poin ini, perlu ditegaskan, bahwa tidak ada larangan yang membatasi berapa kali seseorang dapat ikut dalam proses seleksi hakim ad hoc tipikor. Setidaknya, ada sebanyak 18 calon yang pernah mengikuti seleksi lebih dari satu kali. Hal ini dapat menjadi masalah manakala MA menurunkan standar rekrutmennya dan memilih calon-calon tersebut semata-mata karena kebutuhan untuk menggantikan hakim ad hoc yang akan habis masa jabatannya. Sebagai catatan, diperkirakan akan ada sedikitnya 100 hakim ad hoc yang akan pensiun pada tahun 2020.

Sejak Februari lalu, Mahkamah Agung (MA) menyelenggarakan proses seleksi calon hakim ad hoc tipikor. Seleksi tahun ini merupakan seleksi kesebelas yang diselenggarakan MA dan akan memasuki tahapan akhir yaitu profile assessmentdan wawancara. Sejauh ini tercatat ada 125 peserta seleksi yang telah ditelusuri rekam jejaknya oleh Koalisi Pemantau Peradilan (KPP). Hasilnya, masih banyak catatan negatif yang ditemui terhadap rekam jejak para peserta seleksi. Panitia seleksi tentunya memiliki tugas untuk memastikan tidak ada calon bermasalah yang terpilih sebagai hakim ad hoctipikor. KPP mencatat setidaknya ada 5 poin utama yang perlu diwaspadai panitia seleksi.

Pertama, kelengkapan dokumen syarat administratif. Meski tahapan seleksi administrasi sudah selesai. Tim pemantau masih menemukan catatan dimana beberapa calon terindikasi tidak memenuhi syarat administrasi. Salah satu syarat yang harus dipenuhi calon adalah memiliki pengalaman minimal 15 tahun di bidang hukum. Dari CV para peserta saja, tim menemukan 9 peserta yang tidak memenuhi syarat tersebut namun lolos seleksi administrasi. JIka dikaitkan dengan calon dari latar belakang advokat, jumlah tersebut kemungkinan lebih besar mengingat MA tidak mensyaratkan para calon untuk mencantumkan bukti keanggotaan advokat atau berita acara sumpah sebagai bukti bahwa yang bersangkutan memenuhi syarat. Padahal, catatan tim menunjukkan bahwa advokat adalah profesi terbanyak yang mendaftar dalam proses seleksi kali ini, yaitu sebanyak 80 orang.

Kedua, minimnya calon yang memiliki kepakaran di bidang tindak pidana korupsi. Hal ini patut disayangkan karena keahlian merupakan salah satu kualitas utama yang diharapkan dari hakim ad hoc tipikor agar dapat membantu majelis menggali fakta-fakta relevan yang dibutuhkan untuk memutus perkara tipikor. Berdasarkan hasil pengumpulan informasi yang dilakukan oleh tim pemantau, hanya sedikit yang mencantumkan pengalamannya bersentuhan dengan isu antikorupsi. Padahal profesi penegak hukum hukum seperti advokat, hakim dan akademisi mendominasi pendaftaran. Selain itu ada diantaranya berprofesi sebagai hakim, serta beberapa oditur dan PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil).

Ketiga, kepatuhan calon terhadap prinsip-prinsip anti-korupsi. Dalam hal ini, tim pemantau menelusuri tiga hal yaitu mengenai pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), sanksi disiplin, dan kejujuran calon. LHKPN merupakan saringan pertama untuk mencegah terpilihnya hakim ad hoc yang bermasalah. Tim pemantau mencatat bahwa dari 41 orang calon yang termasuk wajib lapor LHKPN, terdapat 18 orang yang tidak melaporkan kekayaannya. Lebih lanjut, berdasarkan penelusurna media, kami juga menemukan calon yang tercatat pernah dijatuhi sanksi disiplin dan juga calon yang mencoba mengelabui pansel dengan mencantumkan informasi palsu pada berkas pendaftaran.

Keempat, potensi konflik kepentingan terhadap calon yang memiliki latar belakang sebagai politisi. Afiliasi politik para calon merupakan hal yang dapat menghambat proses penegakan hukum tipikor yang saat ini masih marak diisi oleh kasus korupsi yang melibatkan anggota partai politik. Oleh karena itu, MA perlu mencegah agar dikemudian hari hal ini tidak menyandera pengadilan dari persepsi negatif publik terhadap independensi pengadilan. Setidaknya, ada 16 orOleh karena itu, MaPPI FHUI, ICW, ILR dan PSHK yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan, menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Memastikan semua calon memenuhi persyaratan administratif guna menghindari permasalahan hukum dikemudian hari akibat maladministrasi dalam proses pemilihan. Salah satunya dengan meminta dokumen otentik yang dapat menjadi bukti bahwa calon telah memenuhi syarat minimal 15 tahun pengalaman di bidang hukum.
  2. Memberikan prioritas terhadap peserta seleksi yang memiliki kepakaran dan pengalaman di bidang tipikor.
  3. Mencoret calon-calon yang memiliki catatan negatif terkait penerapan prinsip-prinsip antikorupsi dan berpotensi memiliki konflik kepentingan.
  4. Mendorong agar proses seleksi calon hakim ad hoc tipikor selanjutnya diselenggarakan dengan lebih melibatkan partisipasi publik guna meningkatkan animo pendaftar terutama dengan melakukan sosialisasi “jemput bola” yang bertujuan menjaring calon-calon potensial.

Contact Person:
Josua Satria Collins – MaPPI FHUI (082244731833)
Muhammad Rizaldi – MaPPI FHUI (081977806291)
Tama S. Langkun – ICW (08119937669)

Oleh karena itu, MaPPI FHUI, ICW, ILR dan PSHK yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan, menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Memastikan semua calon memenuhi persyaratan administratif guna menghindari permasalahan hukum dikemudian hari akibat maladministrasi dalam proses pemilihan. Salah satunya dengan meminta dokumen otentik yang dapat menjadi bukti bahwa calon telah memenuhi syarat minimal 15 tahun pengalaman di bid