Oleh Choky Ramadhan (MaPPI FHUI)
Sejak 29 Agustus hingga 1 September 2016, terdapat dua acara yang diikuti yaitu 1) 3rd Annual Asia Pro Bono Forum (29-30 Agustus 2016), dan 2) Pro Bono Conference.
Kegiatan hari pertama dimulai dengan Pro Bono Clearinghouse Workshop: Mobilizing lawyers to support civil society in Asia. Clearinghouse secara sederhana adalah mekanisme untuk menyalurkan bantuan hukum secara gratis kepada pencari keadilan yang termarjinalkan. Tujuan clearinghouse secara umum adalah meningkatkan akses keadilan, memberi bantuan hukum, serta mendidik masyarakat terkait hukum.
Sesi hari pertama ini mendiskusikan praktik terbaik, tantangan, dan pembelajaran pro bono clearinghouse. Diskusi dilakukan sangat interaktif dengan pembagian kelompok kecil sehingga peserta dapat saling berbagi gagasannya untuk meningkatkan performa pro bono clearinghouse. Beberapa peserta dari China, India, Singapura, Australia, dan juga Thailand berbagi sistem dan pengalaman pro bono clearinghouse.
Pada hari kedua dimulai dengan plenary session membahas perkara bisnis yang dilaksanakan secara pro bono di Asia. Salah satu pembicara dari Indonesia, Melli Darsa, mengatakan perbedaan karakteristik dan sejarah lahirnya pengacara litigasi dan non-litigasi (bisnis/komersial) membuat kesenjangan dalam pemberian pro bono. Melli mengakui bahwa kultur pro bono lebih kuat pada pengacara litigasi.
Selain Melli, sesi ini dihadiri oleh Nicholas Patrick (DLA Piper), Su-Ann (J.P. Morgan), dan Tanguy Lim (Law Society of Singapore). Nicholas menekankan bahwa pro bono tidak hanya baik secara moral dilakukan oleh pengacara, tetapi juga dapat meningkatkan keterampilan, kemampuan pribadi, popularitas, dan juga bisnis law firm.
Sesi selanjutnya dilakukan secara terpisah terkait perkembangan Pro Bono di Australia. Pro bono merupakan inisiatif internal dari firma hukum, bukan desakan dari luar termasuk pemerintah. Sejak tahun 1993-1994, clearinghouse dibentuk di Sydney dan menginspirasi salah satu kantor hukum melakukan praktik pro bono pada tahun 1996. Inisiatif ini membuat kantor hukum lain tidak mau kalah dan ketinggalan. Mereka kemudian melakukan praktik pro bono hingga mengangkat koordinator bahkan partner pro bono. Kesuksesan pro bono di Australia dipengaruhi juga oleh pengakuan dan dukungan organisasi profesi, keragaman model dan layanan, kerjasama dengan komunitas/LSM dan juga universitas.
Indonesia mendapat sesi khusus untuk membahas pertumbuhan pro bono di Indonesia. Beberapa pengacara di kantor hukum besar seperti Ahmad Fikri Assegaf (AHP), Gunadarma (AYMP), dan Erwina Tobing (OSP) mengisahkan berbagai bentuk pro bono yang law firm-nya pernah lakukan. Organisasi profesi PERADI diwakili oleh Sugeng Teguh Santoso dan Rivai Kusumanegara yang meski dari PERADI berbeda namun mereka sama-sama berkomitmen untuk memastikan anggotanya melakukan pro bono. Berdasarkan sejarahnya, Eryanto dari STIH Jentera menyatakan bahwa bantuan hukum untuk yang tertindas merupakan ruh dari profesi advokat. Oleh karenanya, bantuan hukum secara cuma-Cuma inilah yang perlu diutamakan sebelum advokat mengedepankan honorarium.
Sesi selanjutnya terkait perkembangan pro bono di India dan China sangat menarik mempelajari keterlibatan universitas. Di Cina, clinical legal education (klinik hukum) membawa mahasiswa ke akar rumput, menangani kasus, dan memberikan persepektif sosial sebelum terjebak dalam beban kasus dan uang. Kultur pro bono di China diakui belum sekuat negara-negara barat atau internasional lainnya.
Acara ditutup oleh ceramah dari Todung Mulya Lubis dan Michael Kirby (mantan hakim tinggi Australia). Todung menekankan kembali bahwa pro bono harus diberikan kepada masyarakat marjinal seperti orang miskin, perempuan, anak, atau LGBT. Sedangkan Kirby meresume poin-poin penting pertemuan selama 2 hari dengan menekankan bahwa pengacara bekerja untuk menghadirkan keadilan di masyarakat.
Pada hari ketiga, acara Pro Bono Conference dimulai dengan membahas peran pengacara pro bono untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Menurut Nick Booth (UNDP), SDGs berlaku seluruh negara dengan menambahkan akses keadilan dalam tujuannya. Pengacara pro bono bisa memastikan akses keadilan bagi kelompok marjinal dengan melakukan pelatihan dan pemantauan pelaksanaan.
Sesi selanjutnya membahas terkait pro bono terhadap pengguna narkotika di Asia. Di Indonesia dan Vietnam, pengguna narkotika terpinggirkan akses terhadap pengacara karena beberapa pengacara tidak ingin mendampingi mereka. Ricky Gunawan dari LBH Masyarakat mengatakan sangat sedikit pengacar Indonesia yang membantu pengguna narkotika. Pengacara pro bono semestinya tidak mengecualikan mereka karena proses peradilan akan melanggar prinsip peradilan yang adil.
Kelompok termarjinalkan lainnya adalah difabel. Mereka berjumlah sekitar 50% diseluruh dunia dan dianggap sebagai kelompok minoritas yang paling tertinggal oleh Nicholas Booth (UNDP). Joni Yulianto (SIGAB) mencatat bahwa difabel seringkali terabaikan hak-haknya dalam proses peradilan pidana. Oleh karenanya, pengacara pro bono perlu melakukan dan diberi pelatihan untuk penanganan kasus difabel. Mereka juga dapat mengadvokasikan perubahan kebijakan di institusi penegak hukum.
Pada hari terakhir Pro Bono Conference, mayoritas peserta Indonesia mendiskusikan cara terbaik untuk menyediakan layanan pro bono kepada masyarakat marjinal. Kita membahas rencana aksi untuk membentuk sistem, meningkatkan kaapsitas, dan memperluas jaringan pro bono. Dari pertemuan ini, kami juga berencana untuk membentuk gugus tugas (task force) yang merumuskan dan melaksanakan program pro bono di Indonesia.