Begitu termotivasinya pemerintah untuk mengeksekusi mati pelaku kejahatan dalam kasus narkotika dan begitu seringnya hakim mengirim pelaku kejahatan ke penjara adalah indikasi masih dipilihnya pendekatan punitif sebagai solusi atas problematika kejahatan di Indonesia.
Dalam beberapa bulan terakhir, isu pemberlakuan kebiri pada pelaku kejahatan seksual terhadap anak sempat menjadi perbincangan hangat di berbagai media nasional. Publik diyakinkan bahwa angka kekerasan seksual terhadap anak semakin meningkat dari tahun ke tahun dan kebiri menjadi solusi efektif atas permasalahan tersebut.
Hingga akhirnya, pada 25 Mei 2016, Presiden Joko Widodo mengeluarkan PERPPU Perubahan Kedua UU Perlindungan Anak yang memperberat ancaman pidana bagi pelaku kejahatan seksual terhadap Anak, yang bahkan bisa dipidana mati, penjara seumur hidup, penjara selama 20 tahun, dikenakan pidana minimum 10 tahun, hingga diumumkannya identitas pelaku, diberikan tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat deteksi elektronik pada terpidana.
Tidak berhenti sampai di situ, isu terorisme turut ramai dibicarakan di level nasional. Diperkenalkannya pengaturan baru di RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, seperti penahanan in communicado selama 6 bulan dan pencabutan kewarganegaraan untuk beberapa tindak pidana, merupakan beberapa alasan mengapa RUU ini menarik untuk didiskusikan. Dari beberapa kasus di atas, Pemerintah terkesan memilih untuk mengorbankan hak-hak tersangka demi efektivitas penegakan hukum.
Meluruskan Konteks
Hukum pidana selalu diidentikkan dengan upaya menyelesaikan masalah kejahatan, menemukan pelaku, dan menghukumnya dengan pilihan hukuman yang tersedia. Tidak sedikit yang kemudian justru menginginkan dijatuhkannya hukuman yang paling berat kepada pelaku, terlebih jika kejahatan yang dilakukannya sangat serius dan memiliki dampak negatif yang meluas. Dalam konteks Indonesia, fenomena ini menjadi hal yang lumrah. Begitu termotivasinya pemerintah untuk mengeksekusi mati pelaku kejahatan dalam kasus narkotika dan begitu seringnya hakim mengirim pelaku kejahatan ke penjara adalah indikasi masih dipilihnya pendekatan punitif sebagai solusi atas problematika kejahatan di Indonesia.
Hal ini semakin diperparah dengan begitu tingginya kecenderungan pemerintah Indonesia untuk memunculkan tindak pidana baru dalam berbagai undang-undang pasca Reformasi. Dalam catatan Akbari (2015), sepertiga dari jumlah undang-undang yang disahkan DPR tiap tahunnya selalu memuat ketentuan pidana. Jika dilihat lebih detail, dalam periode 1998-2014, Indonesia telah memiliki 1.601 tindak pidana yang tersebar di 154 undang-undang dengan ancaman pidana yang cukup berat.
Perlu dipahami bahwa hukum pidana tidak boleh dimajukan sebagai solusi utama untuk menyelesaikan persoalan hukum. Mengingat karakteristiknya yang bersifat memaksa dan berbagai elemen koersif yang melekat di dalamnya, hukum pidana harus selalu diposisikan sebagai obat terakhir jika mekanisme lainnya sudah dirasa tidak bisa menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Akan tetapi, prinsip ultimum remedium ini tidak boleh dipahami sebagai prinsip semata. Ia harus diimplementasikan dalam tataran praktis, baik dalam pengambilan kebijakan maupun penegakan hukum. Husak (2008) mengingatkan bahwa kegagalan memahami hal ini dapat berakibat pada menjamurnya tindak pidana, begitu banyaknya pilihan hukuman, dan semuanya akan bermuara pada besarnya kemungkinan penjatuhan hukuman yang tidak adil terhadap pelaku kejahatan.
Membangun Rasionalitas
Dalam salah satu manuskrip yang ditulisnya, Mears (2007) memberikan gambaran bahwa pembuat kebijakan dan masyarakat pada dasarnya tidak memiliki kemampuan yang akurat untuk memahami jenis dan jumlah kejahatan yang terjadi di daerahnya, begitu juga mengenai ketepatan penjatuhan hukuman dan strategi penanggulangan kejahatan yang dibutuhkan. Meski demikian, setiap terjadi kejahatan, masyarakat mempercayai bahwa kondisi sekitar semakin mengkhawatirkan dan banyak kebijakan baru dalam sistem peradilan pidana yang dimunculkan. Berkaitan dengan hal ini, Prof. Mardjono Reksodiputro (1983) mengingatkan bahwa sistem peradilan pidana harus memberikan respons yang rasional dan tidak emosional atas hal-hal tersebut.
Hal pertama yang perlu dibenahi adalah statistik kriminalitas. POLRI, Kejagung, dan Mahkamah Agung memiliki metode yang berbeda untuk mencatat tindak pidana yang terjadi di Indonesia. Sebagai contoh, klasifikasi tindak pidana umum dan tindak pidana khusus di ketiga institusi tersebut berbeda satu sama lain. Oleh karenanya, tidak mudah untuk memahami apakah suatu perkara tertentu dicatat dalam klasifikasi yang sama oleh ketiga aktor peradilan pidana tersebut. Selain itu, diskursus mengenai kriminalitas di Indonesia hampir tidak pernah menyentuh isu angka perimbangan kejahatan (crime rate) yang seharusnya dijadikan tolak ukur untuk menilai frekuensi kejahatan tercatat per jumlah penduduk tertentu. Justru, perdebatan mengenai keberhasilan penegakan hukum masih berada dalam tataran asumtif yang belum bisa dipertanggungjawabkan secara objektif.
Selanjutnya, evaluasi terhadap kebijakan pidana perlu mendapatkan porsi yang sama dengan data kriminalitas. Evaluasi ini harus bisa diarahkan untuk menjawab pertanyaan mengenai efektivitas kebijakan, pengaruh kebijakan terhadap hasil, dan ecological validity dari kebijakan yang dievaluasi tersebut. Mengapa hal ini menjadi penting? Karena Indonesia begitu sering mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru di ranah hukum pidana tanpa kemudian mempublikasikan hasil evaluasi terhadap kebijakan tersebut. Sebutlah, kebijakan pengetatan remisi untuk terpidana kasus korupsi yang diterapkan begitu saja tanpa dijelaskan seberapa besar pengaruhnya terhadap naik-turunnya kasus korupsi di Indonesia.
Selain itu, terminologi ‘efek jera’ selalu didengungkan sebagai alasan di balik penyusunan kebijakan pidana di Indonesia. Perlu diingat bahwa kita tidak bisa terus-menerus berlindung pada ‘efek jera’ demi mengeluarkan kebijakan yang punitif. Efek jera harus diukur dengan menggunakan indikator ilmiah yang didasarkan pada cabang keilmuan yang ada dan tidak berhenti pada tataran argumentatif. Kita harus belajar untuk mendasarkan kebijakan pidana pada bukti dan hasil, dan tidak membabi buta memangkas hak tersangka demi suatu hal yang masih bersifat asumtif.
Menyusun Pembelajaran
Kepentingan untuk meluruskan konteks dan membangun rasionalitas dalam kebijakan pidana berhubungan dengan apa yang diprediksikan Miller pada tahun 1934 bahwa hukum pidana akan ditempatkan sebagai bagian integral dari strategi kontrol sosial oleh pemerintah di berbagai belahan dunia. Namun, Garland (2001) mengingatkan bahwa pendekatan ini tidak akan memberikan keuntungan apapun dan sebaliknya, justru menunjukkan kelemahan dan ketidakmampuan pemerintah untuk merespons masalah kriminalitas di wilayahnya.
Oleh sebab itu, selain melakukan evaluasi objektif terhadap kinerja penegak hukum dan mengembangkan mekanisme akuntabilitas peradilan pidananya, pemerintah perlu memikirkan ulang pendekatan punitif yang dijalankannya selama ini dan mulai mencari alternatif solusi yang lebih efektif untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan di Indonesia.
Versi asli sudah pernah dimuat di situs: hukumonline.com.