Pemerintah berencana memangkas anggaran penegak hukum. Penghematan anggaran sebenarnya dapat dipahami karena melihat kondisi keuangan dan perekonomian negara. Namun yang menjadi permasalahan jika pemangkasan anggaran berdampak terhadap hal yang krusial terhadap jalannya negara, terutama terkait penegakan hukum. Berdasarkan informasi terakhir, pemangkasan anggaran di sektor penegakan hukum dinilai tidak tepat sasaran, seperti yang terjadi pada anggaran Kejaksaan Agung (Kejagung).

Kejagung memotong anggaran perkara pidana umum (pidum) dan penanganan perkara pidana khusus. Dalam hal ini, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) menolak agar kebijakan ini disahkan. Sejak awal tahun, MaPPI pernah menyatakan ada permasalahan di penyusunan anggaran perkara Kejaksaan.  Penyebabnya adalah anggaran penanganan perkara dikurangi untuk menangani 81.869 perkara ditahun ini. Padahal di tahun sebelumnya, anggaran Kejaksaan dialokasikan lebih dari 120 ribu perkara.

Ketidak sesuai antara perencanaan dengan realisasi anggaran perkara akan menimbulkan tiga persoalan utama. Pertama kualitas penegakan hukum menjadi tidak maksimal. Seperti contoh Jaksa akan memaksimalkan anggaran yang tersedia untuk menyelesaikan seluruh perkara yang masuk. Sehingga ada kemungkinan biaya-biaya yang diperlukan dalam pembuktian, seperti biaya saksi ahli, pemanggilan saksi akan diminimalisir agar mencukupi dengan jumlah anggaran.

Kedua, keterbatasan anggaran ini akan membuka potensi praktik korupsi untuk menutupi kekurangan anggaran. Akibat yang buruk, bisa saja membuka celah adanya ruang transaksi dengan pihak lain sekedar memenuhi kebutuhan untuk menangani perkara. Apalagi di tahun ini sudah ada 2 (dua) Kejati yang terlibat kasus suap.

Ketiga, persoalan ini akan membuka potensi adanya kasus-kasus yang terbengkalai. Seperti contoh di salah satu Kejari wilayah Maluku yang jumlah perkaranya sudah melebihi dari target, maka sangat memungkinkan jika Kejari setempat tidak menangani perkara yang akan masuk karena biaya operasional sudah habis. Pada akhirnya, proses penegakan hukum menjadi terhambat

Urgensi Perubahan Kebijakan Anggaran

Perubahan kebijakan penyusunan anggaran Kejaksaan sangat diperlukan, apalagi anggaran penanganan perkara sudah tidak ideal lagi dengan kondisi praktiknya. Dari sisi satuan besaran anggaran untuk tiap perkara juga sangatlah minim. Anggaran Kejaksaan saat ini dialokasikan hanya sebesar 3 juta rupiah, dan 6 juta rupiah untuk Kejari yang tidak satu wilayah dengan Pengadilan Negeri (PN).

Anggaran berkisar 3 dan 6 juta rupiah disama ratakan untuk seluruh wilayah Kejari tanpa ada pembedaan jenis. Kejaksaan tidak bisa menyamaratakan penanganan perkara terhadap semua jenis kasus. Karena pembuktian untuk kasus pencopetan biasa akan sangat berbeda dengan pembuktian terhadap perkara-perkara seperti illegal logging, illegal fishing, terorisme, dll. Oleh karena itu, Kejaksaan perlu merubah kebijakan penganggaran mereka terhadap jenis perkara.

Akhir kata, perubahan penyusunan anggaran perlu menjadi prioritas utama dari Presiden maupun Kejaksaan sendiri. Sehingga dalam masa penyusunan anggaran ini, DPR perlu mengevaluasi anggaran yang diajukan pihak pemerintah. Jangan sampai, anggaran yang disusun akan berakibat menurunnya kualitas penegakan hukum dan membuka potensi korupsi semakin besar.

Contact Person: Dio Ashar Wicaksana (Peneliti MaPPI-FHUI/081317167820)