poster-terakhir-9A. Pendahuluan

Kekerasan seksual merupakan salah satu kejahatan serius yang sudah seharusnya menjadi perhatian kita bersama. Berdasarkan data dari laporan tahunan Komnas Perempuan, angka kekerasan seksual di Indonesia setiap tahunnya semakin meningkat. Salah satu bentuk kekerasan seksual yang marak terjadi adalah perkosaan. Perkosaan menempati tempat tertinggi dari banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam ranah personal. Tindak pidana perkosaan telah menyumbang angka sebesar 72 % atau sekitar 2.399 kasus dari 3.325 kasus angka kekerasan seksual yang terjadi di ranah personal.

Senada dengan hal itu, tindak pidana perkosaan juga menempati angka tertinggi dari banyaknya kekerasan seksual yang terjadi dalam ranah komunitas. Dari 5.002 kasus kekerasan seksual dalam ranah komunitas diantaranya terdapat 1.657 kasus yang bentuk kekerasan seksualnya merupakan perkosaan. Sedangkan sisanya terdiri dari 1.064 kasus pencabulan, 268 kasus pelecehan seksual, 130 kasus kekerasan seksual lainnya, dan 55 kasus lainnya.

Angka-angka di atas dapat jauh bertambah, jika berkaca pada tipologi kejahatan perkosaan dimana korban cenderung tidak bersedia untuk melaporkan telah mengalami tindak pidana perkosaan. Bahkan lebih parahnya, beberapa korban perkosaan yang bersedia melapor kepada aparat penegak hukum menjadi korban untuk kedua kalinya (reviktimisasi) saat proses hukum mulai berjalan. Posisi korban yang seolah-olah mengalami reviktimisasi disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya dikarenakan masih terdapat celah dalam perumusan tindak pidana perkosaan dalam peraturan yang berlaku saat ini, yaitu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Perumusan di KUHP yang hanya mengakomodasi bentuk perkosaan dengan cara memasukkan penis ke dalam vagina, menimbulkan bentuk-bentuk perbuatan kekerasan seksual lainnya seperti oral dan anal sex tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perkosaan. Selain itu, perumusan perkosaan di KUHP juga mensyaratkan perkosaan baru dapat terjadi, jika dilakukan melalui sarana kekerasan atau ancaman kekerasan. Kenyataannya, saat ini perkosaan yang terjadi kerap kali menggunakan sarana lain, seperti relasi kuasa, tipu daya, tipumuslihat atau sarana lainnya yang membuat korban tidak dapat memberikan persetujuan secara bebas.

Permasalahan di atas memperlihatkan KUHP sebagai hukum positif tidak dapat menjangkau berbagai bentuk dan cara pelaku dalam melakukan tindak pidana perkosaan. Berbeda dengan Indonesia, banyak negara telah melakukan redefinisi terhadap konsepsi perkosaan. Salah satunya dengan mengubah paradigma pemikiran dari tindak pidana perkosaan yang sebelumnya dianggap kejahatan kesusilaan menjadi kejahatan yang menyerang integritas tubuh. Selain itu, banyak negara juga telah memperluas cakupan tindak pidana perkosaan, dimana perkosaan tidak hanya terbatas pada perbuatan pelaku yang memasukkan penis ke dalam vagina tetapi juga bentuk perbuatan lain seperti oral dan anal sex.

Berangkat dari permasalahan tersebut, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) bersama dengan Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ) pada tahun 2016 telah melakukan penelitian terkait penegakan hukum tindak pidana perkosaan di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian yang telah dilakukan MaPPI FHUI dan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta bersama dengan AIPJ pada tahun 2015.

Penelitian yang kami lakukan bertujuan untuk memberikan evaluasi terhadap penerapan hukum tindak pidana perkosaan yang selama ini telah dilaksanakan. Selain itu, untuk mendukung reformasi tindak pidana perkosaan, maka peneliti juga memberikan masukan berkenaan dengan rumusan tindak pidana perkosaan dalam Rancangan KUHP dan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan beberapa sumber data, yang terdiri atas: (1) studi literatur (2) analisis terhadap 50 putusan perkosaan dan (3) focus group discussion (FGD).

Penelitian ini juga dibarengi dengan penelitian MaPPI-FHUI lainnya, yaitu penelitian survey sense of justice, dimana kami melakukan survei kepada 2040 responden, terdiri dari masyarakat seluruh Indonesia di 34 provinsi. Survei tersebut dilakukan untuk melihat bagaimana masyarakat memandang kekerasan seksual dan pemidanaan bagi pelaku kekerasan seksual yang memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat seluruh Indonesia.

Dengan berakhirnya kedua penelitian yang kami lakukan tersebut, serta dalam rangka memperingati Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan Internasional, maka kami berencana melakukan diseminasi kepada publik, termasuk juga kepada para pemangku kebijakan, akademisi, serta aktivis. Konsep diseminasinya sendiri berbentuk sebuah festival yang terdiri dari berbagai rangkaian acara, di antaranya diskusi publik, peluncuran buku, talkshow, pemutaran video, infographic and art exhibition, live music, serta display lembaga dan komunitas.

Selain perkosaan, isu kekerasan seksual lain yang akan diangkat dalam festival ini adalah isu terkait perkawinan usia anak yang telah diteliti oleh Aliansi Remaja Independen Indonesia (ARI). Pada 2015 lalu, ARI bersama Sobat ASK telah melakukan penelitian terkait perkawinan anak di 3 wilayah yaitu DKI Jakarta, Jawa Timur dan D.I. Yogyakarta. Dalam penelitian tersebut, ditemukan fakta-fakta sebagai berikut: angka kehamilan tidak terencana pada masa perkawinan di usia muda 16-20 tahun sebesar 51,7%, terjadi juga peningkatan yang signifikan pada 3 kabupaten di D.I Yogyakarta dalam kurun waktu satu tahun (2011-2012), sedangkan pada tahun 2013 di Jawa Timur, 0,45% populasi anak di bawah umur 16 tahun yang memiliki status menikah/cerai hidup/cerai mati. Sehingga dalam festival ini, ARI juga akan mengadakan diskusi publik terkait kekerasan seksual terhadap anak perempuan dalam bentuk perkawinan anak.

Dalam menyelenggarakan festival ini, kami berkolaborasi dengan Joint Task Force Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (K16HAKtP) hasil inisiasi Komnas Perempuan yang terdiri Komnas Perempuan, MaPPI FHUI, Lentera Sintas Indonesia, campaign.com, change.org, Pamflet, Yayasan Pulih, LBH APIK, Sisterhoodgigs Movement, konde.co, Aliansi Remaja Independen (ARI), Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRCKJHAM), Ikatan Pelajar Putri Nadlatul Ulama (IPPNU), PB Kohati HMI, Aliansi Jurnalis Independen, Perkumpulan Advokat Wanita Indonesia, LBH APIK, Gerkatin Kepemudaan, Jaringan Muda Lawan Kekerasan Seksual dan LSM/NGO lainnya yang bergerak di isu perempuan. Terselenggaranya festival ini juga merupakan hasil dukungan dari Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ) dan UN Women. Kami juga akan berkolaborasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Terakhir kata, dengan adanya festival ini diharapkan akan terbangunnya jembatan antara hasil penelitian yang bersifat akademis dengan langkah advokasi ke depannya.

B. Rangkaian Acara

1. Talkshow Berjuang Tanpa Kata Menuju Setara

Topik pembahasan dalam Diskusi ini diadakan untuk membahas perlunya anak muda memperjuangkan haknya atas informasi kesehatan reproduksi dan seksualitas yang menyeluruh agar membuat mereka bebas dari kerentanan menjadi korban kekerasan seksual. Lebih lanjut, diharapkan diskusi ini bisa menjembatani anak muda Tuli untuk bisa ikut serta mendapatkan kesempatan yang sama dalam memperjuangkan hak kesehatan reproduksi dan seksualitasnya agar terhindar dari segala bentuk kekerasan seksual. Pembicara dalam talkshow ini terdiri dari:

  1. Pieter Angdika (Gerkatin Kepemudaan)
  2. Furba Indah (Jaringan Muda Lawan Kekerasan Seksual)
  3. Trinzi Mulamawitri (Editor in Chief KawanKu)

Moderator: Rika Rosvianti (Pamflet)

2. Diskusi Publik dan Peluncuran Buku “Evaluasi Penegakan Hukum Kejahatan Perkosaan di Indonesia”

Topik pembahasan dalam diskusi publik ini adalah evaluasi penegakan hukum tindak pidana perkosaan di Indonesia. Dalam diskusi publik ini, MaPPI FHUI juga akan memaparkan hasil penelitian terkait topik tersebut. Diskusi publik akan diakhiri dengan peluncuran buku penelitian yang telah dilakukan oleh MaPPI FHUI. Pembicara dalam diskusi publik ini terdiri dari:

  1. Arsul Sani S.H., Pr.M, MCIArb (Anggota Komisi III DPR RI)
  2. H. Suhadi S.H., M.H. (Juru Bicara Mahkamah Agung RI)
  3. Azriana (Komisioner Komnas Perempuan)
  4. Lidwina Inge Nurtjahyo, S.H., M.Hum. (Akademisi)
  5. Anugerah Rizki Akbari, S.H., M.Sc. (Peneliti MaPPI)

Moderator: Muhammad Rizaldi, S.H. (Peneliti MaPPI)

3. Temu Muka Bicara Fakta (TeMuKa) Perkawinan Anak

Dalam sesi ini ARI akan menampilkan video penelitian ARI mengenai perkawinan anak serta mengajak publik untuk berbicara fakta terkait isu perkawinan anak dan keterkaitannya dengan kekerasan seksual. Pembicara dalam temu muka kali ini :

  1. Fadilla Dwianti Putri (UNICEF)
  2. Kemas Achmad Mujoko (Aliansi Remaja Independen)

Moderator: Triani Agustini Margareth Nainggolan (Aliansi Remaja Independen)

4. Talkshow dan Pemutaran Video “Kenali Kekerasan Seksual, Dengarkan dan Dukung Korban”

Topik pembahasan dalam talkshow ini adalah pengenalan bentuk-bentuk kekerasan seksual serta perlindungan dan pemulihan korban. Talkshow akan dimulai dengan pemutaran video-video bertema kekerasan seksual yang telah dibuat oleh Tim K16HAKtP. Pembicara dalam talkshow ini terdiri dari:

  1. Melanie Subono (Seniman & Aktivis)
  2. Syaldi Sahude (Aliansi Laki-laki Baru)
  3. Ratna Batara Munti, S.Ag, M.Si. (Direktur LBH APIK Jakarta/Praktisi)
  4. Dinda Kanyadewi (Artis/Pekerja Seni)

Moderator: Sophia Hage (Lentera Sintas Indonesia)

5. Infographic and Art Exhibition

Dalam festival ini juga akan dipamerkan campaign kit berupa infografis-infografis yang telah dibuat oleh Tim K16HAKtP dan infografis buatan MaPPI FHUI dengan topik kekerasan seksual dan pandangan masyarakat terhadapnya. Selain itu juga akan dipamerkan karya-karya seni dari Badan Otonom Pers, Fotografi, Film, dan Musik Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PERFILMA FHUI) yang pada tahun ini mengangkat tema kekerasan seksual dalam The 13th Justice, Art, Music on Stage (JAMS)-nya.

6. Live music

Di akhir acara akan ada penampilan dari musisi-musisi yang juga aktif dalam advokasi isu sosial, salah satunya isu gender-based violence yaitu Aditya Sofyan, Sisterhoodgigs, Simponi, Jubing Kristianto, Dua Sejoli, Jivva dan band dari PERFILMA FHUI.

7. Display Lembaga dan Komunitas

Dalam festival ini kami juga menyediakan booth untuk display lembaga ataupun komunitas yang aktif dalam advokasi isu sosial, salah satunya isu gender-based violence. Dalam display ini, lembaga ataupun komunitas dapat memperkenalkan bentuk kegiatan serta advokasi yang sedang dijalankannya.

C. Waktu dan Tempat

Hari, tanggal: Sabtu, 10 Desember 2016
Waktu: 10.00 WIB – selesai
Tempat: The Warehouse Lantai 5 Plaza Indonesia

 Contact Person

Meyriza (082281216499) (meyrizaviolyta@ymail.com)
Almira (081315144287/almiraandriana9@gmail.com)
Adery (0812 1915 5115 /adery138@yahoo.co.id)

Keterangan: *) tentatif