Pada 19 Juli 2018, salah satu anggota MaPPI FHUI, Neka Rusyda Supriatna (Pustakawan) berkesempatan mengikuti Workshop Digital Storytelling di International Finance Centre 2, K-Hub AIPJ 2. Digital storytelling adalah sebuah video yang menceritakan kisah sebenarnya (true story) dari sudut pandang orang pertama atau dengan kata lain langsung diceritakan oleh si pemilik cerita. Digital storytelling ini menceritakan kisah spesifik seseorang dan dilengkapi dengan ilustrasi yang dibuat oleh si pemilik cerita, bisa berupa gambar tangan, lukisan, boneka, clay, atau mengambil foto di internet. Umumnya digital storytelling hasil videonya berdurasi hanya 2-4 menit saja.

Digital storytelling ini tujuannya bukanlah di hasil akhir videonya, melainkan bagaimana kita memperoleh insight atau informasi-informasi selama pembuatan video ini. Maka dari itu, digital storytelling lebih cocok sebagai salah satu alat bantu pada penelitian kualitatif. Video yang sudah dibuat oleh si pemilik cerita, 100% kepemilikannya dan haknya ada di tangan si pemilik cerita. Mereka bebas untuk memilih apakah video tersebut mau mereka bagikan atau tidak, mau mereka taruh di internet atau tidak, mau disebarkan hanya di kelompok kecil saja atau dihapus setelah selesai editing, semua terserah mereka. Fasilitator hanya membantu dalam proses pembuatan cerita ke dalam video.

Digital storytelling umumnya dilakukan ke tempat-tempat tertentu seperti pedesaan, penjara, panti asuhan, atau detention centre. Tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi mengenai pengalaman atau cerita-cerita dari sekelompok orang disana, inilah mengapa seperti dikatakan diawal tadi bahwa digital storytelling ini cocok untuk penelitian kualitatif. Kegiatan digital storytelling umumnya dilakukan selama 5 hari dengan keterangan sebagai berikut :

  1. Hari pertama, biasanya dimulai dengan perkenalan : siapa kita, apa tujuan kita, jelaskan tentang apa itu digital storytelling, kemudian lakukan semacam permainan atau pendekatan dengan target kita.
  2. Hari kedua, ciptakan story circle yaitu target kita yang umumnya terdiri dari 5-8 orang kita ajak untuk saling bertukar cerita. Biarkan mereka saling memberikan feed back terhadap cerita teman lainnya. Disini biasanya tercipta triangulasi atau validasi informasi dari diskusi para target.
  3. Hari ketiga, sudah mulai ada perkenalan dengan teknologi seperti kamera, iPad, Di hari ketiga juga dilakukan perekaman gambar (biasanya pakai iPad), atau gambar langsung di media kertas. Ciptakan suasana yang mendukung bahwa tidak ada gambar yang jelek-bagus, benar-salah, semua gambar akan diterima.
  4. Hari keempat, finalisasi cerita kemudian dilakukan perekaman suara (mereka bercerita).
  5. Hari terakhir, lakukan screening video bersama-sama. Disini juga tercipta perjanjian misalnya apakah video mau disebar atau tidak. Apakah target ingin diidentifikasi atau anonim, dll.

Digital storytelling memang tidak berfokus pada tujuan akhir terciptanya sebuah video, tapi hasil dari proses ini dapat kita jadikan laporan, infografis, atau bahan advokasi karena sebenarnya kegiatan ini memberikan kita informasi-informasi secara detail dan mendalam seperti di penelitian kualitatif. Jika memang hasil akhirnya kita mendapatkan video yang boleh disebarluaskan maka nantinya video itu dapat kita jadikan sebagai bahan advokasi. Namun, sekali lagi inti dari digital storytelling ini bukanlah pada videonya tetapi pada prosesnya (mendapatkan insight dan informasi).