Wacana untuk reformasi birokrasi ini sudah bergulir sejak era reformasi atau awal tahun 2000an. Berbagai instrumen telah disusun oleh Kejaksaan sebagai pedoman mewujudkan reformasi birokrasi seperti Audit Tata Kepemerintahan Pada Kejaksaan RI (2001), Agenda Pembaruan Kejaksaan RI (2003), Cetak Biru Pembaruan Kejaksaan RI (2005), Program Reformasi Birokrasi (2008), dan Profil Kejaksaan RI 2025 (2009). Akan tetapi reformasi birokrasi di Kejaksaan seperti berjalan di tempat. Keberadaan instrumen tersebut tidak membawa perubahan yang berarti. Berbagai permasalahan birokrasi di Kejaksaan tetap dirasakan dan terlihat dampaknya hingga kini.
Permasalahan birokrasi Kejaksaan sebenarnya sudah disadari oleh Kejaksaan sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam dokumen Profil Kejaksaan RI 2009, yang mengakui beberapa permasalahan dan tantangan di internal Kejaksaan seperti masalah anggaran, pengawasan internal, sistem karir, dsb. Hal ini semakin diperkuat dengan release yang dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yang menunjukkan bahwa Kejaksaan menduduki peringkat paling bawah dalam penilaian kinerja dan akuntabilitas kementerian dan lembaga.
Terkait dengan anggaran, di tahun 2016 Kejaksaan hanya dianggarkan untuk menangani sebanyak 81.869 perkara. Padahal, di tahun sebelumnya, anggaran Kejaksaan dialokasikan lebih dari 120 ribu perkara. Sebagai contoh di Kejaksaan Negeri (Kejari) Hunipopu (Maluku) yang sebelumnya dialokasikan untuk menangani 28 perkara menjadi 15 perkara. Padahal per-Maret 2016 di Kejari Hunipopu jumlah perkara yang ditangani sudah mencapai angka 10 perkara. Selain alokasi total anggaran perkara, masalah lain juga muncul dari satuan anggaranperkaranya. Kejaksaan saat ini dialokasikan hanya sebesar 3-6 juta rupiah tergantung wilayahnya. Anggaran berkisar 3 dan 6 juta rupiah disama ratakan untuk seluruh wilayah Kejari tanpa ada pembedaan jenis perkara.
Masalahan anggaran ini akan berpotensi berdampak pada kinerja Kejaksaan, antara lain Pertama, kualitas penegakan hukum menjadi tidak maksimal. Jaksa akan menekan biaya yang diperlukan dalam proses pra penuntutan dan persidangan agar anggaran yang tersedia tercukupi.Kedua, keterbatasan anggaran ini akan membuka potensi praktik korupsi. Ketiga, persoalan ini akan membuka potensi adanya kasus-kasus yang terbengkalai. Seperti di Kejaksaan Negeri Maluku yang jumlah perkaranya sudah melebihi dari target, maka sangat memungkinkan jika Kejari setempat tidak menangani perkara yang akan masuk karena biaya operasional sudah habis. Pada akhirnya, proses penegakan hukum menjadi terhambat.
Selain masalah anggaran, mutasi dan promosi di Kejaksaan selalu menjadi sorotan baik di internal maupun publik. Selama setahun terakhir, pemberitaan mengenai carut-marutnya pelaksanaan mutasi promosi di Kejaksaan kembali muncul. Salah satu contohnya penempatan jaksa yang aktif di KPK, Yudi Kristiana, pada struktural Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan menjadi tanda tanya publik. Terlebih jika didasarkan pada prestasi Yudi dan masa aktifnya di KPK yang masih 2 tahun lagi.
Sebagai produk Reformasi Birokrasi Kejaksaan, Peraturan Jaksa Agung No. 49 tahun 2011 tentang Pengembangan Karir Pegawai Kejaksaan masih memiliki celah yang memberikan diskresi kepada pimpinan untuk melakukan mutasi dan promosi secara subyektif. Misalnya, mutasi-promosi diatur harus berdasarkan “prestasi dan penilaian kinerja”. Perja tersebut juga mengamanatkan Jaksa Agung untuk membuat aturan mengenai penilaian kinerja. Akan tetapi, sudah 5 (lima) tahun peraturan tersebut berlaku belum ada peraturan Jaksa Agung tersebut sehingga acuan prestasi dan peniliaian kinerja menjadi kurang akuntabel. Selain itu, Perja Pengembangan Karir Pegawai Kejaksaan juga memberikan diskresi Pejabat Pembina Kepegawaian untuk mengecualikan ketentuan Perja dalam mutasi dan promosi.
Terakhir adalah soal pengawasan internal yang dilakukan oleh Kejaksaan. Pengawasan internal ini tentu akan dipertanyakan efektifitasnya, mengingat permasalahan yang ada di Kejaksaan tidak hanya bersumber dari SDMnya, melainkan jauh lebih kompleks, seperti masalah anggaran. Di sisi lain, penindakan yang dilakukan oleh pengawasan internal juga dirasa kurang. Beberapa kasus keterlibatan jaksa dalam kasus korupsi belakangan ini juga menjadi pertanyaan efektifitas pengawasan internal. Selain itu adanya asumsi bahwa budaya kesatuan korps akan berpengaruh terhadap kinerja pengawasan internal Kejaksaan, sebagaimana yang terjadi di lembaga lain. Pengawasan internal juga dirasa belum membuka pintu bagi masyarakat untuk menyalurkan pengaduan. Akibatnya masyarakat sulit untuk mengadu, dan akhirnya menggunakan sarana lain seperti Ombudsman RI yang banyak menerima pengaduan berkaitan dengan Kejaksaan. Lambannya tindak lanjut dari internal juga berpengaruh terhadap kinerja pengawasan internal.
Tantangan reformasi birokrasi lainnya di tubuh Kejaksaan saat ini juga adalah kosongnya jabatan Wakil Jaksa Agung yang sudah hampir setahun ini. Padahal unit-unit yang melakukan tugas reformasi birokrasi berada dibawah Wakil Jaksa Agung. Tentunya ini akan mempengaruhi terhadap upaya-upaya melakukan reformasi di tubuh Kejaksaan.
Tentu masalah-masalah tersebut hanyalah sedikit dari sekian banyak masalah berkaitan reformasi birokrasi di Kejaksaan. Sebagaimana terdapat dalam Profil Kejaksaan RI Tahun 2025, sebenarnya Kejaksaan sendiri sudah memetakan berbagai permasalahan yang ada di internal. Yang menjadi persoalan adalah apakah Kejaksaan mau membenahi dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada?
Karenanya, MaPPI FHUI menyatakan sikap sebagai berikut:
- Mendesak agar Jaksa Agung serius melakukan Reformasi Birokrasi di tubuh Kejaksaan RI
- Mendesak Kejaksaan RI serius membenahi berbagai permasalahan yang ada di Kejaksaan RI
- Mendorong Kejaksaan RI bekerja sama dengan lembaga lain seperti KPK, Komisi Kejaksaan, Ombudsman dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada seperti pengawasan dan penanganan korupsi
- Mendesak Presiden untuk menunjuk Wakil Jaksa Agung sebagai upaya pembaruan di Kejaksaan RI
Jakarta, 20 Juli 2016
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FHUI (MaPPI FHUI)