Korupsi masih menjadi salah satu masalah utama yang perlu diselesaikan oleh Pengadilan. Pada selasa (28/8/2018) pagi ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menangkap hakim di Medan, Sumatera Utara (Sumut), dalam operasi tangkap tangan (OTT). Petugas KPK menangkap delapan orang dalam operasi ini. KPK memastikan di antara pihak-pihak yang ditangkap itu berprofesi sebagai hakim dan panitera di Pengadilan Negeri (PN) Medan, diantaranya adalah Ketua Pengadilan Negeri Medan Marsudin Nainggolan dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Medan Wahyu Prasetyo Wibowo. Selain itu, terdapat uang dalam pecahan dolar Singapura yang turut disita. Dalam OTT kali ini, KPK menduga adanya suap berkaitan dengan perkara korupsi yang diadili di Pengadilan Tipikor Medan.

Suap tidak lagi menjadi barang baru dalam proses peradilan. Berdasarkan catatan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI) sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk hingga kini, setidaknya ada 27 Hakim dan Panitera yang tertangkap oleh KPK karena terjerat kasus korupsi. Bahkan hakim pengadilan tipikor yang seharusnya mengadili perkara korupsi, juga turut terjerat kasus korupsi, sebut saja Dewi Suryana, Kartini Marpaung dan beberapa hakim tipikor lainnya.

Fenomena korupsi di pengadilan bukan saja terjadi dalam bentuk suap kepada panitera atau hakim di Pengadilan.

Dalam penelitian MaPPI FHUI tahun 2017, praktik koruptif dalam lembaga peradilan juga terjadi dalam bentuk pungutan liar (pungli). Hingga kini masih banyak ditemukan praktik pungli yang dilakukan oleh oknum pengadilan dalam memberikan layanan publik kepada masyarakat.

Praktik koruptif ini bahkan masih ditemukan di Jakarta dan kota besar lainnya, termasuk Medan.

Praktik pungli di pengadilan umumnya dilakukan oleh oknum panitera dan panitera muda hukum. Hal ini dikarenakan kedua posisi tersebut memiliki posisi yang cukup strategis dalam memberikan pelayanan publik bagi masyarakat. Keduanya memiliki akses untuk berhubungan langsung dengan masyarakat pencari keadilan terutama dalam hal pendaftaran surat kuasa dan pengambilan salinan putusan kasus perdata dan pidana.

Maraknya kasus pungli dalam lembaga peradilan dapat dilihat dari riset MaPPI FHUI (2017), yang melakukan pemetaan korupsi di 5 lingkungan pengadilan, khususnya daerah Medan. Dari pemetaan yang kami lakukan, ditemukan bahwa pungutan liar dalam pelayanan publik di pengadilan, khususnya untuk pendaftaran surat kuasa dan biaya salinan putusan masih kerap terjadi. Berikut ringkasan temuannya:

  • Dari beberapa layanan publik yang ada di pengadilan, layanan pendaftaran surat kuasa dan mendapatkan salinan putusan adalah dua layanan yang sangat signifikan menjadi peluang terjadinya pungutan liar.
  • Dari 77 narasumber yang kami wawancarai, para pelaku yang melakukan pungutan liar terhadap layanan pendaftaran surat kuasa dan biaya salinan putusan dilakukan oleh panitera pengganti dan atau/ panitera muda hukum
  • Modus modus yang sering digunakan oleh oknum tersebut dalam melancarkan aksinya adalah: menetapkan biaya diluar ketentuan dan tidak dibarengi dengan tanda bukti bayar, tidak menyediakan uang kembalian, sebagai imbalan atau uang lelah dan memperlama layanan jika tidak diberikan tip/ uang yang diminta.
  • Dari lima daerah yang dilakukan pemetaan, untuk biaya pungutan surat kuasa berkisar antara 10.000 per surat kuasa hingga >100.000 per surat kuasa. Untuk mendapatkan salinan putusan baiaya di patok muai dari 50.000 per putusan hingga > 500. 000.

Temuan MaPPI FHUI di atas juga sejalan dengan temuan yang didapatkan Ombudsman Republik Indonesia. Hasil temuan Ombudsman menunjukkan peningkatan angka laporan terkait masalah dalam pelayanan publik di Pengadilan, yang banyak juga berkaitan dengan pungutan liar. Tahun 2014 Ombudsman menerima 240 laporan pengaduan dan tahun 2015 Ombudsman menerima 255 laporan pengaduan. laporan tersebut antara lain berkaitan dengan penanganan perkara yang berlarut-larut, praktik pencaloan, penyimpangan prosedur dalam penyerahan salinan putusan, dan petikan putusan. Laporan terkait pengadilan pun menjadi laporan ke-6 yang terbanyak yang masuk ke Ombudsman.

Sangat disayangkan praktik pungutan liar tersebut masih terjadi di lingkungan Pengadilan Negeri, mengingat Mahkamah Agung sudah cukup banyak menerbitkan berbagai peraturan yang bertujuan memberantas praktik pungutan liar di Pengadilan serta mempermudah masyarakat dalam mengakses layanan publik di Pengadilan. Instrumen tersebut antara lain Peraturan Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya.

Atas temuan tersebut, karenanya MaPPI FHUI meminta Mahkamah Agung dan Pengadilan yang berada dibawahnya sebagai berikut:

  • Mahkamah Agung perlu menindak tegas para hakim dan pegawai pengadilan yang tertangkap tangan sesuai dengan peraturan yang berlaku
  • Mahkamah Agung perlu memastikan PERMA No. 8 Tahun 2018 dijalankan pada kasus ini dan implementasi kedepannya. Salah satunya Ketua Pengadilan Tinggi wajib menindak dan menonaktifkan para Hakim sesuai dengan ketentuan PERMA tersebut
  • Mahkamah Agung perlu melakukan pembenahan manajemen perkara, terutama di tingkat Pengadilan Negeri agar menutup celah praktik suap dan korupsi
  • Mendorong Komisi Yudisial untuk aktif bersama Mahkamah Agung dalam melakukan pengawasan kepada Hakim

Jakarta, 28 Agustus 2018

Narahubung:
Josua Collins Peneliti MaPPI-FHUI (0822 4473 1833)