(Oleh: Muhammad Rizaldi dan Sri B. Praptadina)

Saat ini, media massa memiliki sifat dan karakteristik pemberitaan yang mampu menjangkau massa secara luas. Peran media menjadi sangat penting dalam membentuk opini publik atas suatu pemberitaan tertentu (Denis McQuail 1979, p.17). Opini publik yang lahir dari pemberitaan media tersebut secara tidak langsung dapat mempengaruhi jalannya peradilan pidana dalam bentuk tekanan yang menggiring hakim untuk menghukum, sehingga timbul resiko dimana pengadilan tidak memutus kasus secara bebas (Rizaldi & Praptadina 2018, p. 55). Dalam 5 tahun terakhir, setidaknya ada dua kasus yang dapat dijadikan contoh dimana pengadilan memutus perkara dalam tekanan dan tidak berdasarkan bukti yang kuat, yakni kasus pembunuhan Mirna dan kasus pencabulan anak di Jakarta International School. Konstruksi media massa yang tidak berimbang dan bias sangat berpengaruh terhadap persepsi publik terhadap kedua kasus ini. Pemberitaan tersebut membawa publik larut dalam pemikiran bahwa tersangka/terdakwa merupakan pihak yang bersalah sebelum vonis dijatuhkan (Trial by Press). Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai kebutuhan untuk menerapkan ancaman hukuman pidana terhadap pemberitaan media yang dapat mengganggu independensi pengadilan. Belakangan isu tersebut menjadi perbincangan publik seiring dengan pemberitaan mengenai Rancangan KUHP (RKUHP) yang di dalamnya memuat ketentuan contempt of court. Sayangnya rumusan pasal yang mengaturnya masih belum mempertimbangkan konsep kebebasan berpendapat yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, dalam hal ini UU Pers.

Kebebasan Pers vs Independensi Hakim?

Pada tahun 2016, publik dihebohkan dengan kasus tewasnya Mirna Salihin akibat meminum kopi beracun di sebuah mall di Jakarta. Pengadilan kemudian memutus bersalah terdakwa Jessica Kumolo Wongso yang diyakini mencampurkan racun sianida ke dalam kopi yang diminum Mirna. Pada prosesnya, kasus ini menyita perhatian publik mulai dari penyidikan hingga persidangan. Tak bisa dipungkiri, maraknya pemberitaan, ditambah banyaknya figur yang mengomentari kasus ini, berperan dalam pembentukan opini publik kala itu.

Dalam pemberitaan, media tidak hanya menempatkan publik sebagai penonton, tapi juga sebagai pengamat. Tidak jarang media menanyakan pandangan akademisi, tokoh agama, artis, hingga paranormal mengenai bersalah/tidaknya Jessica. Pada akhirnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 20 tahun penjara kepada terdakwa meskipun dalam pembuktian tidak ditemukan alat bukti yang secara langsung menunjukkan bahwa betul Jessica yang menuangkan racun ke dalam kopi yang diminum Mirna.

Dua tahun sebelumnya, media juga memberitakan kasus pencabulan anak murid di Jakarta International School. Seperti kasus Jessica, opini publik semakin terbentuk seiring dengan berkembangnya pemberitaan media terhadap kasus ini. Dampaknya, pemberitaan media menekan pengadilan untuk menghukum para terdakwa. Pengadilan dalam hal ini mengambil sikap dengan memasukkan pemberitaan media sebagai petunjuk bahwa terdakwa berupaya mendiskreditkan majelis hakim. Dengan kata lain, majelis hakim menunjukkan bahwa putusannya dibuat dalam keadaan emosional dan tertekan, sehingga tidak objektif dalam memutus.

Tanpa disadari, membiarkan publik masuk terlalu dalam pada proses pengadilan bukan hanya dapat mencederai independensi pengadilan tapi juga berpotensi mengarah pada praktek peradilan sesat (miscarriage of justice). Di sisi lain, peran publik tersebut juga tidak dapat dihapuskan sepenuhnya dalam penyelenggaraan peradilan. Dalam prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman, aspek demokrasi tetap melekat dan bahkan merupakan suatu hak bagi masyarakat untuk mengawasi administrasi peradilan. Dengan demikian, siapapun dapat menyampaikan pendapatnya dan mengevaluasi apakah pengadilan benar-benar jujur dan tidak memihak dalam memutus perkara. Keduanya seperti dua kutub magnet yang saling tarik-menarik, manakala satu sisi lebih kuat maka akan mengganggu kerja dari sisi yang lainnya. Oleh karenanya perlu dibuat suatu pembatasan yang dapat memastikan kedua kepentingan ini, independensi pengadilan dan kebebasan berpendapat, dapat beroperasi tanpa friksi.

Sebelumnya, perlu dipahami bahwa yang dimaksud dengan pembatasan kebebasan berpendapat yang diatur dalam RKUHP adalah Pasal 281 butir (c) yang melarang setiap orang secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan. Secara sederhana dapat dipahami bahwa perancang pasal hendak menghindari dampak buruk pemberitaan media yang dapat mengganggu independensi hakim dengan memberikan ancaman hukuman pidana berupa penjara maksimal 1 tahun. Sayangnya, pasal ini gagal memberikan batasan terhadap jenis pemberitaan seperti apa yang dapat mempengaruhi independensi hakim. Hal ini jelas menyederhanakan permasalahan dengan cara menempatkan frase “segala sesuatu” dalam rumusan pasal. Selain itu, rumusan pasal tersebut juga kental dengan asumsi bahwa hakim dapat dipengaruhi independensinya dengan pemberitaan media. Padahal, standar independensi hakim seharusnya lebih tinggi dibanding masyarakat pada umumnya, sehingga wajar apabila hukum acara kita tidak menggunakan sistem juri karena hakim dianggap paham hukum dan tidak mudah dipengaruhi oleh pemberitaan/opini yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan.  Jika “segala sesuatu” dianggap bisa mempengaruhi netralitas hakim, maka konsep independensi hakim menjadi hilang marwahnya karena hakim rentan dipengaruhi pikirannya, termasuk oleh pemberitaan media infotainment yang menayangkan pendapat paranormal dan artis terhadap kasus yang ditanganinya.

Menyeimbangkan Kepentingan

Dalam prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak (fair trial), konsep peradilan yang dilakukan secara terbuka untuk umum dapat dibatasi manakala ada kondisi-kondisi yang mengharuskan persidangan dilakukan secara tertutup. Dalam hal ini, negara harus memperhatikan hak seseorang untuk tidak diusik privasinya atau dijatuhkan martabatnya. Misalnya, dalam kasus asusila, identitas korban sudah selayaknya dilindungi dari konsumsi publik mengingat apabila dibuka dampaknya dapat membuat korban-korban lain enggan melaporkan kejadian yang diterimanya.

Di sisi lain tersangka atau terdakwa juga berhak diperlakukan sama di depan hukum yang salah satunya diejawantahkan dengan prinsip “presumption of innocence” dalam sistem peradilan pidana. Namun demikian, hal ini tidak berarti negara harus memenjarakan orang-orang yang berpendapat tertentu terhadap seorang tersangka/terdakwa yang sedang menjalani kasus pidana. Membuka ruang publik untuk mendebatkan suatu kasus justru akan meningkatkan kedewasaan masyarakat terhadap konsep negara demokrasi yang sebenarnya. Mantan Ketua Hakim Agung, Profesor Oemar Seno Adji (1980, p. 135) sudah sejak dulu menyadari bahwa permasalahan mengenai pemberitaan media yang merugikan peradilan yang tidak memihak dan objektif, tidak diusahakan penyelesaiannya melalui hukum pidana.  Usaha tersebut seharusnya diletakkan sebagai dasar kode etik wartawan yang pada intinya mengharuskan seorang wartawan untuk menaati prinsip “presumption of innocence” dan juga disertai dengan pedoman pelaksanaannya.

Lantas, apakah hakim juga berhak untuk mendapatkan perlindungan dalam fenomena contempt of court? Untuk menjawabnya, perancang undang-undang perlu memahami apa kepentingan hakim yang berisiko terlanggar apabila media memublikasikan pemberitaan tertentu tentang dirinya. Dalam hal ini, hakim berkepentingan untuk mendapatkan perlindungan manakala pemberitaan tersebut memuat konten yang mengancam atau menghina kekuasaannya baik secara individu atau secara institusi, dalam mengadili perkara. Selanjutnya, oleh karena konten yang demikian rentan memiliki tafsir yang berbeda-beda, perlu diatur mengenai kriteria yang dapat dijadikan tolak ukur. Sederhananya, undang-undang perlu secara jelas dan terukur memastikan pasal tersebut tidak digunakan untuk menjerat orang-orang yang kritis terhadap peradilan, melainkan kepada pemberitaan yang secara langsung dapat dikatakan sebagai mengancam independensi  pengadilan.

Mengambil contoh dari beberapa negara eropa kontinental, yang dimaksud dengan mengancam independensi pengadilan adalah manakala ada kepentingan politik atau ekonomi yang secara riil mempengaruhi sistem pemerintahan. Sebagai contoh, pernyataan seorang politisi yang memiliki kewenangan atau pengaruh untuk mengangkat atau memberhentikan hakim baru bisa dianggap dapat mengancam independensi pengadilan. Hal yang sama juga dapat diberlakukan terhadap pengusaha yang menjadi penyumbang dana terhadap seorang politisi. Kedua contoh tersebut sangat bergantung pada pembuktian mengenai kewenangan atau pengaruh yang dimiliki seseorang sehingga dapat secara langsung menempatkan hakim dalam posisi tidak netral atau tidak bebas dalam memutus.

Pembatasan yang demikian patut dianggap wajar dan beralasan. Pasalnya, hakim tidak memiliki keleluasaan dalam mengemukakan pendapat di muka umum. Kode etik dan pedoman perilaku hakim melarang hakim untuk memberikan komentar/pembelaan atas putusannya sendiri atau putusan hakim lain. Selain itu, pembatasan yang dibuat terlalu luas seperti yang ditemukan dalam RKUHP tidak ubahnya pengaturan yang saat ini kita anut dalam KUHP mengenai penghinaan terhadap penguasa umum. Keduanya tidak memberikan batasan mengenai konten seperti apa yang dianggap menghina pengadilan dan mengancam independensi pengadilan. Padahal, hal tersebut krusial agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang hendak membungkam kritik terhadap pengadilan.