Hotel Ambhara Jakarta, 12 Februari 2018 -Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009) mengatur hak dan akses kepada masyarakat untuk terlibat aktif dalam perlindungan pengelolaan lingkungan hidup. Tidak hanya hak dan akses berpartisipasi, UU ini juga memberikan perlindungan kepada masyarakat dari tuntutan maupun gugatan hukum. Pasal 66 mengatur mengenai perlindungan ini, yang dikenal dengan konsep Anti Strategic Lawsuit against Public Participation (Anti SLAPP).
Indonesia pertama kali mengatur Anti SLAPP melalui UU 32/2009 yang kemudian sebagai arahan dalam pengaturannya di lingkungan Mahkamah Agung dikeluarkanlah Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/5K/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup (SK KMA 36/2013). ICEL berpendapat bahwa aturan dan arahan dalam kedua produk hukum ini masih belum cukup menjawab masalah utama mengenai SLAPP, baik definisi SLAPP, arah jangkauan SLAPP, kriteria SLAPP serta operasionaliasi Anti SLAPP dalam sistem hukum acara pidana dan perdata.
SLAPP tidak mudah diidentifikasi, akan tetapi konsep Anti SLAPP itu sendiri adalah warga yang melakukan advokasi hak lingkungan hidup yang baik dan sehat tetapi digugat padahal menurut Pasal 66 UU 32/2009 tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Pengaturan pasal tersebut dimaksudkan utuk melindungi korban dan/atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. SLAPP merupakan tindakan hukum yang strategis (litigasi) untuk membungkam aspirasi/partisipasi publik. Perkara yang menyangkut partisipasi publik menjadi arah jangkauannya.
Konsep Anti SLAPP yang dikembangkan oleh Pring dan Canan tidak membatasi perlindungan hanya ketika target atau korban SLAPP telah menempuh prosedur hukum. Hal ini sejalan dengan penjelasan SK KMA 36/2013 bahwa MA menafsirkan SLAPP dapat terjadi kapan saja baik ketika masyarakat tidak atau belum menempuh proses persidangan. Secara eksplisit implementasi Anti SLAPP dalam sistem hukum acara pidana dan perdata dalam SK KMA 36/2013 menjadi tantangan yang harus segera diatasi karena ketiadaan pengaturan mengenai hukum acara dan praktik peradilan. Namun SK KMA 36/2013 memberikan arahan singkat yaitu:
- Dalam perkara perdata, tergugat dalam provisi, eksepsi maupun gugatan rekonvensi bahwa gugatan yang diajukan kepadanya adalah SLAPP;
- Dalam perkara pidana, terdakwa menyatakan dalam pembelaan bahwa dakwaan yang diajukan kepadanya adalah SLAPP.
Terhadap kedua perkara tersebut, maka hakim akan menilai dan menyatakan bahwa perkara tersebut merupakan SLAPP dan putusan sela.
Dalam perkembangannya, Pasal 95 UU 32/2009 pernah diuji di Mahkamah Konstitusi yang diputus melalui putusan Nomor 18/PUU-XII/2014. Paska putusan MK, norma Pasal 95 berubah dimana MK menghilangkan kata “dapat” dan menambahkan “termasuk tindak pidana lain yang bersumber dari pelanggaran undang-undang ini”. Berdasarkan perubahan ini, membuat penafsiran bahwa setiap penegakan hukum pidana yang tindak pidananya berasal dari pelanggaran UU 32/2009 harus dilakukan dengan mekanisme satu atap antara Kepolisian, Kejaksaan dan KLHK.
Banyaknya kasus yang tidak jelas statusnya atau tidak berlanjut walaupun kasus-kasus tersebut dengan tuntutan dibawah 1 tahun tetap membuat masyarakat takut jika melalui proses hukum. Perlunya pendefinisian dan menetapkan bentuk-bentuk yang bisa dilindungi oleh Anti SLAPP melalui peraturan perundang-undangan yang ada menjadi suatu urgensi, misalnya seperti mengkaitkan Pasal 66 dengan Pasal 50 KUHAP untuk penghapusan tindak pidana. Pasal 95 UU 32/2009 pasca putusan MK juga perlu dilakukan tindak lanjut, seperti pembentukan langkah strategis dalam pembentukan Peraturan Kapolri dan Peraturan Kejaksaan termasuk melalui Peraturan Presiden yang saat ini sedang disusun. Segala peluang yang dapat “menyuarakan” Pasal 66 UU 32/2009 tentang Anti SLAPP menjadi salah satu langkah strategis penerapan Pasal tersebut dan memberi perlindungan bagi masyarakat termasuk lesson learned dari kasus-kasus yang pernah terjadi baik sudah ada putusannya maupun belum selesai proses hukumnya.