Oleh : Choky Ramadhan*

KERUSUHAN di penjara kembali terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Silang Bungkuk, Kecamatan Tenayan Raya, Pekanbaru. Sebanyak 448 tahanan dan narapidana merangsek kabur melarikan diri ke permukiman sekitar.

Kelebihan kapasitas penghuni dituding menjadi penyebab utama kerusuhan. Sebanyak 1.870 orang menempati lapas yang hanya memiliki kapasitas 361 orang. Akibatnya, tahanan dan narapidana tidak mendapatkan tempat tidur dan makanan yang layak. Kondisi ini diperparah dengan ulah oknum petugas yang menjadikan lokasi tidur dan makanan layak menjadi komoditas yang diperdagangkan.

Pemerintah sebenarnya telah mengalokasi anggaran sebanyak Rp 1,3 triliun untuk membangun dan menambah operasional penjara pada tahun 2016 lalu. Anggaran tersebut akan digunakan untuk pembangunan penjara baru (Rp 712,1 miliar), renovasi penjara (Rp 197,8 miliar), dan fasilitas operasional penjara (Rp 390 miliar).

Pembiayaan penjara yang besar tersebut tentu sangat membebani rakyat dari pajak yang dibayarkan ke negara. Menaikkan anggaran penjara sebenarnya bukan satu-satunya solusi jitu untuk mengatasi secara menyeluruh permasalahan penjara dan pemidanaan pelaku kejahatan.

Inefektivitas Penjara

Penjara tidak sepenuhnya berhasil meredam seseorang untuk melakukan tindakan jahat. Buktinya, kejahatan penyelundupan narkotika serta kerusuhan terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Banceuy (2016) serta Lapas Jambi dan Riau (2017). Lembaga yang bertujuan memasyarakatkan penghuninya agar dapat kembali hidup bermasyarakat justru identik dengan ’’pendidikan tinggi’’ narapidana karena belajar tindak pidana baru.

Dahulu kala, penjara dipercayai dapat mencapai keempat tujuan pemidanaan, yaitu (1) pembalasan atau retribusi; (2) rehabilitasi; (3) perlindungan masyarakat (incapacitation); dan (4) penjeraan atau detterence. Namun, mitos tersebut dipatahkan dan dikritisi jika dibandingkan dengan beban negara menanggung pemenjaraan (Posner, 1985).

Pertama, tujuan pembalasan tidak sepenuhnya terwujud karena pelaku tidak ’’bertanggung jawab’’membayar kerugian sosial. Pemenjaraan membuat pelaku tidak memulihkan kerugian atau membayar kompensasi kepada korban. Ironisnya, korban dan publik membayar biaya untuk penjara tersebut melalui pajak.

Kedua, penjara juga kerap kali gagal merehabilitasi pelaku kejahatan dan mempersiapkan mereka untuk kembali ke masyarakat. Penganggaran untuk pelatihan di penjara berkurang tiap tahun akibat terlalu banyak narapidana. Narapidana tidak jarang menjadi ahli dalam melakukan lagi tindak pidana baru.

Ketiga, tujuan pemidanaan yang terwujud dari penjara ialah sekadar perlindungan masyarakat (incapacitation). Pengekangan seseorang yang jahat dan berbahayadapat melindungi dan menciptakan rasa aman masyarakat. Namun, penjara hanya bermanfaat untuk crime of passion seperti pembunuhan, pemerkosaan, atau penganiayaan. Sedangkan manfaat penjara pada kejahatan ekonomi masih belum terbukti.

Keempat, efek jera yang diharapkan dari penjara merupakan mitos yang perlu diuji. Faktanya, kejahatan di Amerika Serikat (AS) tetap tinggi meski sebagai negara yang paling banyak memenjarakan orang. Dampak penjara menghasilkan efek jera ternyata belum terlalu signifikan.

Alternatif Pemidanaan

Pembuat kebijakan pidana perlu mencari alternatif pemidanaan selain penjara. Berbagai penelitian menyatakan penjara sangat boros, mahal biaya, dan hanya sedikit berpengaruh terhadap tujuan pemidanaan. Pilihan pemidanaan lainnya haruslah yang efektif dan efisien serta berdampak positif pada korban dan masyarakat.

Alternatif pemidanaan denda menjadi prioritas para ahli hukum dan ekonomi (law and economic). Denda dianggap lebih menguntungkan masyarakat karena tidak menghabiskan banyak sumber daya sosial (social resource) seperti penjaga, makan, dan petugas rehabilitasi (Becker, 1968).Sekecil apa pun besaran uang denda yang dibayar kepada korban lebih baik daripada tidak memperolehnya.

Pidana denda belum optimal ditegakkan penegak hukum. Faktanya, kejaksaan hanya berhasil mengumpulkan sekitar Rp 31 miliar denda pada tahun 2015. Angka ini jauh lebih rendah dibanding biaya penegakan hukum yang mencapai puluhan triliun untuk penyidikan hingga pemenjaraan.

Pidana denda juga perlu diatur tinggi sehingga menutupi segala kerugian yang dikeluarkan korban dan masyarakat. Jumlah denda harus sama dengan jumlah kerugian nyata (harga barang yang dicuri), biaya untuk penegakan hukum, dan biaya untuk penasihat hukum. Dengan demikian, kondisi optimal pemidanaan tercapai karena dapat mengganti kerugian nyata korban dan juga kerugian sosial yang membebani masyarakat.

Alternatif pemidanaan lain berupa rehabilitasi untuk penyalah guna narkotika juga perlu diutamakan. Penghukuman rehabilitasi dapat mengurangi penghuni rutan dan lapas secara signifikan. Sebanyak 43% penghuni rutan dan lapas terjerat kasus narkotika. Dari jumlah tersebut, setidaknya terdapat 18 ribu tahanan dan narapidana pengguna narkotika yang tetap dikurung di balik jeruji besi.

Payung hukum rehabilitasi sebenarnya sangat kuat karena diatur pada undang-undang maupun kesepakatan antara Mahkamah Agung (MA), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, kejaksaan, kepolisian, dan Badan Narkotika Nasional. Ironisnya, pengguna narkotika lebih sering dituntut dan dijatuhi hukuman penjara. Berdasarkan catatan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) terhadap 427 putusan pengadilan di DKI Jakarta, setidaknya terdapat 90 persen pengguna narkotika yang dijebloskan ke penjara.

Penjara sebaiknya tidak dianggap sebagai metode paling efektif untuk mewujudkan tujuan pemidanaan. Pemborosan biaya penjara dan tersedianya berbagai alternatif penghukuman perlu dipertimbangkan secara serius. Mantan Kepala Kejaksaan California yang sekarang menjabat Gubernur California, Jerry Brown, pernah menyatakan ’’penjara tidak merehabilitasi, tidak menghukum, dan tidak melindungi, lalu apa manfaatnya penjara?’’ (*)

*Ketua harian/executive director Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum UI

Diterbitkan Jawa Pos, 11 Mei 2017